Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 Disebut Legalkan Zina, Benarkah Demikian?

7 November 2021   12:06 Diperbarui: 13 November 2021   00:40 1317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nadiem Anwar Makarim, Menteri Pendidikan. Sumber: kompas.com

Seorang mahasiswi jurusan Hubungan Internasional (HI) Universitas Riau diduga mengalami pelecehan seksual oleh dosen pembimbing skripsinya. 

Di dalam cuitannya, korban yang berinisial L menceritakan kejadian yang menimpa dirinya. L tengah bimbingan skripsi dan di ruangan hanya ada L dan sang dosen pembimbing saja. 

Setelah bimbingan skripsi, L mengaku dipegang pundaknya, kemudian dicium di bagian kening dan pipi. Sang dosen malah disebut mencari bibir L, tentu kondisi itu membuat L ketakukan. 

Kejadian ini kemudian berbuntut panjang, L melaporkan kejadian itu pada polisi. Di sisi lain, sang dosen membantah kejadian itu dan ia menduga ada dalang di balik itu yang berusaha mencemarkan nama baiknya.

Kejadian di atas bukan hal baru, pelecehan seksual yang terjadi di dunia pendidikan kerap kita dengar dan tidak tahu ujungnya kemana. Di sisi lain, instansi pelayanan publik lain kerap muncul kasus seperti ini. 

Kasus pelecehan seksual yang terjadi di instansi pendidikan hanya mencoreng dunia pendidikan kita. Hal itu jelas tidak mencerminkan pendidikan itu sendiri yang selalu menekankan budi pekerti dan akhlak yang luhur. 

Kejadian di atas hanya salah satu kasus pelecehan seksual yang terjadi di dunia pendidikan. Kasus pelecehan seksual yang terjadi di dunia pendidikan memang sulit untuk ditangani, apalagi dari segi regulasi.

Kemendikbud lantas mengeluarkan Permendikbud No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Peraturan tersebut diharapkan menjadi tameng agar para mahasiswa lebih aman dan nyaman dalam menjalankan pendidikan. Namun, seperti biasa, di negara kita pro kontra kerap terjadi. 

Majelis Ormas Indonesia (MOI) justru menolak peraturan tersebut. MOI menyebut bahwa peraturan yang diterbitkan oleh Kemendikbud tersebut melegakan zina dan seks bebas. 

Frasa yang dipertanyakan adalah "persetujuan" yang menjadi barometer pelecehan seksual itu sendiri, bukan lagi nilai agama atau moral. Selama ada persetujuan dari keduanya dan berusia dewasa, maka menurut hemat MOI hal itu dianggap halal. 

Logika yang sama juga mereka pakai saat menolak RUU PKS. Tak jauh berbeda, RUU PKS hanya melegalisasi zina karena frasa persetujuan tadi. Di sisi lain, ada yang menyebut Permendikbud di atas berbau liberalisme. 

Tentu saja hal itu bertentangan dengan Pancasila yang kita anut. Lantas, apakah benar permendikbud tersebut disebut melegalisasi zina dan seks bebas? Di sini saya akan mencoba mengulasnya sesuai dengan kapasitas saya. 

Pasal yang menjadi sorotan dalam Permendikbud di atas adalah Pasal 5. Berikut beberapa poin yang ditentang oleh MOI dan ormas islam lain.

  1. Memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban;
  2. Mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;

  3. Menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;

  4. Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban;

  5. Membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban;

Frasa persetujuan itulah yang disebut melegalisasi perbuatan zina. Pelecehan terjadi apabila korban merasa dihinakan atau dilecehkan harkat martabanya. 

Dengan kata lain, jika ada persetujuan dari pihak korban maka pelecehan itu tidak terjadi. Inilah yang dipermasalahkan oleh MOI yang disebut melegalisasi zina dan jauh dari nilai agama. 

Perkosaan atau kekerasan seksual tidak akan disebut kekerasan seksual apabila ada persetujuan, perbuatan itu masuk kategori lain yaitu zina. Sampai di sana, saya setuju. Tapi, apakah dengan ukuran "persetujuan" itu lantas melegalisasi zina?

