Hilmiadi alias Ucok (23) ditangkap polisi karena menghina Palestina lewat media sosial (medsos) TikTok. Pria yang bekerja sebagai petugas kebersihan di kampus swasta di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), itu terancam dipenjara 6 tahun. (detik.com)
Buntut kejadian tersebut pelaku harus berurusan dengan hukum. Kabarnya pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus ujaran kebencian oleh pihak berwajib.
Pelaku terancam Pasal 45 jo Pasal 28 ayat 2 UU ITE tentang ujaran kebencian. Pelaku disinyalir menyebarkan ujaran kebencian mengandung SARA. Pihak kepolisan kini telah melakukan penahanan terhadap pelaku.
Di tanah Sumetera kejadian serupa juga terjadi. Pelaku merupakan siswi SMA di Bengkulu. Video Tiktok yang hanya dibuat iseng tersebut justru berbuntut panjang bagi sang siswa.
Pihak sekolah sangat menyayangkan perbuatan sang siswa. Perbuatan tersebut mencoreng wajah pendidikan Bengkulu. Akibatnya, sang siswa dikembalikan pada orangtua alias DO.
Keduanya melakukan perbuatan yang membuat warganet naik pitam. Pelaku menyebut Palestina dengan kata yang tidak pantas. Video berdurasi beberapa detik tersebut akhirnya merugikan diri sendiri.
Meskipun dalam video tersebut, mereka berdua hanya menirukan suara alias lipsing. Akan tetapi, perbuatan tersebut tidak pantas. Warga dunia saat ini tengah bersimpati pada Palestina. Perilaku tadi sangat tidak mencerminkan rasa empati.
Kasus tersebut menarik untuk dibahas, mengingat si pemuda dikenakan Pasal 28 ayat 2 UU ITE. Kita semua tahu dan masih ragu efektivitas dari pasal tersebut yang sebagian kalangan dinilai sebagai pasal karet.
Yang pertama ingin saya tekankan adalah, ini adalah murni pandangan saya dari sisi hukum saja tidak ada maksud lain. Saya juga tidak membenarkan perbuatan di atas. Dari sisi etika jelas salah.
Ini hanyalah ganjalan dalam pikiran saya. Daripada ganjalan tersebut nyangkut dipikiran, lebih baik ditulis di sini. Ganjalan tersebut terkait pasal yang dikenakan pada kasus di atas, yaitu Pasal 28 ayat 2 UU ITE. Berikut isi pasal tersebut.
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentuberdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)
Ada satu hal yang mengganjal dalam pikiran saya, yaitu tafsir dari antargolongan. UU ITE tidak memberikan batasan yang jelas tentang frasa antargolongan, sehingga maknanya menjadi bias.
Rumusan Pasal 28 ayat 2 UU ITE sebenarnya telah diatur dalam Pasal 156 tentang ujaran kebencian yang berbunyi.
Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun penjara atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Jika kita melihat tafsir kata golongan secara historis dalam KUHP. Maka akan merujuk pada pembagian golongan sebagaimana tercantum dalam rumusan Pasal 163 Indisch Staatregeling.
Penduduk Indonesia saat itu dibagi menjadi tiga golongan, yaitu golongan Eropa, Timur Asing, dan Pribumi. Tujuan dari pembagian golongan tersebut untuk mengatur hukum mana yang berlaku.
Bagi golongan Eropa, maka berlaku hukum Eropa alias hukum barat. Kemudian bagi golongan Pribumi dan Timur Asing berlaku hukum adat masing-masing.
Akan tetapi, ketentuan tersebut sudah tidak berlaku setelah bangsa Indonesia merdeka karena bertentangan dengan UUD 194. UUD 1945 khususnya dalam Pasal 27 menyebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama.
Lantas bagaimana tafsir dari golongan tadi. KUHP memberikan batasan sebagai berikut:
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Putusan pengadilan memberikan definisi tersendiri. MK mengeluarkan Putusan No 76/PUU-XV/2017 yang memperluas makna antar golongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE.
Dalam putusan MK menyatakan bahwa istilah “antargolongan” tidak hanya meliputi suku, agama, dan ras, melainkan meliputi lebih dari itu yaitu semua entitas yang tidak terwakili atau terwadahi oleh istilah suku, agama, dan ras.”
Itu artinya tafsir golongan menjadi luas. Bisa saja meliputi golongan partai politik, golongan pendukung presiden, gubernur, golongan perempuan dan masih banyak lagi.
Lantas apakah dalam kasus di atas, masuk dalam kategori manakah ujaran kebencian tersebut. Apakah ke dalam suku, ras, agama, atau golongan?
Jika merujuk pada agama, maka yang disebut adalah negara. Di Palestina sana, mayoritas muslim, bukan tidak mungkin ada masyarakat sana nonmuslim. Jadi kurang tepat apabila merujuk kata agama.
Yang terdapat dalam video di atas adalah penyebutan negara lain. Pertanyaannya, apakah negara lain masuk dalam frasa antargolongan? Tidak adanya batasan yang jelas mengenai golongan pemaknaanya menjadi bias.
Sejauh yang saya tangkap, karena luasnya tafsir golongan, maka golongan yang dimaksud dalam kasus ini adalah mereka yang bersimpati pada bangsa Palestina. Mungkin itulah yang dimaksud dengan golongan untuk saat ini.
Itu hanyalah pikiran yang mengganjal dalam kepala saya. Tidak adanya definisi yang jelas tentang golongan, penafisrannya menjadi begitu melebar ke mana-mana dan tidak jelas.
Di dalam hukum pidana terdapat prinsip lex certa, lex sticta, dan lex scipta. Lex certa artinya perumusan perbuatan pidana dalam undang-undang harus diuraikan unsur-unsurnya secara jelas dan rinci.
Lex stricta artinya harus didefinisikan secara jelas dan rigid tanpa samar-samar sehingga tidak ada perumusan yang ambigu mengenai suatu perbuatan pidana.
Sedangkan lex scripta artinya perumusan perbuatan pidana harus dituangkan secara tertulis dalam suatu perundang-undangan. Ketiga prinsi tersebut belum terlaksana dengan baik dalam UU ITE khususnya pasal karet.
Oleh sebab itu, dalam kasus ini perlu ada pembuktian yang mendalam. Terutama pelibatan ahli bahasa untuk menafsirkan frasa yang masih bias selama ini.
Selain itu, kasus di atas hanyalah lipsing. Artinya ada pembuat suara yang asli. Polisi harus mengusut pembuat suara orisinil dari kasus di atas. Kepolisian harus lebih bijak dalam menangani kasus ini.
Apalagi Kapolri menegaskan bahwa dalam penanganan kasus ITE harus lebih selektif. Sekali lagi, saya bukan berarti membela, ini hanya pikiran yang mengganjal di kepala saya.
Apa yang mereka lakukan sangat tidak pantas. Apalagi untuk tragedi kemanusiaan seperti sekarang. Semoga ada cara lain yang bisa ditawarkan dalam kasus ini. Perbuatan tersebut sangat tidak pantas.
Kejadian tadi harus dijadikan pelajaran, khususnya untuk generasi muda. Bijaklah dalam bermedia sosial. Jangan terlalu terbawa tren yang sebenarnya mempertontonkan kebodohan.
Omong kosong revisi UU ITE
Publik dibuat bingung ketika Presiden Jokowi meminta kritik pedas dari masyarakat. Bukannya tidak mau, tetapi masih ada bayang-bayang UU ITE yang siap menjerat siapapun.
Pesan masyarakat ditangkap oleh Presiden, Presiden menginginkan agar UU ITE direvisi. Akan tetapi, respon bawahnya berbeda. Kapolri mengeluarkan SE tentang UU ITE.
Yang pada prinsipnya harus mengedepankan restorative justice. Menkopolhukam membuat tim pengkaji terkait UU ITE, sedangkan Kominfo menyarankan agar memberikan tafsir resmi.
Revisi UU ITE menjadi omong kosong ketika tidak masuk prolegnas prioritas 2021. Akhir bola liar dari revisi UU ITE adalah lahirnya SKB Kementerian terkait pelaksanaan teknis UU ITE.
Hal itu bertujuan untuk menghindari salah tafsir dalam penerapan pasal UU ITE. Pemerintah beranggapan UU ITE masih relevan untuk menjaga ruang digital kita agar tetap bersih.
Apa bedanya dengan SE yang dikeluarkan oleh Kapolri beberapa waktu silam. Merevisi itu memperbaiki, bukan malah memberi panduan terhadap pasal yang bermasalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H