Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Modus Kejahatan Lewat QRIS, Saatnya Mengembalikan Tujuan UU ITE

14 April 2023   04:22 Diperbarui: 14 April 2023   08:53 949
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Modus penipuan menggunakan QRIS membuat heboh media sosial beberapa waktu lalu. | Foto: KOMPAS.COM

Teknologi membawa dampak bagi kehidupan kita. Dengan adanya teknologi, kita dengan mudah bisa mengakses informasi dengan cepat. Arus informasi begitu pesat setiap detiknya. Tinggal kita yang pandai memilah dan memilih.

Dalam hal transportasi, kini hanya dengan bermodalkan gawai di tangan, kita bisa memesan ojek atau makanan dari rumah.

Begitu juga dengan aktivitas lain seperti perdagangan. Selain itu, metode pembayaran pun kian beragam.
Dengan hadirnya e-wallet, kita tidak melulu dituntut membayar secara tunai.

Apalagi, saat ini ada metode Quick Response Code Indonesia Standard atau QRIS yang membuat transaksi semakin mudah.

Dilansir dari laman BI, QRIS adalah penyatuan berbagai macam QR dari berbagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) menggunakan QR Code.

Saat ini, seluruh aplikasi penyelenggara manapun baik bank atau nonbank sudah bisa menggunakan metode QRIS. 

Penggunaan QRIS memang mudah karena cukup memindai kode dengan telelpon pintar. Bahkan untuk UMKM pun sudah menyediakan metode pembayaran ini.

QRIS semakin populer apalagi setelah pandemi covid-19. Menurut data Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI), pada Januari 2020 volume transaksi QRIS secara nasional baru mencapai 5 juta kali dengan nilai total transakasi Rp. 365 miliar.

Kemudian setelah itu, pengguna QRIS kian meningkat, hingga Agustus 2022 pengguna QRIS mencapai 91,7 juta dengan total transaksi Rp. 9,66 triliun.

Selaras dengan itu, Gubernur BI menyatakan pada tahun 2022 sudah ada 20 juta merchant QRIS di seluruh Indonesia. Dari data itu hampir 90 persen di antaranaya merupakan pelaku usaha mikiro, kecil, dan menengah alias UMKM.

Data pengguna QRIS pada tahun 2022. | Foto: katadata.co.id
Data pengguna QRIS pada tahun 2022. | Foto: katadata.co.id

Karena kemudahannya, tidak heran jika pengguna QRIS terus meningkat sekaligus menjadi terobosan baru dalam traksaksi yang berbasis teknologi.

Meski begitu, kemajuan teknologi seperti pisau bermata dua. Kemajuan teknologi tak lepas dari kejahatan baru yang sebelumnya tidak pernah ada. Itu artinya, mau tidak mau hukum harus mengikuti perkembangan teknologi.

Jika tidak begitu, maka aturan yang lama tidak akan bisa menjangkau kejahatan baru yang berbasis teknologi. Salah satu tindak kejahatan yang tengah menjadi sorotan akhir-akhir ini adalah terkait pemalsuan QRIS di kotak amal masjid.

Modus baru

Seorang lelaki bernama Mohammad Iman Mahil Lubis (MIML) membuat heboh dunia maya. Pasalnya ia merupakan tersangka penipuan dengan modus mengganti QRIS pada kotak amal di sejumlah masjid di Jakarta.

Ketika video ini viral di twitter, saya sempat acuh karena tidak terlalu tertarik. Tapi, setelah banyak pemberitaan, baru saya ngeh jika apa yang dilakukan oleh MIML nekat. MIML disebut sudah mulai membuat barcode QRIS sejak Maret.

Barcode yang dibuat itu kemudian dicetak dan ditempel di sejumlah kotak amal di masjid. Tentu rekening yang tercantum dalam barcode tersebut adalah rekening MIML.

Berdasarkan pendataan, MIML memulai aksinya sejak 1 April 2023 dan telah menempelnya di 38 lokasi. Dalam perkembangannya, MIML telah ditangkap oleh petugas Direktorat Reserse Kriminal Khusus di salah satu kawasan rumah kost Palmerah Senayan, Jakarta Selatan.