Bagi saya tidak, perihal zina sudah ada aturan lain yang melarangnya yaitu dalam Pasal 284 KUHP. Jadi, ukuran persetujuan tadi tidak serta merta melegakan zina karena untuk zina sudah ada aturannya sendiri. 

Mengapa zina tidak diatur dalam Permendikbud ini? Karena dalam kasus pelecehan seksual ada salah satu pihak yang dirugikan yaitu korban, dalam hal ini ada yang disebut dengan pelaku dan korban. 

Tapi, dalam zina tidak demikian keduanya bisa disebut sebagai pelaku. Jadi, dengan logika itulah zina tidak dimasukkan dalam Permendikbud ini.

Di sisi lain, ada yang menyebut jika frasa persetujuan tadi dijadikan celah agar pelaku lolos dari jeratan hukum. Pelaku tinggal mengiming-imingi sesuatu dengan materi dan lain sebagainya agar lolos dari pelecehan seksual. 

Logika seperti ini keliru, orang yang menyebut dengan alasan itu tak tahu penafsiran hukum secara grmatikal. Tafsir dari frasa setuju bukan begitu, setuju tanpa paksaan tanpa ada iming-iming apapun, jika ada iming-iming tentu bukan setuju, melainkan ada paksaan. 

Logika sesat tersebut jelas salah dan bertabrakan dengan Pasal 76 E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Perbuatan iming-iming masuk ke dalam kategori tipu muslihat. 

Alasan lain menyebut bahwa peraturan ini dinilai masih belum bisa mencegah pelecehan seksual. Hal itu karena hanya ada sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 13.

Alasan inipun bagi saya tidak masuk akal, orang yang mengatakan hal ini tak tahu apa itu legal drafting. Di dalam Pasal 15 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Undang-Undang, ketentuan pidana hanya dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah. 

Jadi, sanksi yang disebut terlalu ringan tadi memang sudah seharusnya seperti itu. Hal itu karena dalam ketentuan kita, aturan pidana hanya ada dalam Undang-Undang dan Perda. Di luar itu jelas tidak ada. 

Jika ingin sanksi tegas berupa pidana berat, tinggal sahkan saja RUU PKS yang selama ini mandeg di DPR. Saya kira masalahnya akan selesai. Namun, tak semua mendukung RUU ini karena alasan melegalisasi zina tadi. 

Di sisi lain, dengan alasan di atas saya mendukung penuh permendikbud ini. Saya bukan liberal, saya hanya menilai ini dari kacamata ilmu hukum yang saya geluti. 

Seharusnya kita mengapresiasi Permendikbud ini, hal itu bisa kita lihat dari cakupan pelecehan seksual yang luas. Pelecehan seksual mencakup verbal, fisik, nonfisik, dan atau melalui teknologi informasi. 

Perihal pelecehan seksual nonfisik masih dinggap sepele oleh sebagian masyarakat kita. Misalnya perilaku catcalling, atau tatapan mata jahil pada seseorang, padahal jika korban tidak senang akan hal itu bisa masuk ke dalam pelecehan secara nonverbal. 

Begitu juga dengan pelecehan melalui chat mesum di dunia maya. Perbuatan ini mungkin disamakan dengan catcalling tadi. Pelecehan seksual bagi sebagian orang mungkin hanya mencakup fisik. 

Tentu hal itu membuat kita prihatin, pelecehan secara nonverbal masih dianggap hal biasa, bahkan dianggap sebagai pujian. Padahal tidak selamanya begitu. 

Teman saya yang perempuan kerap risih jika di jalan ada yang menggoda. Bahkan dengan sebutan kata cantik saja. Miris memang, untuk kasus ini entah mengapa sulit mencari jalan terbaik. 

Semoga saja, pelecehan seksual di dunia pendidikan dan dimanapun itu bisa kita atasi. Di sisi lain, kita sebagai masyarakat seharusnya lebih maphum apa itu pelecehan seksual dan bagaimana kita harus menyikapinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun