Awalnya saya acuh ketika muncul berita penyakit gagal ginjal akut yang menimpa sejumlah anak. Penyebab dari penyakit itu berasal dari obat sirup yang ternyata tidak terdaftar di BPOM.
Namun setelah ditelisik lebih jauh, Kemenkes memerintahkan agar penjualan obat sirup disetop sementara menyusul banyaknya kasus gagal ginjal pada anak.
Terbaru, pemerintah merilis obat sirup yang memiliki kadar etilen glikol yang tinggi. Salah satunya adalah unibebi cough. Mendengar obat itu masuk daftar, tentu saya terkejut.
Pasalnya tiga keponakan saya yang masih balita telah mengongsumsi obat itu sebelum pemerintah menyetop peredarannya. Bahkan keponakan saya ada yang habis satu botol.Â
Memang sirup tersebut menjadi andalan obat batuk bagi ketiga keponakan saya karena manjur. Akan tetapi, saya jadi cemas setelah pemerintah menyetop peredaran obat tersebut.
Kini saya hanya bisa berdoa semoga ketiganya tetap sehat. Hanya ada satu pertanyaan yang terbesit dalam pikiran, selama ini BPOM kemana?
Gagal ginjal akut
Menurut Ketua Umum IDAI dr. Piprim Yanuarso, kasus gagal ginjal akut pada anak pertama kali muncul pada Januari lalu dengan jumlah 2 kasus.
Kemudian pada bulan Maret bertambah 2 kasus dan terjadi lojakan pada bulan Mei sebanyak 6 kasus. Sehingga jumlah kasus gagal ginjal pada anak menjadi 10 kasus.
Bulan Juni dan Juli terjadi penambahan kasus yakni sebanyak 12 kasus. Lonjakan cukup tinggi terjadi pada bulan Agustus yakni sebanyak 37 kasus.
Bulan September menjadi lonjakan tertinggi yakni sebanyak 81 kasus. Pada tanggal 18 Oktober kembali bertambah yakni sebanyak 61 kasus sehingga total kasus gagal ginjal akut pada anak adalah 206 kasus.
Teranyar, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut jumlah kasus gagal ginjal akut pada anak menjadi 241 kasus. Dari jumlah itu, sebanyak 133 orang meninggal dunia.
Menurut Budi, gejala umum penyakit ini adalah air kencing yang sedikit atau tidak kencing sama sekali. Menkes juga memastikan jika kasus gagal ginjal akut tidak ada kaitannya dengan vaksin covid-19.
Melansir kompas.com, kasus gagal ginjal akut pada anak telah terjadi di berbagai negara. Pada 14 Oktober 2022, jumlah kematian akibat gagal ginjal pada anak di Gambia mencapai 70 orang.
Sejumlah negara juga mengalami kasus yang cukup tinggi seperti Panama yang menewaskan 115 orang. Dugaan dari kasus ini adalah kandungan etilen glikol (EG) dietilen glikol (DEG) pada obat sirup.
Kandungan lain yakni propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol juga dinilai menjadi penyebab gagal ginjal akut.
Sejatinya bahan-bahan itu bukan zat yang berbahaya. Akan tetapi kadar kandungan dalam obat sirup dinilai melebihi ambang batas yang telah ditetapkan.
Pemerintah melalui Kemenkes menyetop peredaran obar sirup yang mengandung EG dan DEG dengan kadar yang tinggi, di antaranya termorex sirup, flurin dmp sirup, unibebi cough sirup, unibebi demam sirup, dan unibebi demam drops.
BPOM lempar tanggung jawab
Seperti yang kita ketahui, pengawasan obat dan makanan diawasi oleh BPOM. Sejatinya BPOM memastikan apakah peredaran obat dan makanan yang ada di masyarakat sudah memenuhi standar keamanan atau tidak.
BPOM juga yang berhak memberi ijin edar bagi obat mau pun makanan. Untuk itu, pengawasan dan pemberian ijin tidak boleh asal-asalan. Tetap harus mengedepankan uji klinis jangan hanya kelengkapan dokumen administrasi saja.
Namun dalam kasus ini BPOM justru melempar bola panas ini pada perusahaan farmasi. Menurut Inspektur Utama BPOM Elin Herlina, khasiat, mutu, dan keamanan obat merupakan tanggung jawab industri farmasi.
Menurut Elin, hal tersebut sudah sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.
"Kami tekankan kembali, di dalam UU tertulis bahwa tanggung jawab industri adalah memberikan jaminan memproduksi dan mengedarkan produk obat yang aman, bermutu, dan berkhasiat," (tempo.co)
Elin menyebut industri farmasi dapat menjamin hal tersebut dengan melakukan pengujian atau analisis terhadap produk obat.
Sedangkan BPOM melakukan pengawasan produk baik yang belum beredar melalui registrasi maupun yang telah beredar melalui sampling dan pengujian.
Lalu, undang-undang apa yang dimaksud oleh Elin itu? Saya kemudian menelusuri aturan yang dimaksud. Jika ditelisik, undang-undang yang dimaksud adalah UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Di dalam Pasal 108 dijelaskan: "praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan
termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Kemudian di Pasal 108 ayat 2 dijelaskan untuk praktik kefarmasian diatur oleh Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah PP Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
Di dalam Pasal 9 ayat 1 dijelaskan setiap industri farmasi harus memiliki tiga orang apoteker sebagai penanggung jawab pada bidang mutu, produksi, dan pengawasan mutu.
Lalu, bagaimana dengan tugas BPOM itu sendiri? Tugas BPOM sendiri diatur dalam PP Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Secara garis besar, BPOM memiliki tugas untuk menjalankan urusan pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan. Untuk itu, BPOM sendiri adalah lembaga nonkementerian.
Fungsi BPOM sendiri bisa dilihat dalam Pasal 3 ayat 1 salah satunya adalah menyusun kebijakan penetapan norma, standar prosedur, dan kriteria di bidang pengawasan sebelum dan selama obat dan makanan beredar.
Jadi, jika melihat aturan di atas memang benar untuk kualitas mutu adalah tanggung jawab industri farmasi. Akan tetapi untuk pengawasan sebelum dan sesudah obat itu beredar ada di tangan BPOM.
Jadi, sebelum obat beredar ke masyarakat BPOM harus memastikan apakah obat dan makanan itu sudah sesuai dengan standar dan persyaratan, khasiat/manfaat, dan mutu produk yang ditetapkan. Hal ini terlihat jelas dalam Pasal 3 ayat 2 PP No. 80 Tahun 2017 tentang BPOM.
Jadi, saya kira tidak tepat jika BPOM hanya membebankan tanggung jawab kualitas mutu pada industri farmasi. Toh sebelum beredar juga BPOM memiliki tugas untuk menjamin khasiat dan manfaat obat.
Jika sudah terjamin, maka ijin edar pun didapat oleh industri farmasi. Jadi, jika melihat ketentuan yang ada apa yang disampaikan oleh Elin tidak secara utuh.Â
Dengan demikian BPOM juga memiliki tanggung jawab sebelum obat itu beredar guna mencegah hal yang tidak diinginkan. Itu sebabnya menurut saya BPOM kecolongan dalam hal ini.
Selain sebelum beredar, selama beredar juga BPOM juga bertugas mengawasi dan memastikan apakah obat dan makanan sudah sesuai standar atau belum.
Dengan kata lain, baik sebelum dan selama peredaran obat BPOM teledor. Sebelum obat beredar BPOM harus menjamin apakah obat sudah memenuhi standar yang ditetapkan BPOM atau tidak dalam hal ini adalah ambang batas EG dan DEG pada obat sirup.
Kemudian selama beredar BPOM juga harus memastikan dan bertanggung jawab dengan keputusan pengawasan sebelum obat beredar. Bagi saya, kedua tugas itu tidak berjalan dengan baik.
Jadi, BPOM juga ikut bertanggung jawab atas kasus ini karena di tangan mereka lah ijin obat itu keluar. Untuk itu, perihal ijin jangan hanya sebatas dokumen administrasi saja yang terpenuhi, tapi standar klinis dan pengujian juga harus dipertimbangkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI