Frasa yang dipertanyakan adalah "persetujuan" yang menjadi barometer pelecehan seksual itu sendiri, bukan lagi nilai agama atau moral. Selama ada persetujuan dari keduanya dan berusia dewasa, maka menurut hemat MOI hal itu dianggap halal.Â
Logika yang sama juga mereka pakai saat menolak RUU PKS. Tak jauh berbeda, RUU PKS hanya melegalisasi zina karena frasa persetujuan tadi. Di sisi lain, ada yang menyebut Permendikbud di atas berbau liberalisme.Â
Tentu saja hal itu bertentangan dengan Pancasila yang kita anut. Lantas, apakah benar permendikbud tersebut disebut melegalisasi zina dan seks bebas? Di sini saya akan mencoba mengulasnya sesuai dengan kapasitas saya.Â
Pasal yang menjadi sorotan dalam Permendikbud di atas adalah Pasal 5. Berikut beberapa poin yang ditentang oleh MOI dan ormas islam lain.
- Memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban;
Mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
Menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban;
Membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban;
Frasa persetujuan itulah yang disebut melegalisasi perbuatan zina. Pelecehan terjadi apabila korban merasa dihinakan atau dilecehkan harkat martabanya.Â
Dengan kata lain, jika ada persetujuan dari pihak korban maka pelecehan itu tidak terjadi. Inilah yang dipermasalahkan oleh MOI yang disebut melegalisasi zina dan jauh dari nilai agama.Â
Perkosaan atau kekerasan seksual tidak akan disebut kekerasan seksual apabila ada persetujuan, perbuatan itu masuk kategori lain yaitu zina. Sampai di sana, saya setuju. Tapi, apakah dengan ukuran "persetujuan" itu lantas melegalisasi zina?