Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Saat Negara Normalisasi Diskriminasi Usia

6 Agustus 2024   19:18 Diperbarui: 6 Agustus 2024   19:22 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam ranah kerja, batasan usia kerap kita temui. Contohnya pada kisah Asep di atas. Ada yang menerapkan usia maksimal 25 tahun, 27 tahun, dan yang paling tinggi adalah 35 tahun.

Selain perusahaan swasta, pemerintah juga melakukan praktik ageisme. Misalnya dalam usia pendaftaran TNI atau Polri. Rata-rata maksimal usia masuk TNI atau Polri maksimal adalah 22 tahun.

Begitu juga dengan CPNS. Usia 35 tahun adalah batas terakhir untuk bisa mengabdi di instansi negara. Di luar itu, masih banyak lagi praktik ageisme terutama di bidang pekerjaan. Lalu, mengapa praktik ageisme bisa terjadi?

Istilah ageisme sudah muncul sejak tahun 1969. Orang yang memperkenalkan istilah ini adalah Robert N. Butler. Ia merupakan seorang ahli gerantologi asal Amerika Serikat.

Butler mendefinisikan ageisme sebagai kombinasi dari tiga elemen yaitu sikap prasangka terhadap warga senior, umur tua, dan proses penuaan.

Istilah ini tidak hanya digunakan untuk menggambarkan prasangka terhadap orang tua atau senior, tapi termasuk juga diskriminasi terhadap remaja dan anak-anak.

Selain diskriminasi terhadap usia, ageisme pada remaja juga termasuk mengabaikan ide mereka karena mereka terlalu muda, atau mengasumsikan bahwa mereka harus berprilaku dengan cara tertentu karena umur mereka.

Hal ini bisa kita lihat di lingkungan sendiri. Di mana anak muda sering dianggap tidak tahu apa-apa. Ide, argumen atau apapun yang keluar dari anak muda sering diabaikan karena ageisme.

Jadi, ageisme tidak hanya istilah yang mendiskreditkan mereka yang senior. Tapi termasuk juga anak-anak muda.

Ageisme jelas melahirkan diskriminasi dan stereotip. Misalnya gen Z sering dicap sebagai generasi pemalas, mental tempe, dan hal negatif lainnya.

Begitu juga dengan generasi tua sering dianggap tidak bisa apa-apa karena kemampuan yang menurun. Bahkan untuk kategori ini sering dicap tidak bisa berbagi informasi baru karena beberapa hal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun