Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Jika Presiden Melakukan Tindak Pidana, Bisakah Diberhentikan?

8 April 2023   07:34 Diperbarui: 8 April 2023   07:35 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sidang tahunan MPR. | Foto: KOMPAS.COM

Mantan Presiden Amerika Serikat ke-45, Donald Trump berusuan dengan hukum. Pasalnya ia dikenakan 34 dakawaan atas beberapa kasus yang terjadi sejak tahun 2016. Kasus yang dihadapi Trump meliputi suap hingga pemalsuan catatan bisnis.

Ia mengatur uang pembayaran suap sebesar Rp. 1,9 miliar kepada bintang porno Stormy Daniels dan model majalah Playboy Karen McDougal. Jaksa menyebut Trump melakukan hal tersebut untuk menjaga citranya menjelang pemilihan presiden 2016.

Sementara itu, Stormy Daniels mengaku telah berselingkuh dengan Trump pada tahun 2006. Akan tetapi, tuduhan itu selalu dibantah oleh Trump.

Pada tahun 2016, Daniel mencoba membagikan pengalaman tersebut kepada media, tapi pengacara Trump memberi uang tutup mulut pada Daniels.

Selain itu, jaksa juga menyebut Trump telah memalsukan catatan bisnis di New York untuk menyembunyikan konspirasi ilegal dan merusak integritas pilpres 2016 dan pelanggaran undang-uundang lainnya.

Memalsukan catatan bisnis di New York termasuk pelanggaran ringan. Akan tetapi, pelanggaran itu bisa dinaikkan menjadi kejahatan yang dapat dihukm empat tahun bila dilakukan untuk menyembunyikan kejahatan lain.

Tentu kasus ini menjadi kerugian bagi Trump. Mengingat ia tengah berkampanye dan siap terjun kembali pada pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2024 mendatang.

Meski begitu, dihimpun dari kompas.com, Trump masih bisa ikut dalam pemilihan presiden tersebut.

Apa yang terjadi pada Trump tentu menarik dalam hukum tata negara. Pertanyaannya, jika hal tersebut terjadi di Indonesia, apakah seseorang bisa ikut dalam pemilihan presiden atau tidak?

Lebih jauh dari itu, jika seorang presiden yang masih menjabat kemudian melakukan tindak pidana, bisakah ia diberhentikan?

Jika mengacu pada dinamika konstitusi kita, maka terkait pemberhentian presiden atau impeachment baru dibahas secara lugas setelah amandemen UUD 1945 yang keempat.

Akan tetapi, ada hal menarik terkait pemberhentian masa jabatan presiden di tengah jalan terutama sebelum amandeman UUD 1945 yang keempat.

Masa sebelum amandemen

Sebelum adanya perubahan UUD 1945, pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak diatur di dalam batang tubuh. Ketentuan sebelumnya hanya mengatur tentang pemilihan saja oleh MPR.

Ketentuan tentang pemberhentian terdapat dalam penjelasan. Tetapi hanya terkait masa jabatan Presiden saja, sedangkan untuk Wakil Presiden tidak ada ketentuan tersebut.

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, paling tidak ada dua presiden yang diberhentikan ketika masih menjabat, yaitu Sukarno dan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Latar belakang pemberhentian keduanya berbeda.

Presiden Sukarno di-impeachment oleh MPR melalui cara mencabut kekuasaan pemerintahan negara dengan pemberontakan kontra-revolusi G30S PKI, yang dikemal dengan pidato Nawaksara. Tetapi, pidato tersebut tidak diterima oleh MPRS.

Ada dua alsan yang mendasari MPR memberhentikan Sukarno. Pertama, presiden tidak dapat memenuhi pertanggungajawaban konstitusional, dan kedua persiden tidak dapat menjalankan haluan negara dan putusan MPRS.

Sementara itu, Presiden Gus Dur diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada tahun 2001 melalui Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001.

Tentu kebijakan yang paling disorot pada saat itu adalah ketika Gus Dur mengeluarkan dektrit yang isinya membubarkan DPR.

Jika mengacu pada sejarahnya, Sukarno pun pernah melakukan hal serupa pada 5 Juli 1959 yang membubarkan KNIP. KNIP sendiri adalah cikal bakal DPR yang mana saat itu tugasnya adalah merusumuskan UUD baru menggantikan UUDS 1950.

Akan tetapi, dua dektrit tersebut jelas bertentangan dengan sistem presidensial. Dalam sistem ini, presiden tidak bisa membubarkan parlemen. Kecuali jika negara kita menganut sistem parlementer, maka hal tersebut bisa dilakukan.

Dari uraian di atas, MPR memiliki kuasa untuk memberhentikan presiden. Saat itu, MPR merupakan lembaga tertinggi negara yang dianggap sebagai representasi masyarakat.

Akan tetapi, setelah amandemen keempat, peran MPR tidak dominan seperti dahulu. Tentu yang menarik adalah keterlibatan Mahkamah Konstitusi.

Sesuadah amandemen

Setelah amandemen UUD 1945 yang keempat, ketentuan pemberhentian masa jabatan presiden diatur lebih jelas dalam Pasal 7A yang berbunyi:

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawartan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Dari uraian pasal tersebut, setidaknya ada dua hal yang melandasi Presiden dan/atau Wakil Presiden bisa diberhentikan dari masa jabatannya. Alasan pertama adalah karena melakukan tindak pidana dan alasan kedua adalah karena sudah tidak memenuhi syarat lagi. 

Jika kita uraikan lebih lanjut, kita bisa mencari tahu tindak pidana apa saja yang dimaksud. Yang pertama adalah tindak pidana berupa pengkhiantan terhadap negara. Jika mengacu pada KUHP, salah satu bentuk pengkhianatan terhadap negara salah satunya adalah makar.

Lalu, tindak pidana korupsi dan penyuapan jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi beserta perubahannya. Untuk suap sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Suap.

Bagaimana dengan tindak pidana berat dan perbuatan tercela? Bersarkan Pasal 1 PMK Nomor 21 Tahun 2009, yang dimaksud dengan tindak pidana berat adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.

Untuk perbuatan tercela sendiri, meski bukan pelanggaan pidana, tetapi mencakup perbuatan yang diangagap tercela oleh masyarakat dan tidak pantas dilakukan oleh seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Sedangkan alasan terakhir, syarat untuk menjadi Presiden dan/atau Wakil Presiden bisa dilihat di dalam Pasal 1 angka 12 PMK Nomor 21 Tahun 2009 yang meliputi, warga negara Indonesia sejak kelahirannya, tidak pernah menerima kewarganegaraan dari negara lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, dan mampu secara jasmani dan rohani.

Jadi, jika kita melihat ketentuan Pasal 7A UUD 1945 di atas, seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dari jabatannya apabila melakukan tindak pidana dan/atau tidak memenuhi syarat lagi.

Dengan kata lain, jika ada presiden yang melakukan tindak pindana atau bahkan melakukan perbuatan tercela, maka bisa dimakzulkan.

Berbeda sebelum amandemen keempat, pada amandemen keempat terkait pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden melibatkan Mahkamah Konstitusi.

Mekanisme

Terkait pemberhentian masa jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden, pertama DPR mengusulkan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi.

Selanjtunya, MK akan memeriksa, mengadili, dan memutus apakah usulan DPR tersebut ditemukan adanya pindana yang dilanggar atau tidak.

Jika MK menilai ada tindak pidana yang dilanggar oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka DPR melakukan sidang paripurna untuk meneruskan penilaian MK tersebut kepada MPR.

Kemudian MPR wajib menyelenggarakan sidang paling lambat 30 hari setelah MPR menerima usul tersebut.

Keputusan MPR tersebut harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui sekurang-kurangnya oleh 2/3 jumlah anggota yang hadir.

Sejak amandemen keempat UUD 1945, belum pernah ada Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diberhentikan dari jabatannya. Itu artinya, praktik impeachment di era setelah reformasi belum terjadi.

Akan tetapi, praktik ini bisa saja terjadi untuk pertama kalinya jika Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar Pasal 7A UUD 1945. Dengan demikian, presiden tidak memiliki kekuasan yang mutlak.

Konstitusi memberi batasan agar kekuasaan seorang penguasa tidak disalahgunakan. Keberadaan Pasal 7A juga merupakan sarana pengontrol agar presiden tetap berada di jalur yang benar.

Sebaliknya, DPR sendiri memiliki fungsi untuk mengawasi, dalam artian jangan sampai seorang kepala negara melakukan tindak pidana atau perbuatan tercela.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun