Partai dengan perolehan suara kecil akhirnya lebih memilih berkoalisi dengan partai suara besar karena tentu ada jatah kursi menteri, katakanlah begitu.
Hal berbeda akan terjadi jika ambang batas tidak ada. Mungkin saja akan ada alternatif calon lain yang bisa memberi banyak pilihan pada masyarakat.
Berkaca di negara lain yang menganut sistem presidensial, ambang batas presiden tidak dikenal misalnya di Amerika Serikat.
Beberapa kalangan menilai, jika ambang batas presiden nol justru akan memuculkan banyak calon. Namun, faktanya tidak demikian.
Dalam tulisannya, Djayadi Hanan menyebut negara yang tidak menganut ambang presiden tidak selalu memunculkan banyak calon.
Di Peru misalnya, pada 2016, capres dan cawapresnya ada 18 pasangan. Sebagian besar dari pasangan ini kemudian mengundurkan diri, lalu akhirnya hanya enam pasangan yang terus berkompetisi.
Tentu ada beberapa faktor mengapa beberapa pasangan mengundurkan diri. Misalnya elektabilitas yang rendah atau popularitas pertahana.
Berkaca pada Pemilu 2019 lalu, adanya ambang batas presiden justru membuat masyarakat menjadi terkotak-kotak. Polarisasi masyarakat tersebut begitu terasa bahkan tidak sedikit yang memakai politik identitas.
Pada akhirnya masyarakat terpecah menjadi dua kubu. Tentu saja polarisasi semacam itu tidak baik untuk dilanggengkan. Polarisasi tersebut tercipta karena ambang batas 20 persen.
Selain itu, jika kita melihat pada enam gugatan yang diputus MK hari itu, MK menyebut jika pemohon sebagai individu tidak memiliki kedudukan hukum.
Untuk itu, partai baru atau partai kecil yang memperoleh suara minim pada Pemilu 2019 bisa mencoba untuk menguji ambang batas presiden di MK.