Sementara itu, bagi partai politik yang tidak memiliki kursi dapat mengajukan cagub dan cawagub yang disesuaikan dengan DPT sebagaimana putusan MK.
Menurut hemat penulis, DPR di sini memisahkan seolah-olah ketentuan modifikasi threshold tersebut hanya berlaku bagi partai yang tidak memiliki kursi. Padahal ketentuan tersebut berlaku bagi partai yang memiliki kursi di DPRD maupun tidak.
Di sisi lain, untuk putusan MK Nomor 70 tentang batas usia cagub dan cawagub DPR tidak mengakomodir sama sekali. Dalam rapat baleg yang ditayangkan di siniar itu, DPR justru memilih putusan MA. Tentu ini lucu karena tidak ada perdebatan hukum. Ahmad Baidowi selaku Ketua Baleg pada saat itu memberi opsi putusan MA dan putusan MK. Lalu dalam forum itu semua sepakat untuk mengikuti putusan MA.
Bagi saya ini lucu. Hal itu karena dari sisi hierarkis saja sudah berbeda. MK adalah penafsir UUD 1945 sehingga putusannya setara undang-undang. MA menafsirkan peraturan perundang-undangan yang kedudukannya di bawah UUD 1945. Oleh karena itu, putusan MA berimplikasi pada peraturan yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah bukan DPR.
Dari sini saja sudah terlihat jika pembahasan yang dilakukan DPR tergesa-gesa. Apalagi dilakukan secara kilat yang mana ruang partisipasi publik tidak ada. Apa yang dilakukan DPR jelas membegal konstitusi. DPR menghidupkan kembali calon tunggal dan memberi karpet merah pada Kaesang.
Akan tetapi, masyarakat tidak tinggal diam. Sehari setelah pembahasan revisi UU Pilkada, seluruh masyarakat turun ke jalan menentang revisi itu. Unjuk rasa terjadi di seluruh Indonesia. Hasilnya, DPR membatalkan revisi UU Pilkada.
Di sisi lain, KPU selaku penyelenggara pilkada telah menetapkan bahwa Peraturan KPU akan manut dengan dua putusan MK.
Apa yang terjadi akhir-akhir ini begitu dinamis. Kita diperlihatkan bagaimana DPR secara telanjang bulat mengakali putusan MK. Di sisi lain, untuk melakukan perubahan dibutuhkan kekuatan masyarakat secara luas.
Akibat tidak adanya kontrol yang stabil di parlemen, maka masyarakat yang mengambil posisi itu. Setidaknya hingga detik ini masyarakat telah menang dan menjadi oposisi yang sempurna dari gemuknya koalisi di pemerintah.
Putusan MK tidak hanya berbicara PDIP, Kaesang, atau Anies Baswedan. Putusan MK adalah cara agar demokrasi kembali ke jalur yang benar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H