Selain itu, menurut MK definisi penyelenggara negara terlalu luas dan beragam. Pemohon tidak memberi batasan jabatan yang dipilih dan diangkat. Oleh karena itu, MK tegas menyatakan jika hal itu tetap merupakan kewenangan pembentuk undang-undang alias open legal policy.Â
Perkara lainnya yaitu perkara nomor 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh sejumlah kepala daerah. Pemohon meminta agar ada perubahan klausul dalam Pasl 169 huruf q UU Pemilu.Â
Pemohon menilai pasal tersebut melanggar bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Dalam putusannya, MK masih konsisten bahkan mengutip Putusan Nomor 29/PUU-XXI/2023 dan Putusan Nomor 51/PUU-XXI/2023. Artinya, kedua putusan di atas tadi menjadi landasan bagi MK untuk menolak permohonan yang diajukan kepala daerah.Â
Namun, hal yang berbeda dan aneh justru terdapat pada putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbiru. Pada intinya, pemohon meminta agar ada syarat alternatif untuk menjadi capres/cawapres.
Syarat alternatif yang dimaksud adalah berpengalaman sebagai kepala daerah baik itu di tingkat provinsi atau kabupaten/kota.
MK justru mengabulkan permohonan Almas. MK tetap tidak berubah mengenai usia 40 tahun. Tapi, MK memberi syarat alternatif yaitu pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk kepala daerah.Â
Dengan demikian, meski belum berusia 40 tahun, selama atau pernah menjadi anggota DPR, DPD, DPRD kabupaten/kota dan provinsi, gubernur, bupati, wali kota bisa menjadi capres atau cawapres.Â
Dari putusan itu, jelas MK tidak konsisten. Padahal, dalam tiga perkara sebelumnya MK dengan tegas menolak dan tegak lurus jika permohonan itu merupakan open legal policy.Â
Dalam perkara yang diajukan Almas, permohonan pun tidak jauh berbeda tapi hasilnya tidak sama dengan tiga putusan di atas. Jelas bahwa MK sangat tidak konsisten.Â
Dalam tiga putusan di atas, MK secara tegas menolak dan bersikap bahwa hal itu merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Tapi, dalam perkara Almas tidak demikian. Artinya, MK telah menyalahi fungsinya sebagai negative legislator.Â