Hanya saja, untuk berkotentasi dalam percaturan presiden terdapat beberapa syarat formil yang harus dipenuhi. Tentu hal ini di luar elektabilitas atau kapasitas calon.
Misalnya dalam Padal 6A ayat 2 menyebut jika capres dan cawapres diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu.
Dari ketentuan itu, jika ingin nyapres setidaknya harus memiliki kendaraan politik yaitu partai politik. Parpol sebagai kendaraan untuk nyapres bisa didirikan oleh siapa saja.
Hal ini bisa dilihat dari partai baru yang muncul saat ini. Partai baru ini bisa dilihat dari beberapa sudut pandang. Partai baru di sini memang partai yang murni baru lahir.
Ada juga partai baru yang lahir dari barisan sakit hati karena berseberangan dengan partai lama, misalnya Partai Gelora yang dimotori oleh Fahri Hamzah.
Meski telah memiliki kendaraan politik, masih ada syarat lagi yang harus dipenuhi yaitu presidential treshold alias ambang batas presiden sebanyak 20 persen.
Inilah yang menjadi batu sandungan sebenarnya. Perolehan 20 persen suara terlalu tinggi dan jelas merugikan partai baru yang ingin ikut dalam percaturan pemilihan presiden.
Belum lagi ambang batas parlemen 4 persen yang dinilai terlalu berat. Partai baru yang ikut kontestasi Pemilu 2019 tidak memenuhi ambang batas itu, jika diakumulasi maka sebanyak 13 juta suara terbuang begitu saja.
Keadaan ambang batas presiden sendiri masih menjadi perdebatan sampai saat ini. Ada yang setuju dan ada yang tidak.
Bagi mereka yang setuju, ambang batas parlemen bisa memperkuat partai di parlemen. Sehingga sistem presidensial kuat.Â