Untuk itu, kejahatan QRIS kali ini membuka mata bagi kita bahwa kejahatan siber tidak hanya sekadar pencemaran nama baik atau ujaran kebencian. Kasus pencemaran nama baik lebih baik diselesaikan dengan metode restorative justice.
Sementara itu, adanya kejahatan QRIS membuka mata kita jika UU ITE memang dibutuhkan agar kembali sesuai tujuannya yaitu menjaga ruang digital agar tetap kondusif, khususnya dalam hal transaksi elektronik.
Adanya kasus ini menjadi momen yang tepat untuk mengembalikan UU ITE ke tujuan awalnya, yaitu menjaga segala aktivitas perekonomian digital.Â
Ke depannya, pasal-pasal yang menyerang individu seperti penghinaan atau pencemaran nama baik diatur secara terpisah dari UU ITE. UU ITE hanya mengatur terkait masalah ekonomi digital saja.Â
Sementara pasal penghinaan bisa diatur di luar itu. Atau bisa juga dikembalikan lagi dalam KUHP dengan merevisi aturan lama yang sudah tidak relevan lagi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H