Menurut Elin, hal tersebut sudah sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.
"Kami tekankan kembali, di dalam UU tertulis bahwa tanggung jawab industri adalah memberikan jaminan memproduksi dan mengedarkan produk obat yang aman, bermutu, dan berkhasiat," (tempo.co)
Elin menyebut industri farmasi dapat menjamin hal tersebut dengan melakukan pengujian atau analisis terhadap produk obat.
Sedangkan BPOM melakukan pengawasan produk baik yang belum beredar melalui registrasi maupun yang telah beredar melalui sampling dan pengujian.
Lalu, undang-undang apa yang dimaksud oleh Elin itu? Saya kemudian menelusuri aturan yang dimaksud. Jika ditelisik, undang-undang yang dimaksud adalah UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Di dalam Pasal 108 dijelaskan: "praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan
termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Kemudian di Pasal 108 ayat 2 dijelaskan untuk praktik kefarmasian diatur oleh Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah PP Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
Di dalam Pasal 9 ayat 1 dijelaskan setiap industri farmasi harus memiliki tiga orang apoteker sebagai penanggung jawab pada bidang mutu, produksi, dan pengawasan mutu.
Lalu, bagaimana dengan tugas BPOM itu sendiri? Tugas BPOM sendiri diatur dalam PP Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Secara garis besar, BPOM memiliki tugas untuk menjalankan urusan pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan. Untuk itu, BPOM sendiri adalah lembaga nonkementerian.
Fungsi BPOM sendiri bisa dilihat dalam Pasal 3 ayat 1 salah satunya adalah menyusun kebijakan penetapan norma, standar prosedur, dan kriteria di bidang pengawasan sebelum dan selama obat dan makanan beredar.