Dalam putusan MK menyatakan bahwa istilah “antargolongan” tidak hanya meliputi suku, agama, dan ras, melainkan meliputi lebih dari itu yaitu semua entitas yang tidak terwakili atau terwadahi oleh istilah suku, agama, dan ras.”
Itu artinya tafsir golongan menjadi luas. Bisa saja meliputi golongan partai politik, golongan pendukung presiden, gubernur, golongan perempuan dan masih banyak lagi.
Lantas apakah dalam kasus di atas, masuk dalam kategori manakah ujaran kebencian tersebut. Apakah ke dalam suku, ras, agama, atau golongan?
Jika merujuk pada agama, maka yang disebut adalah negara. Di Palestina sana, mayoritas muslim, bukan tidak mungkin ada masyarakat sana nonmuslim. Jadi kurang tepat apabila merujuk kata agama.
Yang terdapat dalam video di atas adalah penyebutan negara lain. Pertanyaannya, apakah negara lain masuk dalam frasa antargolongan? Tidak adanya batasan yang jelas mengenai golongan pemaknaanya menjadi bias.
Sejauh yang saya tangkap, karena luasnya tafsir golongan, maka golongan yang dimaksud dalam kasus ini adalah mereka yang bersimpati pada bangsa Palestina. Mungkin itulah yang dimaksud dengan golongan untuk saat ini.
Itu hanyalah pikiran yang mengganjal dalam kepala saya. Tidak adanya definisi yang jelas tentang golongan, penafisrannya menjadi begitu melebar ke mana-mana dan tidak jelas.
Di dalam hukum pidana terdapat prinsip lex certa, lex sticta, dan lex scipta. Lex certa artinya perumusan perbuatan pidana dalam undang-undang harus diuraikan unsur-unsurnya secara jelas dan rinci.
Lex stricta artinya harus didefinisikan secara jelas dan rigid tanpa samar-samar sehingga tidak ada perumusan yang ambigu mengenai suatu perbuatan pidana.
Sedangkan lex scripta artinya perumusan perbuatan pidana harus dituangkan secara tertulis dalam suatu perundang-undangan. Ketiga prinsi tersebut belum terlaksana dengan baik dalam UU ITE khususnya pasal karet.
Oleh sebab itu, dalam kasus ini perlu ada pembuktian yang mendalam. Terutama pelibatan ahli bahasa untuk menafsirkan frasa yang masih bias selama ini.