Sebelumnya viral video seorang pria yang melakukan aksi tak senonoh pada anak di bawah umur. Video tersebut terekam CCTV di sebuah toko kelontong di Sidayu, Gresik.
Dalam video itu, seorang pria tengah duduk di toko kelontong sambil minum. Tak lama kemudian datang seorang wanita dewasa beserta anak perempuan memakai hijab cokelat.
Perempuan dewasa tersebut masuk ke dalam toko kelontong sementara si anak diam di luar. Si pria tersebut kemudian mengajak anak tersebut untuk duduk di sampingnya.
Melihat situasi sepi, si pria langsung melakukan aksi bejatnya yakni memeluk dan mencium anak tersebut. Si pria itu kemudian kembali melihat situasi dan melakukan hal yang sama pada si anak.
Tak lama setelah itu si pria kemudian keluar meninggalkan toko kelontong itu. Bagi yang ingin lebih jelas kronologinya silakan baca di sini.
Hal yang membuat saya heran adalah pernyataan dari Kapolsek Sidayu Khairul Alam. Dikutip dari beberapa sumber, menurut Khairul Alam perbuatan tersebut bukan pelecehan seksual. Menurutnya pelecehan seksual itu harus buka baju.Â
"Menurut saya, namanya pelecehan seksual itu dia buka baju. Nah, kriteria itu," kata Khairul sebagaiaman dikutip dari detik.com
Alasan lain mengapa perbuatan tersebut bukan pelecehan seksual karena sikap si anak yang diam. Menurut Khairul, si anak justru tidak melawan bahkan tidak menangis.
Hal itulah yang menurutnya perbuatan di atas bukan termasuk ke dalam pelecehan seksual.
"Dia (si anak) itu juga nggak nangis. Kalau nangis kan waktu itu seketika juga orang tuanya tahu. Menurut saya, (pelaku) tidak melakukan pelecehan," sebut Khairul. (detik.com)
Selain itu, pihaknya juga tidak bisa melakukan upaya apapun karena pihak keluarga tidak membuat laporan. Karena tidak ada laporan itulah Kapolsek Sidayu tidak memproses kasus tersebut.
Bagi saya, pernyataan di atas begitu keliru dan jelas tidak memahami apa itu pelecehan seksual. Inilah yang membuat saya heran, mengapa penegak hukum tingkahnya seperti ini.
Pemahaman yang sempit
Pernyataan Kapolsek Sidayu yang menyebut perbuatan di atas bukan pelecehan seksual jelas keliru. Ia bahkan mencontohkan jika buka baju baru disebut pelecehan seksual.
Padahal sudah jelas jika perbuatan "mencium" masuk ke dalam kategori pelecehan seksual. Apalagi korban adalah anak kecil.
Bagi saya pemahaman terkait pelecehan seksual itu sendiri sangat sempit. Sungguh pemahaman tersebut sangat tidak elok apalagi untuk seorang penegak hukum.
Selama ini pelecehan seksual harus diukur "perbuatan fisik", bahkan lebih dari itu diidentikan dengan perkosaan. Padahal pelecehan dan kekerasan seksual dua hal yang berbeda.
Dua-duanya merupakan satu tidak asusila yang harus diberantas. Padahal makna pelecehan seksual jauh lebih luas, tidak hanya sebatas fisik, bahkan verbal.
Salah satunya adalah cat calling. Bagi sebagian orang cat calling atau siul-siul merupakan tindakan biasa. Padahal perbuatan tersebut masuk ke dalam pelecehan seksual secara verbal dan membuat korban merasa tidak nyaman atau dilecehkan
Apalagi di zaman teknologi seperti saat ini, makna pelecehan seksual jauh lebih luas lagi. Contohnya dilecehkan melalui pesan yang tak pantas di media sosial.
Pemahaman sempit terhadap pelecehan seksual itulah yang perlu kita perbaiki. Pelecehan seksual tidak hanya sebatas perbuatan fisik, tapi psikis bahkan verbal.
Apalagi kasus di atas yang jelas-jelas perbuatan fisik. Belum lagi korban adalah anak kecil dan tentu akan terjadi ketimpangan kuasa dalam kejadian itu.
Diam bukan berarti setuju
Pernyataan kedua jelas kontroversi. Si anak yang diam dan tidak melawan seakan-akan menyatakan setuju pada perbuatan tersebut. Padahal diam dan tidak melawan bukan berarti menerima.
Inilah yang disebut dengan relasi kuasa dan/atau gender. Diamnya korban karena ada ketimpangan kuasa mau pun gender.
Relasi kuasa atau gender memposisikan pelaku memiliki posisi yang dominan dibanding korban. Misalnya pelecehan oleh dosen terhadap mahasiswa.
Jelas sang dosen memiliki kuasa penuh atas mahasiswa. Bisa saja si dosen memberi ancaman pada korban sehingga korban diam dan ditafsirkan menerima.
Begitu juga dengan kasus di atas jelas ada ketimpangan relasi kuasa dan gender. Diamnya si anak bukan berarti dia menerima perbuatan tersebut.
Akan tetapi karena ada ketimpangan relasi gender sehingga sang anak tidak bisa melawan. Pelaku jelas lebih dominan daripada korban baik dari sisi fisik mau pun sisi lainnya.Â
Itulah sebabnya korban hanya diam karena memang tidak bisa melawan dan sekali lagi diamnya korban bukan berarti setuju. Jangankan anak kecil, orang dewasa pun tidak bisa melawan jika sudah terjadi hal itu.
Banyak di antara kita yang sering melontarkan komentar miring pada korban pelecehan seksual. "Kalau tidak mau, mengapa tidak melawan." Ucapan itulah yang sering kita dengar.
Secara tidak langsung Kapolsek Sidayu melakukan hal yang sama. Padahal ada satu alasan mengapa korban pelecehan atau kekerasan seksual tidak melawan.
Dalam jurnal Acta Obstetricia et Gynecologica Scandinavica yang terbit pada tahun 2017, peneliti menyebut 70% korban perkosaan tidak melawan karena mengalami sensasi seolah tubunya lumpuh.
Akibatnya korban tidak bisa melawan dan hanya diam saja. Sensasi mendadak lumpuh sebenarnya lumrah terjadi terutama dalam hal bahaya.
Misalnya Anda tiba-tiba ditodong oleh perampok dengan senjata tajam. Tentu Anda hanya bisa diam mematung karena kaget dan tidak bisa melakukan apa-apa.
Dalam kondisi itu, Anda tentu memilih mengorbankan harta daripada nyawa Anda. Tentu diberinya harta tersebut bukan berarti setuju.
Begitu juga dengan korban kekerasan seksual di atas. Diamnya si anak bukan berarti dia mengijinkan si pria bejat itu melecehkan dirinya, akan tetapi si anak jelas tidak memiliki kuasa untuk melawan.
Pelecehan anak delik biasa
Satu hal lagi yang membuat saya heran adalah polisi menyebut tidak bisa melanjutkan kasus ini karena orangtua korban tidak membuat laporan.
Ini sungguh pemahaman yang keliru. Pelecehan seksual pada anak bukan delik aduan, tapi delik biasa. Artinya tanpa adanya laporan pun polisi seharusnya menindak pelaku.
Apalagi sudah ada bukti rekaman video yang bisa dijadikan acuan untuk menetapkan status tersangka. Tentu ini sangat ironi, pelecehan seksual pada anak jelas kejahatan yang tidak bisa dimaafkan.
Seharusnya kepolisan tahu jika orangtua tidak melapor pasti asa pertimbangan lain, yaitu kondisi korban. Inilah yang harus kita sadari.Â
Dengan adanya kasus ini, jelas menjadi preseden buruk dalam penanganan kasus pelecehan seksual pada anak. Kesalahan dalam memahami kasus ini yang rugi adalah korban.
Sementara pelaku tidak dirugikan sama sekali. Apalagi korban adalah anak di bawah umur yang seharusnya dilindungi oleh segenap masyarakat. Jangan sampai kasus seperti ini justru merusak masa depan anak.
Semoga saja kasus ini mendapat titik terang dan pelaku dibawa ke persidangan. Selain itu, pihak kepolisian juga harus berani mengevaluasi kinerja bawahannya jangan sampai kejadian serupa terulang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI