Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Ini yang Saya Temukan Setelah Nonton "Squid Game"

5 Oktober 2021   17:50 Diperbarui: 5 Oktober 2021   18:06 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu adegan dalam Squid Game. Via kompas.com

Squid Game merupakan drakor yang digandrungi untuk saat ini. Bahkan orang yang tidak begitu senang drakor seperti saya pun setidaknya tahu dengan series yang satu ini. 

Ceritanya unik, meskipun alur seperti ini bukan yang pertama kali muncul. Di Amerika sana ada Hunger Games yang mempunyai konsep cerita bertahan hidup. 

Squid Game merupakan drakor pertama yang membuat saya maraton sejauh ini. Alasan maraton Squid Game karena genre yang ditawarkan berbeda, drakor yang ada dalam bayangan saya adalah kehidupan romantisme saja. 

Saya terpukau dengan cerita yang ada dalam drama tersebut. Tapi, entah hanya saya atau bukan, saya kesulitan menghafal nama pemain Squid Game. Saya hanya ingat nama Ali saja. Nama itu memang mudah diingat. 

Di sini, saya tidak akan membahas jalan cerita Squid Game, tentu sebagian pembaca ada yang sudah menonton. Dalam artikel kali ini saya hanya akan membahas hal unik yang ada di Squid Games saja. Berikut ulasannya. 

Putus Asa

Tentu kita bertanya, mengapa orang-orang dalam Squid Game rela mengikuti permainan mengerikan itu. Padahal, peluang untuk menang begitu kecil.

Jika kita lihat latar belakang para pemain, hampir semua pemain mempunyai utang atau tidak mempunyai tujuah hidup lain. Contoh pemeran utama, si duda yang tersakiti. Hutangnya banyak, ia sampai menggadaikan organ tubuhnya untuk jaminan atas utangnya. 

Tidak ada cara lain untuk membayar utang itu. Selain itu, kehidupan duda yang tersakiti juga suram. Ia cerai dengan istrinya, hak asuh anak hilang. Salah satu cara untuk mendapatkan hak asuh anak adalah menafkahi anaknya. 

Tapi, si duda yang tersakiti itu hanya bergantung pada ibunya yang sudah tua. Hobi main judi lagi. Kondisi itu jelas sulit, akhirnya ia putus asa. Tidak ada cara lagi untuk membayar utang itu selain dari berjudi. 

Ketika ada peluang sedikit yang bisa membayar semua utangnya, tanpa berpikir panjang ia ikut. Ternyata, permainan tersebut mengerikan. Pemain yang tereliminasi mati. 

Mereka sempat mundur, liciknya lagi, karena mayoritas dari mereka butuh uang, panitia tetus mengiming-imingi hadiah besar. Jadilah pikiran mereka goyah. 

Kehidupan mereka di luar permainan sama mengerikannya dengan di game. Jadi, daripada mati di luar dikejar-kejar rentenir karena utang, para pemain memutuskan untuk bermain kembali. 

Setidaknya di situ masih ada harapan untuk menang. Tapi, jika dipikir dengan logis, jelas kita tidak mau dong harus korban nyawa seperti itu. Tapi kondisi yang dialami para pemain beda. 

Mereka sudah putus asa dan tidak tahu harus melakukan apa lagi untuk membayar utangnya. Harapan kecil itu ibarat sebuah cahaya dalam kegelapan bagi mereka. 

Jadi, kondisi yang putus asa, pikiran kacau dan lain-lain, alasan itulah yang membuat mereka rela kembali bermain games mengerikan itu lagi. Jika dalam kondisi normal, jelas tidak mau ikut game seperti itu. 

Dari kasus ini, kita harus belajar cara mengatur keuangan dengan baik. Kita juga harus mengukur kemampuan kita dalam berutang, jika tidak demikian, ya kondisi putus asa bahkan depresi bisa saja datang. 

Sisi Animalitas Manusia

Beberapa filsuf menyebut bahwa manusia adalah hewan yang berpikir. Kemampuan berpikir itulah yang membuat manusia berbeda dari makhluk lain dan disebut sebagai makhluk sempurna. 

Tapi, meskipun kita dibekali kemampuan untuk berpikir, sisi animalitas dari manusia masih tetap ada. Dalam drama ini, sisi animalitas dari manusia begitu menonjol. 

