Misalnya Anda tiba-tiba ditodong oleh perampok dengan senjata tajam. Tentu Anda hanya bisa diam mematung karena kaget dan tidak bisa melakukan apa-apa.
Dalam kondisi itu, Anda tentu memilih mengorbankan harta daripada nyawa Anda. Tentu diberinya harta tersebut bukan berarti setuju.
Begitu juga dengan korban kekerasan seksual di atas. Diamnya si anak bukan berarti dia mengijinkan si pria bejat itu melecehkan dirinya, akan tetapi si anak jelas tidak memiliki kuasa untuk melawan.
Pelecehan anak delik biasa
Satu hal lagi yang membuat saya heran adalah polisi menyebut tidak bisa melanjutkan kasus ini karena orangtua korban tidak membuat laporan.
Ini sungguh pemahaman yang keliru. Pelecehan seksual pada anak bukan delik aduan, tapi delik biasa. Artinya tanpa adanya laporan pun polisi seharusnya menindak pelaku.
Apalagi sudah ada bukti rekaman video yang bisa dijadikan acuan untuk menetapkan status tersangka. Tentu ini sangat ironi, pelecehan seksual pada anak jelas kejahatan yang tidak bisa dimaafkan.
Seharusnya kepolisan tahu jika orangtua tidak melapor pasti asa pertimbangan lain, yaitu kondisi korban. Inilah yang harus kita sadari.Â
Dengan adanya kasus ini, jelas menjadi preseden buruk dalam penanganan kasus pelecehan seksual pada anak. Kesalahan dalam memahami kasus ini yang rugi adalah korban.
Sementara pelaku tidak dirugikan sama sekali. Apalagi korban adalah anak di bawah umur yang seharusnya dilindungi oleh segenap masyarakat. Jangan sampai kasus seperti ini justru merusak masa depan anak.
Semoga saja kasus ini mendapat titik terang dan pelaku dibawa ke persidangan. Selain itu, pihak kepolisian juga harus berani mengevaluasi kinerja bawahannya jangan sampai kejadian serupa terulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H