Akibat perbuatannya, pria yang disebut pernah bekerja di salah satu bank BUMN itu dijerat Pasal 28 ayat 1 jo. Pasal 45 ayat 1 dan atau Pasal 35 Jo 51 a ayat 1 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE atau Pasal 80 dan Pasal 73 UU Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dan dana tau Pasal 378 KUHP.

Apa yang dilakukan oleh MIML termasuk ke dalam penipuan. Untuk itu, kepolisian masih menjerat dengan Pasal 378 KUHP. Meski tindak pidananya sama, tapi modusnya berbeda yakni memakai teknologi.

Tentu dengan adanya kejahatan ini menjadi tantangan bagi penegak hukum terutama kejahatan di bidang siber.

Apalagi, dengan kecanggihan teknologi saat ini kejahatan siber kian beragam dan penegak hukum mau tidak mau harus beradaptasi. Pun begitu dengan aturan yang ada.

Mengembalikan tujuan UU ITE

Pada dasarnya, jika kita mengartikan hukum sebagai undang-undang, maka undang-undang akan selalu tertinggal dari peristiwa, terutama soal kejahatan di bidang siber.

Untuk itu, terkait dengan kejahatan ini harus diantisipasi jauh-jauh hari. Potensi kejahatan yang timbul akibat dari kemajuan teknologi harus bisa diantisipasi dengan menerapkan aturan yang relevan. UU ITE sebetulnya menjawab tantangan tesebut.

Jika kita melihat pada konsideransnya, maka sejatinya kelahiran UU ITE tidak terlepas dari kemajuan teknologi, terutama dalam hal transaksi elektronik. Pun begitu dengan tindak pidana yang akan muncul.

Hanya saja, justru yang muncul ke permukaan publik bukan menyelesaikan tindak pidana di bidang ekonomi, tapi malah tindak pidana yang bersifat privat seperti pencemaran nama baik atau ujaran kebencian.

Pasal-pasal inilah yang kerap muncul ke permukaan publik dan membuat UU ITE dilabeli sebagai undang-undang bermasalah.

Terbaru, seorang pemuda asal Lampung mengkritik ketimpangan yang terjadi di wilayahnya justru berakhir dengan pelaporan dengan dalih merendahkan masyarakat Lampung.

Bahkan, dalam data Safenet, dalam rentan 2013-2021 hampir ada 400 kasus yang dituntut dengan UU ITE. Kebanyakan korban dari UU ITE adalah aktivis yang getol mengeluarkan kritik.

Saat ini, kasus Haris Azhar dan Fatia sudah memasuki persidangan. Pangkalnya Haris dan Fatia disebut telah mencemarkan nama baik Luhut dalam sebuah vudeo di YouTube. 

Ironisnya, tindak pidana yang lahir dari transaksi elektronik justru tenggelam oleh marakanya kasus pencemaran nama baik.

Entah itu karena kasus tersebut tidak ada atau karena pasal pencemaran nama baik hanya dijadikan alat pembungkam saja.
Berkaca dari kasus di atas, maka sejatinya UU ITE telah melenceng dari tujuan awalnya yaitu

Untuk itu, kejahatan QRIS kali ini membuka mata bagi kita bahwa kejahatan siber tidak hanya sekadar pencemaran nama baik atau ujaran kebencian. Kasus pencemaran nama baik lebih baik diselesaikan dengan metode restorative justice.

Sementara itu, adanya kejahatan QRIS membuka mata kita jika UU ITE memang dibutuhkan agar kembali sesuai tujuannya yaitu menjaga ruang digital agar tetap kondusif, khususnya dalam hal transaksi elektronik.

Adanya kasus ini menjadi momen yang tepat untuk mengembalikan UU ITE ke tujuan awalnya, yaitu menjaga segala aktivitas perekonomian digital. 

Ke depannya, pasal-pasal yang menyerang individu seperti penghinaan atau pencemaran nama baik diatur secara terpisah dari UU ITE. UU ITE hanya mengatur terkait masalah ekonomi digital saja. 

Sementara pasal penghinaan bisa diatur di luar itu. Atau bisa juga dikembalikan lagi dalam KUHP dengan merevisi aturan lama yang sudah tidak relevan lagi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun