Ketika ada peluang sedikit yang bisa membayar semua utangnya, tanpa berpikir panjang ia ikut. Ternyata, permainan tersebut mengerikan. Pemain yang tereliminasi mati.Â
Mereka sempat mundur, liciknya lagi, karena mayoritas dari mereka butuh uang, panitia tetus mengiming-imingi hadiah besar. Jadilah pikiran mereka goyah.Â
Kehidupan mereka di luar permainan sama mengerikannya dengan di game. Jadi, daripada mati di luar dikejar-kejar rentenir karena utang, para pemain memutuskan untuk bermain kembali.Â
Setidaknya di situ masih ada harapan untuk menang. Tapi, jika dipikir dengan logis, jelas kita tidak mau dong harus korban nyawa seperti itu. Tapi kondisi yang dialami para pemain beda.Â
Mereka sudah putus asa dan tidak tahu harus melakukan apa lagi untuk membayar utangnya. Harapan kecil itu ibarat sebuah cahaya dalam kegelapan bagi mereka.Â
Jadi, kondisi yang putus asa, pikiran kacau dan lain-lain, alasan itulah yang membuat mereka rela kembali bermain games mengerikan itu lagi. Jika dalam kondisi normal, jelas tidak mau ikut game seperti itu.Â
Dari kasus ini, kita harus belajar cara mengatur keuangan dengan baik. Kita juga harus mengukur kemampuan kita dalam berutang, jika tidak demikian, ya kondisi putus asa bahkan depresi bisa saja datang.Â
Sisi Animalitas Manusia
Beberapa filsuf menyebut bahwa manusia adalah hewan yang berpikir. Kemampuan berpikir itulah yang membuat manusia berbeda dari makhluk lain dan disebut sebagai makhluk sempurna.Â
Tapi, meskipun kita dibekali kemampuan untuk berpikir, sisi animalitas dari manusia masih tetap ada. Dalam drama ini, sisi animalitas dari manusia begitu menonjol.Â
Contohnya saat para staff memberi makan pada peserta. Makanan tersebut sedikit, hanya sebutir telur dan air soda. Salah satu pemain, sebut saja si preman tentu tidak kenyang jika hanya makan satu butir telur.Â