Sepanjang hidup, saya hanya dua kali mengenyam pendidikan di sekolah negeri, yaitu SD dan SMP. Untuk SMA dan bangku kuliah semuanya swasta.
Bagi saya, seseorang yang menempuh pendidikan di sekolah maupun universitas negeri sangat beruntung. Mengapa begitu? Ada banyak alasan yang tak bisa diuarai satu-satu di sini.
Saat lulus SMP tahun 2013, teman-teman berdiskusi soal SMA atau SMK mana yang dipilih. Rata-rata memilih sekolah negeri.Â
Hanya saya yang tidak ikut nimbrung diskusi. Ada dua hal yang membuat saya tidak ikut diskusi, pertama nilai UN saya kecil, dan kedua biaya ke sekolah negeri bagi saya mahal.
Dua indikator itulah yang membuat saya lebih memilih sekolah swasta. Lokasi sekolahnya pun tidak jauh, yaitu di belakang sekolah SMP yang saya tempuh.
Salah satu teman menyinggung sekolah yang akan saya tuju, "udah kamu ke SMA itu aja" (dalam bahasa Sunda). Jawaban pertanyaan itu masih saya ingat hingga kini, "ih amit-amit jika harus sekolah di sana."
Itulah gambaran sekolah swasta yang saya tuju. Citranya jelek, kata orang-orang di luar sana. Meski dalam lubuk hati tidak mau, tapi ada daya. Kondisi memang tidak mungkin.
Sekolah negeri di daerah saya menerapkan uang muka awal yang tinggi. Mungkin sekitar 5-8 juta, belum nilai minimum UN yang lumayan tinggi.
Bagi keluarga kami, uang senilai itu sangat banyak. Gaji perbulan bapak tidak sampai segitu. Belum lagi nilai UN saya kecil. Jadi sekolah swasta pilihan yang logis.
Alasan memilih sekolah swasta karena saya dibebaskan membayar uang SPP. Meski begitu, untuk UTS dan UAS tetap bayar. Tapi tidak terlalu mahal karena bisa dijangkau oleh keluarga.
Lalu, bagaimana kondisi sekolah SMA saya waktu dulu? Apakah mewah? Tentu tidak. Saya menyebutnya sebagai sekolah laskar pelangi. Hal itu karena kondisi sekolah tidak jauh berbeda dengan yang ada di novel Andrea Hirata itu.
Saya akan gambarkan sedikit kondisi sekolah laskar pelangi. Terdiri dari 6 kelas saja. Jadi, untuk kelas 10 hanya ada dua kelas, yaitu kelas IPA dan IPS. Tidak ada IPA I, IPS I dan seterusnya.
Untuk satu kelas sendiri terdiri dari 20-30 siswa. Jadi, satu angkatan terdiri 60 siswa. Begitu juga dengan angkatan saya, kurang lebih hanya 60 siswa. Hal itu jauh berbeda jika dibanding siswa di sekolah negeri.
Keenam kelas itu berderet mengelilingi lapangan kecil. Lapangan itu amat kecil, tidak pas jika disebut lapangan. Lebih cocok disebut halaman. Hanya untuk parkir sepeda motor para guru.
Di halaman hanya ada tiang bendera. Meski begitu, sekolah kami tetap mengadakan upacara. Jadi setiap siswa tinggal berbaris di teras. Hanya petugas upacara dan pembina upacara yang ada di halaman. Sederhana tapi nikmat untuk upacara.
Kondisi kelas sendiri lumayan bagus untuk sekolah swasta. Memang ada satu kelas yang tidak memakai keramik. Akibatnya, jika hujan amat kelihatan kotor. Mengingat letak sekolah sendiri ada di dataran tinggi.
Tidak sedikit juga ruang kelas bocor jika hujan lebat. Untuk kamar mandi hanya ada dua, yang jelas kamar mandi itu kotor. Saya sendiri enggan kencing atau buang air besar di sana. Saya memilih WC di mesjid dekat sekolah karena lebih bersih.
Sekolah kami dikelola oleh yayasan. Yayasan ini tidak besar. Awalnya, sekolah kami didirikan karena kepedulian pendiri yayasan pada orang-orang kecil yang tidak bisa melanjutkan pendidikan.Â
Dengan modal minim, akhirnya sekolah kami berdiri. Tentu telah meluluskan banyak siswa di luar sana.Â
Keuangan yayasan sendiri tidaklah kuat, apalagi tidak ada biaya SPP. Saya tidak tahu soal pemasukan yayasan darimana. Akan tetapi, untuk sekolah swasta biasanya dari SPP siswa.
Sementara itu, sekolah kami membebaskan biaya SPP. Jadi, praktis pembiayaan hanya dari uang ujian saja. Itu pun masih ada suka yang nunggak.
Bisa dibayangkan bukan sekolah saya jauh dari kata elit. Apalagi untuk fasilitas. Jika orang lain belajar TIK begitu asyik karena tersedia lab komputer, di sekolah kami lab komputer tidak ada.
Maka, orang-orang yang SMP-nya di negeri tentu sedikitnya tahu mengoperasikan komputer. Akan tetapi, kebanyakan teman saya tidak bisa karena SMP-nya di sekolah yang sama dengan SMA sekang.
Jadi, untuk pagi hari sekolah saya diisi oleh SMA dan siang hari oleh SMP. Kebanyakan siswa SMP melanjutkan di sekolah yang sama karena SPP gratis.
Jadi, bisa mengoperasikan microsoft word atau bahkan copy paste sudah hebat bagi teman-teman saya. Mengapa demikian? Karena selama SMP dan SMA mereka tidak pernah mengenal itu.
Untuk ujian sendiri guru saya berinisiatif menyewa warnet, demi praktik mata pelajaran TIK. Tidak adanya komputer di sekolah bisa saya maklumi, hal itu karena keuangan yayasan amat lemah. Apalagi SPP tidak ada.
Begitu juga dengan lapangan olahraga, kami tidak memilikinya. Jadi, untuk olahraga harus pergi ke lapangan milik warga. Atau menyewa lapangan futsal.
Olahraga yang dimungkinkan di sekolah hanya senam. Atau sekedar tes fisik seperti push up, sit up, dan lain-lain. Untuk renang sendiri sudah pasti sewa kolam renang dengan uang sendiri.
Begitu juga dengan lab bahasa, tidak ada di sekolah kami. Ketika ujian nasional untuk pelajaran bahasa Inggris, di bagian listening kami tidak diberi headphone.Â
Materi listening diputar melalui pengeras suara di depan halaman. Ketika materi listening, maka semua kelas harus diam karena diputar hanya melalui pengeras suara saja.
Untuk angkatan sebelum saya, ujian nasional tidak dilaksanakan di sekolah sendiri karena satu dan lain hal. Akibatnya harus menumpang di sekolah negeri. Itulah satu-satunya cara melihat kondisi sekolah negeri secara langsung.
Satu hal yang saya rasakan saat bersekolah di swasta ialah minimnya guru. Tidak ada guru yang benar-benar ahli di bidangnya. Khususnya untuk pelajaran IPA.
Banyak guru honorer yang keluar dari sekolah kami karena bayarannya kecil. Hanya mereka yang betul-betul mengabdi saja yang mengajar di sini.
Akibatnya, untuk pelajaran IPA sendiri saya sangat bodoh kawan. Dari kelas satu sampai kelas dua, pernah kami tidak memiliki guru biologi. Untuk mengisi kekosongan itu diisi oleh guru PKn.
Coba anda bayangkan, dari PKn ke biologi. Akhirnya kami memiliki guru biologi tetap saat kelas 3, itu pun latar pendidikannya agama. Jadi, untuk pelajaran biologi sendiri kami sangat tertinggal.
Untuk fisika sama, sudah beberapa guru yang masuk dan keluar dengan alasan sama. Kami memiliki guru fisika tetap saat kelas 2, itu pun sang guru jarang hadir karena sibuk di sekolah negeri.
Meski begitu, saya sangat hormat pada Pak Wara, karena telah menyempatkan mengajar fisika di sekolah kecil kami. Beliau benar-benar guru sejati, tidak peduli akan gaji berapa, tapi tetap hadir untuk mengajar.
Dari sisi perhatian, khususnya terkait kurikulum, kami jauh tertinggal. Saya masih ingat betul, di sekolah negeri sana sudah menerapkan kurikulum 2013. Sementara kami belum, buku paket pun baru sampai di pertengahan semester.
Akibatnya, kami kembali tetinggal. Untuk soal ujian sendiri jelas berbeda, maka nilai kami tidak ada yang bagus. Hal itu karena acuan soal mengikuti kurikulum baru sementara kami masih kurikulum yang lama.
Alhasil, banyak materi yang kami tidak pahami. Belum lagi kondisi pengajar yang kosong. Menjelang kelulusan, di luar sana sibuk berbicara kampus mana yang akan dituju.
Sementara kami, berbicara pabrik atau minimarket mana yang akan dituju. Ya, kebanyakan dari kami memang tidak melanjutkan ke jenjang perkuliahan. Di angkatan saya, dari 60 murid hanya 3 orang yang mengenyam pendidikan tinggi termasuk saya.
Saat itu, saya ingin sekali mengikuti SNMPTN. Tapi, apa daya. Sekolah saya tidak masuk kriteria yang ditetapkan. Akhirnya, saya belajar mati-matian ikut SBMPTN. Tentu, dengan kondisi sekolah di atas saya tidak bisa mengisi soal-soal dengan baik.
Jika siswa di sekolah negeri, sepulang sekolah pergi les matematika. Tidak dengan kami, ada yang langsung bekerja atau pergi ke kebun. Bangku universitas tidak pernah terbayangkan oleh teman-teman saya.
Meski latar belakang kami sama, yaitu dari keluarga biasa. Ikatan kami sangat dekat. Untuk bisa jajan nikmat, kami biasanya patungan. Hanya untuk jajan.
Meski sekolah saya jauh dari fasilitas yang memadai. Tapi, berkat sekolah ini saya bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Meski di swasta.
Dunia berputar, kini sekolah kami telah memiliki komputer. Meski tidak banyak, sekarang ada wifi pula. Bersyukur, karena angkatan di bawah kami tidak gagap teknologi lagi.
Jadi, tidak semua sekolah swasta itu elit. Jika keuangan yayasan kuat, tentu sekolah swasta akan menjadi sekolah elit. Dan begitu juga sebaliknya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI