"Kita telah melawan, nak, nyo, sebaik-baiknya, serhormat-hormatnya". Bumi Manusia -Pramoedya Ananta Toer-
Tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Tanggal 2 Mei merupakan kelahiran tokoh pendidikan Indonesia yaitu Ki Hajar Dewantara.
Berkat jasa-jasanya terutama dalam bidang pendidikan, maka tanggal 2 Mei yaitu dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional sebagai bentuk rasa hormat bangsa Indonesia kepada Ki Hajar Dewantara.
Banyak tokoh pendidikan di Indonesia yang perlu diteladani. Tetapi di sini penulis memilih tokoh fiktif Nyai Ontosoroh sebagai panutan dalam bidang pendidikan.
Fiksi adalah cara terbaik untuk menyampaikan kebenaran. Pesan moral yang dibalut dengan cerita biasanya lebih membekas, dan lebih diresapi.
Sebutan "nyai" pada saat kolonialisme mempunyai konotasi buruk di mata masyarakat. Nyai merupakan istri dari hasil pergundikan orang-orang Belanda. Istri yang dinikahi secara tidak resmi.
Jadi, meskipun menikah dengan pejabat tetap saja istri yang digundik tidak mempunyai hak yang sama seperti istri yang dinikahi secara resmi.
Konotasi nyai yang mempunyai citra negarif dalam novel bumi manusia menghilang. Dengan keahlian Pram, status nyai dalam novel ini berbeda dari yang dikenal di masyarakat.
Di dalam novel ini, Nyai Ontosoroh alias Sanikem merupakan anak seorang juru tulis pabrik gula. Sang ayah menjual Sanikem kepada Herman Mellema hanya untuk sebuah pangkat.
Dari situlah kisah pergundikan Sanikem dimulai. Seperti lazimnya dalam gundik, maka nama nyai pun disematkan pada Sanikem. Pun dengan konotasi negatifnya.
Setelah pergundikan itu, kemudian Herman Mellema mengajarkan Sanikem membaca, menulis, menghitung bahkan bersolek. Diceritakan juga sebelum tidur, Sanikem selalu membaca majalah terlebih dahulu.
Dikisahkan dalam novel bumi manusia, Sanikem memiliki berbagai macam buku, majalah, dan koran. Bahkan bacaan tersebut didominasi oleh bahasa Belanda. Jarang sekali rumah seorang pribumi menjadikan buku sebagai pajangan.
Karya-karya sastra yang asing di telinga pribumi justru telah dibacanya. Sanikem juga menyinggung nama Multatulli dan karyanya yang mashur yaitu Max Havelaar.
Bagaimana bisa orang yang tidak menyentuh pendidikan formal sedikitpun bisa mempunyai pengetahuan luas. Bahkan di dalam novel itu, Minke selaku tokoh utama banyak belajar pada nyai.
Minke adalah seorang siswa HBS. HBS adalah sekolah yang ternama, tidak semua orang bisa masuk sekolah tersebut. Tetapi di dalam novel tersebut, Nyai Ontosoroh dijadikan panutan oleh Minke.
Sanikem di dalam novel ini mempunyai karakter yang kuat. Karakter yang tangguh. Sesuatu hal yang tidak dimiliki oleh wanita pribumi pada saat itu. Sanikem adalah buah hasil pemikiran modern di zaman yang tertinggal.
Kehilangan kehormatan karena dijual oleh ayah kandungnya tak lantas membuat Sanikem terpuruk dan pasrah pada keadaan. Ia bangkit dan bertekad menentukan nasibnya sendiri. Bahkan berpedoman pada Revolusi Prancis, yaitu kebebasan, persamaan, persaudaraan.
Sanikem dengan bijak memanfaatkan kekayaan dan akses pengetahuan yang dimiliki oleh Herman Mellema. Hasilnya, bukan saja ia kemudian menguasai bahasa Belanda laiknya kaum terpelajar di Hindia Belanda saat itu.
Sanikem juga piawai mengerjakan urusan-urusan perkantoran. Dia prigel mengerjakan semua urusan bisnis, dari soal managemen organisasi kantor, pembukuan keuangan, perdagangan, hingga soal administrasi dan surat-menyurat.
Sebuah keahlian yang di masa itu bahkan masih jarang dimiliki oleh kaum laki-laki sekalipun. Meskipun darah biru nisbi tak mengalir di tubuhnya, Nyai Ontosoroh juga pandai bersolek laiknya kaum aristokrat di Eropa sana.
Sekalipun memiliki atribut “nyai”, dan memang demikianlah wanita itu mau disebut, bukanlah dicitrakan sebagai perempuan rendahan. Tetapi sanikem tidak demikian, dia bukan sekedar nyai biasa, bukan juga istri gundik biasa.
Sanikem digamabarkan sebagai tipikal wanita pribumi yang cerdas, tegar, tegas, dan mandiri. Nyai Ontosoroh digambarkan sebagai wanita yang sanggup memperjuangkan nasibnya keluar dari penjajahan pikiran, penjajahan kebebasan.
Sanikem adalah orang yang tidak ragu dan berani mengungkapkan pendapatnya secara bebas dan terbuka. Bahkan Sanikem dengan lantang melawan pengadilan putih. Satu hal yang tidak pernah terjadi pada saat itu, pribumi melawan kelas Eropa.
Dikisahkan, anak resmi Herman Mellema yang bekerja sebagai pengacara datang ke Hindia Belanda. Dia hendak menuntut ayahnya, ibunya dan dirinya ditelantarkan di Belanda.
Sementara di Hindia Belanda kekayaan Herman Mellema begitu banyak. Satu hal yang perlu digarisibawahi adalah, hasil kekayaan itu adalah usaha keras Nyai Ontosoroh dalam memimpin perusahaan.
Kekayaan tersebut adalah hasil usaha Sanikem bukan Herman Mellema, sebab Herman Mellema sudah terjerumus ke dalam dunia gelap, dunia pelacuran yang nahasnya diikuti oleh anaknya Robert Mellema.
Pemikiran modern Nyai Ontosoroh digambarkan ketika masuk ke landraad alias pengadilan untuk. Nyai memasuki landraad menggunakan sepatunya, kemudian petugas menyuruh melepas sementara orang Eropa memakai sepatu.
Dengan prinsip Revolusi Prancis yaitu persamaan, Nyai Ontosoroh enggan melepas sepatunya ketika bersidang. Tidak ada kata pribumi maupun non pribumi. Semuanya sama, dibalut dalam persaudaraan.
Tapi apa daya. Pengadilan putih berkata lain, status gundik mengubah segalanya. Si anak resmi Herman Mellema diceritakn berhasil menang, segala asset Herman Mellema berpindah tangan.
Bahkan diceritakan Annelis si bunga akhir abad ikut serta dibawa ke Belanda. Tetapi Sanikem tidak diam saja, dia melawan, seperti kutipan awal artikel ini. "Kita sudah melawan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya."
Yang kita bisa ambil dari kisah fiksi ini jelas adalah pendidikan itu penting. Seseorang yang tidak tahu apa-apa, seseorang yang dalam kelas sosial dianggap rendahan bisa menjelma menjadi karakter yang kuat.
Dengan pendidikan, ketekukan untuk belajar membuat Sanikem bangkit dari keterpurukan. Harga diri yang dijual demi jabatan tidak membuat Nyai Ontosoroh lantas menyerah. Dengan pendidikan, karakter, pemikiran, dan cara berpandangan bisa berubah.
Seseorang yang tadinya merupakan gundik, dengan pendidikan bisa merdeka. Merdeka dalam menentukan sikap, terutama merdeka dalam berpikir, bisa menentukan nasibnya sendiri. Bahkan dari segi pengetahuan melampaui orang terpelajar dalam novel itu.
Pengalaman dan ketekunan untuk belajar membuat Sanikem mempunyai pikiran yang moderat. Bahkan pengetahuan Sanikem melebihi guru-guru di HBS sekalipun. Tidak heran si tokoh utama Minke menaruh rasa hormat pada Sanikem meskipun dia seorang nyai.
Pendidikan bisa membawa seseorang ke dalam strata sosial yang lebih tinggi. Seseorang biasanya dihormati di masyarakat apabila telah mendapatkan pencapaian tertentu.
Atas pencapaian itu, masyarakat kemudian menaruh rasa hormat. Pencapaian tadi bisa berupa ekonomi, jabatan, maupun pendidikan. Sanikem jelas merangsek ke posisi strata sosial atas karena ilmunya, itu adalah buah hasil dari ketekunan belajar.
Begitupun dengan kita, meskipun kita terlahir dari keluarga yang sederhan, ekonomi rendah, atau bukan dari golongan darah biru, kisah Sanikem harus kita jadikan panutan.
Hal-hal tersebut bukan menjadi alasan untuk tidak berkembang. Salah satu sarana untuk mencapai itu tidak lain adalah pendidikan. Dengan pendidikan, pola pikir bahkan nasib seseorang bisa berubah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H