Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Kerah Biru, Representatif Profesi Kaum Perempuan di Majalaya

9 April 2021   12:42 Diperbarui: 1 Mei 2021   01:13 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Via detik.com

Jika kita kembali pada zaman dahulu, kita sebagai homo sapiens bertahan hidup dengan cara berburu. Biasanya tugas berburu diberikan kepada kaum lelaki. Sedangkan untuk perempuan bertugas menjaga anak-anak.

Zaman berganti, berburu masih dilakukan oleh kaum pria saat ini. Tetapi "berburu" untuk saat ini berbeda konteks, yaitu bekerja. Setelah proses sejarah panjang tentang kesetaraan, kini perempuan juga sama dengan lelaki yaitu "berburu".

Tidak hanya lelaki saja yang bekerja, kini perempuan juga sama bekerja seperti kaum lelaki. Atau yang lebih kita kenal sebagai wanita karir. Bagi yang sudah bersuami, menjadi wanita karir bisa membantu perekonomian keluarga. 

Itulah hebatnya wanita, melakukan banyak pekerjaan sekaligus. Membantu mencari nafkah, menjadi istri yang baik, ibu yang baik bagi anak-anak dan mengurus rumah tangga. Berbicara tentang wanita karir, saya akan mencoba memotret dari lingkungan sekitar saya.

Saya tidak akan membahas wanita karir dengan pekerjaan yang mentereng dengan pakaian rapi, bekerja yang duduk di depan komputer dengan pendingin ruangan, lingkungan saya tidak seperti itu. 

Di daerah saya, di Kabupaten Bandung tepatnya di Majalaya, kaum perempuan kebanyakan berkarir sebagai kerah biru alias buruh. 

Majalaya seakan tidak bisa dipisahkan dengan industri, mungkin itulah salah satu penyebab mengapa kebanyakan warganya menjadi buruh, termasuk para perempuan. 

Dahulu, Majalaya dijuluki sebagai "kota dollar". Hal itu didasarkan karena kemajuan industri di Majalaya terutama dalam bidang tekstil. Majalaya bukanlah kota, melainkan kecamatan. 

Tetapi, sekitar tahun 1960-an industri di Majalaya berkembang, khususnya di bidang tekstil. Itulah mengapa disebut sebagai kota dollar.

Salah satu guru SMP saya pernah bercerita, kekita tahun 80-an kebanyakan masyarakat di Majalaya lebih senang menjadi buruh ketimbang guru. 

Hal tersebut karena gaji menjadi buruh lebih besar dibandingkan gaji guru kala itu. Selain itu, mungkin untuk menjadi buruh tidak perlu repot sekolah tinggi. 

Sampai saat ini, zamannya saya Majalaya masih lekat dengan industri. Jika dari Bandung melalui Baleendah, maka disepanjang jalan akan menemui bermacam-macam pabrik. 

Ketika memasuki Majalaya, anda akan disuguhkam cerobong asap pabrik, di Ciparay terdapat parbik tekstil PT Sipatex. 

PT Kahatex salah satu perusahaan garmen di Majalaya. (kahatex-ind.com)
PT Kahatex salah satu perusahaan garmen di Majalaya. (kahatex-ind.com)

Kemudian sekitar Solokan Jeruk dan Rancaekek ada PT Kahatex, di daerah Cicalengka juga banyak dijumpai pabrik. Saya tidak tahu nama pabrik tersebut, namun ketika saya hendak menuju stasiun kereta api Cicalengka,  disepanjang jalan hanya pabrik.

Saya tidak tahu persis jumlah pabrik tekstil yang ada di daerah saya karena banyak. Belum lagi di daerah yang lumayan disebut pegunungan, jika anda pergi ke daerah Loa yang memang masuk dataran tinggi sudah mulai muncul pabrik tekstil, meskipun tidak sebesar PT. 

Aktivitas pabrik sendiri biasanya pada pagi hari dan sore hari. Ketika anda hendak lewat ke daerah yang saya sebutkan di atas pada waktu itu, maka siap-siap anda terjebak kemacetan.

Saya pernah terlambat kuliah pagi karena terjebak macet ketika lewat daerah tersebut. Pagi hari merupakan waktu masuk kerja untuk shiff pagi, sedangkan untuk shiff malam pagi hari merupakan waktu pulang. 

Jadi bisa dibayangkan betapa macetnya jalanan. Pun dengan sore hari, sore hari adalah waktu pulang bagi yang shiff pagi, dan waktu masuk untuk shiff sore. Pada malam hari, shiff sore akan pulang kerja, pekerja yang kebagian shiff malam akan masuk. 

Begitulah setiap hari yang saya lihat sehari-hari. Perlu dicatat, kebanyakan dari buruh tersebut adalah perempuan. Di waktu yang sudah saya sebutkan, dan lokasi yang saya sebutkan. 

Jika anda lewat pada lokasi dan jam tadi, maka anda akan dengan mudah melihat beratus-ratus orang yang berbaju biru, memakai masker, dan berhijab. Ya kebanyakan kerah biru itu perempuan. 

Itulah representatif pekerjaan kaum perempuan di sekeliling saya, menjadi buruh pabrik tekstil. Mengapa kebanyakan di daerah saya menjadi buruh, itu karena daerah saya memang daerah industri, ditambah lagi sejarah panjang mengapa daerah saya menjadi daerah industri. 

Selain itu, kebanyakan di lingkungan saya berpendidikan sampai SMA, saya termasuk orang yang beruntung bisa melanjutkan ke tingkat universitas, meskipun saya terlahir dan besar dari keluarga  buruh. 

Bapak saya buruh pabrik tekstil, saudara saya yang semuanya perempuan pernah menjadi buruh. Untuk itu, ketika saya lulus SMA saya yang merupakan anak lelaki satu-satunya tidak disarankan bekerja di pabrik. 

Betapa baiknya saudara saya, mereka tidak menganjurkan adiknya ini untuk menjadi buruh. "Jangan mau kerja di pabrik, otakmu tidak jalan, setiap hari hanya mesin yang kau lihat" alasan itu yang selalu dilontarkan oleh bapak dan semua saudara saya. 

Saya bisa melihat sendiri betapa beratnya menjadi buruh seperti apa. Dengan mata kepala sendiri saya lihat bagaimana saudara saya bekerja begitu keras menjadi seorang buruh. 

Berat kawan, apalagi untuk perempuan. Apalagi ketika ganti shiff, tenaga kakak saya dikuras tidak manusiawi ketika shiff berganti. Bayangkan saja, ketika berganti shiff, misalnya dari shiff malam ke siang.  

Kakak saya pulang sekitar jam 7 pagi, dan harus bekerja lagi jam 12 siang untuk shiff siang. Kakak saya hanya istirahat lima jam, itupun jika dipakai tidur semuanya. 

Begitu juga berganti dari pagi ke shiff malam, jam 5 subuh merupakan berangkat kerja dan pulang sore, sekitar jam 8 malam harus segera berangkat untuk shiff malam. 

Atau dari siang ke pagi, biasanya ketika siang akan pulang sekitar jam 7 malam, dan paginya sekitar jam 4 subuh harus bekerja kembali. Bisa dibayangkan bagaimana kehidupan pabrik itu seperti apa bukan. 

Kakak saya ketika masih gadis hidupnya hanya ditakdirkan untuk bekerja semata, seperti itulah kebanyakan kaum perempuan disekliling saya berkarir, menjadi kaum buruh. 

Faktor pendidikan, ditambah lagi sebagai kota industri, menjadi buruh memang pelarian. Kebanyakan masyarakat sekitar saya hanya mampu sekolah sampai SMA, alasannya jelas faktor ekonomi. 

Lalu bagaimana dengan kaum pria? Sama halnya dengan perempuan, kaum pria pun demikian. Tetapi, untuk di pabrik besar sekelas PT, pekerjaan kaum pria jauh lebih berat, biasanya ditempatkan di gudang untuk urusan tenaga. 

Itu sebabnya saya tidak dianjurkan bekerja di pabrik, mengingat fisik saya yang kurus krempeng. Sedangkan perempuan bekerja di bagian produksi barang di depan mesin. 

Apakah semua perempuan bekerja menjadi buruh? Tidak, bagi yang ekonominya mampu, akan melanjutkan ke perguruan tinggi, biasanya menjadi perawat. Tetapi itu hanya sebagian kecil saja.  

Alasan perawat sendiri dipilih jelas karena ada RSUD Laswi (dulunya RSUD majalaya). Jadi bagi mereka yang mampu, akan melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas, harapannya bisa bekerja di rumah sakit.  

Selain perawat, biasanya guru menjadi opsi lain di daerah saya. Hal tersebut karena sekolah negeri maupun swasta cukup banyak, dan tenaga guru kurang. 

Bagi mereka yang mampu, maka pekerjaan seperti sudah ditakdirkan. Bekerja di rumah sakit sebagai perawat atau mengabdi di sekolah sebagai guru. Buruh hanyalah pelarian bagi mereka yang menjerit karena desakan ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun