Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Saat Negara Normalisasi Diskriminasi Usia

6 Agustus 2024   19:18 Diperbarui: 6 Agustus 2024   19:22 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Batasan usia dalam lowongan pekerjaan menjadi momok tersendiri bagi sebagian pelamar. | Foto: Antara

Asep (bukan nama sebenarnya) pernah bercerita tentang sulitnya masuk ke perusahaan tertentu. Ketika lulus kuliah, ia berusia 23 tahun dengan modal pengalaman organisasi dan magang.

Ia lalu mencoba mengirim lamaran ke bank. Salah satu syarat yang tertera adalah adanya batasan usia yaitu 23 tahun dan maksimal 25 tahun untuk S1. 

Dua Minggu berselang, Asep menerima pemberitahuan. Singkatnya ia tidak memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan sehingga harus menunggu selama dua tahun lagi untuk bisa melamar di perusahaan tersebut.

Setelah resign dari tempat kerja, Asep lalu mencoba melamar pada perusahaan yang dulu ia lamar saat berstatus fresh graduate itu. Kali ini, ia cukup percaya diri karena telah memiliki pengalaman kerja. Harapan diterima di perusahaan impian itu cukup besar dengan modal pengalaman di bidang marketing.

Akan tetapi, lagi-lagi perusahaan tersebut menolak Asep. Kali ini, Asep ditolak karena usianya sudah 25 tahun lebih dua bulan. Asep adalah salah satu teman saya yang memiliki pengalaman melamar kerja yang ditolak karena batasan usia.

Di sisi lain, batasan usia kerja lumrah kita jumpai dalam poster lowongan kerja. Selain batasan usia kerja, terkadang ada posisi kerja yang mensyaratkan penampilan menarik alias good looking.

Namun, batasan usia yang sering menjadi sorotan. Adanya batasan usia dinilai diskriminatif karena untuk usia-usia tertentu dianggap sudah tidak produktif. Padahal dari sisi kualifikasi jelas memenuhi.

Pada akhirnya, kelompok seperti ini ditolak bukan karena tidak memenuhi kualifikasi lagi tapi dari sisi usia. Tentu hal tersebut menyakitkan karena faktanya bagi mereka yang berusia 27 tahun ke atas tetap butuh makan. 

Munculnya Ageisme

Diskriminasi usia atau ageisme lumrah kita temui baik dalam ranah pendidikan atau dalam dunia kerja. Misalnya dalam ranah pendidikan bisa kita jumpai saat ingin mendaftar UTBK (dulu SBMPTN).

Maksimal bisa mendaftar SBMPTN adalah dua tahun setelah kelulusan SMA. Nah jika gagal dua kali, sudah dipastikan gagal masuk universitas yang diimpikan. Hal itu karena tidak ada kesempatan ketiga karena syarat tadi.

Dalam ranah kerja, batasan usia kerap kita temui. Contohnya pada kisah Asep di atas. Ada yang menerapkan usia maksimal 25 tahun, 27 tahun, dan yang paling tinggi adalah 35 tahun.

Selain perusahaan swasta, pemerintah juga melakukan praktik ageisme. Misalnya dalam usia pendaftaran TNI atau Polri. Rata-rata maksimal usia masuk TNI atau Polri maksimal adalah 22 tahun.

Begitu juga dengan CPNS. Usia 35 tahun adalah batas terakhir untuk bisa mengabdi di instansi negara. Di luar itu, masih banyak lagi praktik ageisme terutama di bidang pekerjaan. Lalu, mengapa praktik ageisme bisa terjadi?

Istilah ageisme sudah muncul sejak tahun 1969. Orang yang memperkenalkan istilah ini adalah Robert N. Butler. Ia merupakan seorang ahli gerantologi asal Amerika Serikat.

Butler mendefinisikan ageisme sebagai kombinasi dari tiga elemen yaitu sikap prasangka terhadap warga senior, umur tua, dan proses penuaan.

Istilah ini tidak hanya digunakan untuk menggambarkan prasangka terhadap orang tua atau senior, tapi termasuk juga diskriminasi terhadap remaja dan anak-anak.

Selain diskriminasi terhadap usia, ageisme pada remaja juga termasuk mengabaikan ide mereka karena mereka terlalu muda, atau mengasumsikan bahwa mereka harus berprilaku dengan cara tertentu karena umur mereka.

Hal ini bisa kita lihat di lingkungan sendiri. Di mana anak muda sering dianggap tidak tahu apa-apa. Ide, argumen atau apapun yang keluar dari anak muda sering diabaikan karena ageisme.

Jadi, ageisme tidak hanya istilah yang mendiskreditkan mereka yang senior. Tapi termasuk juga anak-anak muda.

Ageisme jelas melahirkan diskriminasi dan stereotip. Misalnya gen Z sering dicap sebagai generasi pemalas, mental tempe, dan hal negatif lainnya.

Begitu juga dengan generasi tua sering dianggap tidak bisa apa-apa karena kemampuan yang menurun. Bahkan untuk kategori ini sering dicap tidak bisa berbagi informasi baru karena beberapa hal.

Akibatnya, di lingkungan kerja sendiri tercipta stereotip seperti gen Z mental tempe dan senior yang dicap sudah tidak produktif.

Disamping itu, budaya populer juga turut andil dalam diskriminasi usia. Hal ini bisa dilihat dalam artikel Why Ageism Never Gets Old” yang merujuk serial The Simpson.

Dalam serial itu ang menampilkan sosok Homer (suami dan bapak dalam keluarga Simpson) sebagai pria tua yang pikun, ceroboh, bahan guyonan, dan dianggap pantas tinggal di panti werdha karena bicaranya mulai tidak jelas.

Gambaran negatif tentang gen Z juga lumrah kita lihat di media sosial. Gen Z digambarkan sebagai yang bermental lemah tidak seperti generasi sebelumnya.

Dari paparan di atas cukup membuktikan jika ageisme melahirkan diskriminasi. Khususnya dalam karier. Padahal baik tua atau muda berhak memiliki kesempatan yang sama dan bagian penting dari hak asasi manusia.

Pemerintah normalisasi ageisme

Seorang pria asal Bekasi mengajukan gugatan UU Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi. Pemuda tersebut menggugat Pasal 35 UU Nomor 13 Tahun 2003 ke MK perihal diskriminasi usia dalam lowongan pekerjaan.

Hasilnya, MK menolak permohonan tersebut. Hakim MK Arief Hidayat beralasan permohonan tersebut tidak tepat. 

Ia merujuk pada Putusan MK nomor 024/PUU-III/2005, putusan MK nomor 72/PUU-XXI/2023, maka tindakan diskriminatif "apabila terjadi pembedaan yang didasarkan pada agama, suka, ras etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, dan keyakinan politik".

Pembatasan usia jelas tidak termasuk ke dalam kategori sebagaimana yang tertera dalam putusan tersebut. Arief juga menyebut Pasal 35 tidak bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945.

Meski begitu, hakim Guntur Hamzah memberikan pendapat berbeda. Ia menyebut frasae "merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan" memberi ketidakpastian hukum dan sangat subjektif.

Adanya frasa itu ditenggarai menimbulkan persyaratan kerja seperti good looking dan lain sebagainya.

Tentu pendapat hakim Guntur Hamzah menarik. Meski tidak ada kepastian hukum dan subjektif, pemerintah seharusnya bisa membuat kebijakan yang jelas terutama diskriminasi umur bisa dihilangkan.

Hal itu bisa kita lihat dari beberapa negara yang dengan tegas mulai mengatur masalah ini. Misalnya parlemen Singapura baru saja menggulirkan aturan Keadilan di Tempat Kerja termasuk di dalamnya tidak boleh ada diskriminasi usia.

Seharusnya hal yang sama juga bisa dilakukan di Indonesia. Tentu dengan mengusulkan undang-undang semacam itu memiliki proses yang lama. Untuk itu, MK seharusnya bisa memutus masalah ini dengan bijak. Hal itu karena putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga DPR bisa meneruskan putusan tersebut ke dalam aturan yang baru.

Ditolaknya gugatan diskriminasi usia sama saja dengan menormalisasi ageisme. Di sisi lain, justru muncul pertanyaan besar di publik. Mengapa batasan usia untuk cawapres dan kepala daerah dengan mudah dikabulkan dengan dalih melanggar HAM?

Padahal kebijakan menghapus batasan usia pada lowongan kerja lebih menyentuh masyarakat secara luas dan memberi manfaat luas pula. Bukankah salah satu tujuan hukum adalah untuk kemanfaatan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun