Hal ini mungkin saja benar, jika parlemen kuat maka pemerintah akan mudah dalam mengeluarkan kebijakan publik karena di parlemen kuat. Namun, hal ini justru bisa sebaliknya.
Parlemen yang gemuk tidak serta merta membuat keseimbangan. Dalam praktik, justru beberapa undang-undang yang dinilai tidak merepresentasikan keinginan rakyat bisa mulus melaju di parlemen.
Misalnya revisi UU KPK, UU IKN, dan tentu UU Cipta Kerja yang fenomenal yang oleh MK dinilai cacat prosedur. Gemuknya parlemen justru prosedur legislasi tidak berjalan dengan baik.
Di sisi lain, bagi pihak yang tidak setuju adanya presidential treshold akan menghambat calon lain yang ingin maju dalam pilpres karena syaratnya berat.
Untuk itu, adanya presidential treshold sejatinya hanya akan menghambat calon alternatif. Pilihan masyarakat diminimalisir, alasan masyarakat memilih bukan lagi karena sosok figur, bisa saja dengan dalih untuk menghindari hal buruk.
Sebetulnya, masih ada upaya hukum untuk menguji ini yaitu dibawa ke MK. Namun, berkali-kali MK menolak permohonan tersebut dengan dalil jika presidential treshold adalah open legal policy.
Sehingga syarat 20 persen tersebut dinilai tidak bertentangan dengan konstitusi. Akan tetapi, masih terdapat pertanyaan yang bisa diajukan terkait ambang batas presiden.
Apalagi jika hitungan 20 persen suara tersebut dilihat dari hasil Pemilu sebelumnya yaitu Pemilu 2019. Lantas, apakah partai pemenang Pemilu 2019 akan memperoleh suara yang sama saat pemilu nanti atau tidak?
Maka tidak heran jika ambang batas presiden tidak lain hanya untuk melanggengkan kekuasaan suatu partai saja. Seharusnya setiap partai memiliki kesempatan yang sama untuk mengajukan calon.
Jika kita berkaca pada hasil Pemilu 2019 lalu, mungkin saja akan ada lebih dari dua calon karena beberapa partai bisa memenuhi ambang batas 20 persen.
Namun, nyatanya tidak demikian. Tentu ada hitung-hitungan politik. Selain itu, berkaca pada pilpres kemarin, partai dengan suara terbanyaklah yang mengajukan capres.