Contohnya saat para staff memberi makan pada peserta. Makanan tersebut sedikit, hanya sebutir telur dan air soda. Salah satu pemain, sebut saja si preman tentu tidak kenyang jika hanya makan satu butir telur. 

Jadilah ia dan kelompoknya mengantre dua kali. Akibatnya, jatah makanan orang lain diambil oleh mereka. Lalu apa yang terjadi? Jelas disitu terjadi perkelahian di antara keduanya. 

Si preman bahkan sampai membunuh hanya untuk makan. Jika dipikir dengan logika, untuk apa berkelahi sampai melepas nyawa hanya untuk sebutir telur? 

Tapi, kondisinya berbeda. Para peserta seperti hidup di hutan belantara, jatah makan pun terbatas. Di situlah sisi animalitas manusia muncul. Bagi saya ini tidak ada bedanya dengan hewan yang berebut buruan. 

Inilah sisi animalitas yang saya maksud. Di sisi lain, para staff juga sengaja menciptakan kondisi itu agar sisi animalitas para manusia itu timbul. Apalagi, setelah insiden perkelahian itu, orang yang mati dianggap tereliminasi. 

Hadiah uang pun bertambah. Tentu saja hukum rimba pun berlaku, siapa yang kuat ia yang menang. Maka terjadilah keriburan yang merenggut banyak nyawa peserta. 

Jadi, kondisi yang seperti itu membuat sisi animalitas manusia keluar. Saya kira itu adalah insting untuk bertahan dalam hidup. Apalagi, konsep dari permainan ini di desain seperti itu. 

Maka, tidak heran jika insting membunuh, rakus, bahkan bersiasat dipakai. Saya kira memang seperti itulah konsep di dunia nyata sebelum kita mengenal apa itu norma.

Misoginis

Ada satu hal yang menarik lagi, Squid Games disebut-sebut mempertontonkan misoginis alias kebencian pada wanita. Hal ini ditunjukan pada peran si ibu rumah tangga yang mencari perlindungan pada orang kuat.

Si ibu itu bahkan rela menjual tubuhnya demi bisa bertahan hidup. Akan tetapi, meskipun si ibu sudah memberikan tubuhnya pada si preman, nyatanya si preman berkhianat pada permainan tarik tambang. 

Si ibu dibuang karena dianggap tidak berguna pada permainan tarik tambang. Apa yang ia lakukan termasuk memberi tubuh pada si preman sia-sia. Beberapa kalangan menyebut bahwa adegan itu sebagai simbol misoginis. 

Sang sutradara sendiri menolak tudingan itu, menurutnya hal itu adalah wajar dalam mempertahankan hidup. Apakah demikian? Tentu ini menjadi perdebatan panjang. 

Uang Bukan Segalanya 

Hadiah dari permainan Squid Games adalah uang yang begitu besar. Karena uang itulah orang-orang dalam permainan itu sampai rela membunuh dan menunjukkan sisi animalitas mereka. 

Apa yang membuat mereka demikian? Jawabannya ya jelas putus asa tadi. Dalam permainan itu, si duda yang tersakiti keluar sebagai pemenang. 

Meskipun menang dan memiliki uang banyak. Si duda tidak senang, ia harus mengorbankan banyak nyawa. Termasuk temannya sendiri. Terbukti, ia tidak menggunakan uang itu sepeser pun. 

Bahkan ia jadi gelandangan dan meminjam uang pada petinggi bank. Uang itu tidak bisa membuat ibunya hidup kembali. Uang itu juga tidak bisa membeli semua yang ia harapkan. 

Bahkan, si kakek Il-Num yang ternyata otak di balik Squid Games menyebut bahwa uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Uang dia begitu banyak sampai akhirnya ia bosan karenanya. 

Kebahagiaan dan kesenangan itu justru muncul saat kakek Il-Nam bermain kelereng dengan si duda. Itulah hal yang menurutnya tidak bisa dibeli dengan uang. 

Kesenangan saat kecil dulu dalam bermain tidak bisa ditukar dengan uang. Alasan itulah yang membuat ia akhirnya mengikuti Squid Games. 

Jadi itulah yang saya temukan dalam Squid Games. Sebenarnya masih banyak, saya hanya malas mengetik, artikel ini pin sudah lebih dari 1000 kata lebih. Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun