Dengan kata lain, jika ada presiden yang melakukan tindak pindana atau bahkan melakukan perbuatan tercela, maka bisa dimakzulkan.
Berbeda sebelum amandemen keempat, pada amandemen keempat terkait pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden melibatkan Mahkamah Konstitusi.
Mekanisme
Terkait pemberhentian masa jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden, pertama DPR mengusulkan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi.
Selanjtunya, MK akan memeriksa, mengadili, dan memutus apakah usulan DPR tersebut ditemukan adanya pindana yang dilanggar atau tidak.
Jika MK menilai ada tindak pidana yang dilanggar oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka DPR melakukan sidang paripurna untuk meneruskan penilaian MK tersebut kepada MPR.
Kemudian MPR wajib menyelenggarakan sidang paling lambat 30 hari setelah MPR menerima usul tersebut.
Keputusan MPR tersebut harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui sekurang-kurangnya oleh 2/3 jumlah anggota yang hadir.
Sejak amandemen keempat UUD 1945, belum pernah ada Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diberhentikan dari jabatannya. Itu artinya, praktik impeachment di era setelah reformasi belum terjadi.
Akan tetapi, praktik ini bisa saja terjadi untuk pertama kalinya jika Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar Pasal 7A UUD 1945. Dengan demikian, presiden tidak memiliki kekuasan yang mutlak.
Konstitusi memberi batasan agar kekuasaan seorang penguasa tidak disalahgunakan. Keberadaan Pasal 7A juga merupakan sarana pengontrol agar presiden tetap berada di jalur yang benar.
Sebaliknya, DPR sendiri memiliki fungsi untuk mengawasi, dalam artian jangan sampai seorang kepala negara melakukan tindak pidana atau perbuatan tercela.