Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Putusan MK, Inkonsistensi dan Karpet Merah untuk Putra Presiden

18 Oktober 2023   09:04 Diperbarui: 18 Oktober 2023   11:01 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan syarat minimal usia capres-cawapres inkonstitusional bersyarat. (KOMPAS.com/Fika Nurul Ulya)

Tanggal 19 Oktober 2023 pendaftaran cawapres pemilu 2024 akan dibuka. Sejauh ini, sudah ada tiga nama capres yang diusung partai politik yaitu Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto.

Hingg artikel ini dibuat, dari tiga nama tersebut, hanya Anies Baswedan yang sudah memiliki pasangan yaitu Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Sementara Ganjar dan Prabowo masih belum memiliki pasangan. 

Sejumlah nama muncul ke permukaan. Nama Gibran Rakabuming Raka santer dikabarkan akan berduet dengan Prabowo Subianto. Akan tetapi, Gibran terhalang oleh syarat administrasi yang mana batas usia capres atau cawapres adalah 40 tahun.

Terkait hal itu, sejumlah manuver dilakukan yang disebut-sebut untuk memuluskan langkah Gibran untuk maju sebagai cawapres. Salah satu langkah yang diambil adalah dengan uji materi Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke Mahakamah Konstitusi.

Pasal 169 huruf q menjadi ganjalan bagi Gibran karena di dalam pasal tersebut dijelaskan untuk maju sebagai cawapres minimal berusia 40 tahun. Kini, MK telah mengeluarkan putusan tersebut dan menjadi bola panas yang tentunya akan berdampak pada percaturan pada Pilpres 2024 nanti.

Inkonsistensi Putusan MK

Secara garis besar, dari 13 permohonan yang diajukan ke MK ada dua hal yang menjadi isu besar. Pertama, terkait batas usia capres/cawapres yang dalam aturannya berusia sekurang-kurangnya 40 tahun.

Kedua, mengenai syarat pengalaman pada jabatan yang dianggap dapat menjadi alternatif lain ketentuan usia 40 tahun.

Dalam perkara nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan PSI, MK dengan tegas menolak. MK menilai batasan umur dari 40 tahun menjadi 35 tahun bukan wewenang MK melainkan pembuat undang-undang alias open legal policy. 

Sementara dalam perkara nomor 51/PUU-XXI/2023 yang diajukan Partai Garuda, Partai Garuda mengajukan permohonan agar ketentuan minimal usia 40 tahun diubah menjadi "berusia minimal 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara."

Dalam putusannya, MK masih tegak lurus dan menolak. Hal itu karena menurut MK apa yang diajukan "memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara" akan menimbulkan ketidakadilan dan diskriminasi. 

Selain itu, menurut MK definisi penyelenggara negara terlalu luas dan beragam. Pemohon tidak memberi batasan jabatan yang dipilih dan diangkat. Oleh karena itu, MK tegas menyatakan jika hal itu tetap merupakan kewenangan pembentuk undang-undang alias open legal policy. 

Perkara lainnya yaitu perkara nomor 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh sejumlah kepala daerah. Pemohon meminta agar ada perubahan klausul dalam Pasl 169 huruf q UU Pemilu. 

Pemohon menilai pasal tersebut melanggar bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Dalam putusannya, MK masih konsisten bahkan mengutip Putusan Nomor 29/PUU-XXI/2023 dan Putusan Nomor 51/PUU-XXI/2023. Artinya, kedua putusan di atas tadi menjadi landasan bagi MK untuk menolak permohonan yang diajukan kepala daerah. 

Namun, hal yang berbeda dan aneh justru terdapat pada putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbiru. Pada intinya, pemohon meminta agar ada syarat alternatif untuk menjadi capres/cawapres.

Syarat alternatif yang dimaksud adalah berpengalaman sebagai kepala daerah baik itu di tingkat provinsi atau kabupaten/kota.

MK justru mengabulkan permohonan Almas. MK tetap tidak berubah mengenai usia 40 tahun. Tapi, MK memberi syarat alternatif yaitu pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk kepala daerah. 

Dengan demikian, meski belum berusia 40 tahun, selama atau pernah menjadi anggota DPR, DPD, DPRD kabupaten/kota dan provinsi, gubernur, bupati, wali kota bisa menjadi capres atau cawapres. 

Dari putusan itu, jelas MK tidak konsisten. Padahal, dalam tiga perkara sebelumnya MK dengan tegas menolak dan tegak lurus jika permohonan itu merupakan open legal policy. 

Dalam perkara yang diajukan Almas, permohonan pun tidak jauh berbeda tapi hasilnya tidak sama dengan tiga putusan di atas. Jelas bahwa MK sangat tidak konsisten. 

Dalam tiga putusan di atas, MK secara tegas menolak dan bersikap bahwa hal itu merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Tapi, dalam perkara Almas tidak demikian. Artinya, MK telah menyalahi fungsinya sebagai negative legislator. 

Dalam fungsi itu, tidak seharusnya MK menambahkan suatu norma karena itu kewenangan DPR dan Pemerintah selaku positive legislator. Tapi, dalam perkara Almas, MK telah memgambil alih tugas DPR.

Selain itu, yang menjadi persoalan adalah kedudukan hukum alias legal standing pemohon. Seperti yang diketahui, Almas adalah mahasiswa aktif. Dalam aturannya, perseorangan memang mempunyai hak untuk mengajukan gugatan ke MK.

Tapi, yang perlu ditekankan adalah apabila aturan yang digugat tersebut telah merugikan hak konstitusional pemohon. Masuk akal jika pemohon ingin mengajukan diri sebagai capres/cawapres dan sedang menduduki jabatan yang dipilih dalam pemilu atau pilkada. 

Maka dalam hal ini legal standing pemohon kuat karena hak konstitusionalnya telah dirugikan. Artinya argumen pemohon sangat lemah dan anehnya MK justru menerima. 

Menjadi aneh adalah basis kerugian yang diukur adalah dari pengalaman dan keberhasilan Gibran sebagai Walikota Solo. Dalil tersebut jelas tidak nyambung karena tidak menyentuh kerugian pemohon. Lain cerita jika Gibran yang mengajukannya.

Keanehan lainnya adalah mengapa MK tidak menjadikan putusan yang diajukan PSI dan Partai Garuda sebagai rujukan sebagaimana permohonan yang diajukan kepala daerah. 

Tapi, MK mengambil sikap lain yang bersifat politis. Apalagi, putusan tersebut langsung berlaku untuk pemilu 2024. Yang artinya KPU mau tidak mau harus mengikuti putusan itu dan membuat aturan yang baru. 

Muatan politis begitu erat karena pendaftaran capres/cawapres akan dibuka mulai tanggal 19 Oktober 2023 nanti. Saat ini, dua paslon masih belum menentukan pendampingnya masih-masing. 

Selain itu, dalam perkara yang diajukan Almas, Ketua MK yang tidak lain adalah paman Gibran ikut dalam RPH. Hakim yang tadinya konsisten bahwa Pasal 169 huruf q adalah kebijakan hukum terbuka berubah arah. 

Karpet merah Gibran

Meski belum tentu Gibran ikut dalam Pemilu 2024, tapi publik tidak bisa berhenti berspekulasi. Hal itu karena Gibran disebut-sebut akan menjadi pendamping Prabowo. 

Belum lagi, Projo terbelah. Ada yang mendukung Gibran ada yang mendukung Ganjar. Publik seolah tidak bisa berhenti menduga-duga, apalagi dalam putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, Anwar Usman ikut dalam RPH yang seakan memberi karpet merah pada sang keponakan. 

Dengan ketentuan itu, jelas bahwa Gibran sangat terbuka lebar dipinang sebagai cawapres. Namun, jika itu benar, maka praktik tersebut jelas salah. Instrumen hukum dipakai hanya sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan. 

Lebih dari itu, maju atau tidaknya adalah pilihan pribadi. Tapi, putusan ini jelas memperburuk citra MK sebagai lembaga independen dan merdeka. MK telah melabrak banyak hal. Melabrak open legal policy secara serampangan dan membiarkan perkara yang syarat kepentingan untuk tetap disidangkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun