Pertimbangan MK memodifikasi threshold ke dalam suara sah adalah agar suara yang masuk ke partai tidak terbuang sia-sia. Bagaimanapun juga suara yang masuk merupakan aspirasi masyarakat yang masuk lewat partai politik.
Di sisi lain, MK juga menilai hal tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 yang menghendaki pilkada demokratis membuka peluang selebar-lebarnya untuk partai politik peserta pemilu yang memiliki suara sah untuk mengajukan calon kepala daerah.
Putusan ini tentu menjadi game changer karena pilihan calon pemimpin masyarakat menjadi lebih beragam. Praktik borong tiket dan fenomena calon tunggal memang memprihatinkan.
Sejak tahun 2015, calon tunggal dengan koalisi gemuk hanya satu kali kalah yaitu pada Pilwakot Makassar 2018. Saat itu kotak kosong yang menang.
Setelah itu, tren calon tunggal terus meningkat dan peluang menang bisa mencapai 90 persen lebih. Tentu putusan ini bukan hanya menguntungkan satu partai atau menyelamatkan Anies Baswedan. Akan tetapi, dengan adanya putusan ini setiap partai bisa mengusung kadernya sendiri.
Putusan kedua yang tak kalah penting adalah Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang batas usia calon gubernur dan wakil gubernur. Dalam putusan itu, MK menafsirkan usia 30 tahun bagi cagub dan cawagub adalah saat pendaftaran.
Dengan adanya putusan ini, langkah Kaesang Pangarep yang disebut akan berkontestasi di Pilgub tertutup rapat. Dua putusan ini menjadi angin segar di tengah merebaknya dinasti politik yang kental selama ini.Â
Teatrikal Politik Senayan
Setelah putusan MK terbit. DPR melakukan akrobatik. Idealnya DPR menaati putusan MK karena bersifat final dan mengikat. DPR seharusnya menindaklanjuti putusan MK dengan undang-undang.
Hal itu termaktub dalam Pasal 59 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 yang mewajibkan DPR untuk menindaklanjuti putusan MK dengan peraturan perundang-undangan.
Akan tetapi, sejumlah siasat dilakukan DPR untuk mengakali putusan MK. DPR memang menindaklanjuti putusan MK dengan undang-undang. Tapi, secara garis besar revisi UU Pilkada tidak mengakomodir putusan MK.
Dalam revisinya, DPR tidak mengakomodir Putusan MK Nomor 60. DPR tetap menetapkan partai yang memiliki kursi harus memenuhi ketentuan 20 persen kursi di DPRD atau 25 persen suara sah dalam pemilihan DPRD di provinsi yang bersangkutan.