Itulah representatif pekerjaan kaum perempuan di sekeliling saya, menjadi buruh pabrik tekstil. Mengapa kebanyakan di daerah saya menjadi buruh, itu karena daerah saya memang daerah industri, ditambah lagi sejarah panjang mengapa daerah saya menjadi daerah industri.Â
Selain itu, kebanyakan di lingkungan saya berpendidikan sampai SMA, saya termasuk orang yang beruntung bisa melanjutkan ke tingkat universitas, meskipun saya terlahir dan besar dari keluarga  buruh.Â
Bapak saya buruh pabrik tekstil, saudara saya yang semuanya perempuan pernah menjadi buruh. Untuk itu, ketika saya lulus SMA saya yang merupakan anak lelaki satu-satunya tidak disarankan bekerja di pabrik.Â
Betapa baiknya saudara saya, mereka tidak menganjurkan adiknya ini untuk menjadi buruh. "Jangan mau kerja di pabrik, otakmu tidak jalan, setiap hari hanya mesin yang kau lihat" alasan itu yang selalu dilontarkan oleh bapak dan semua saudara saya.Â
Saya bisa melihat sendiri betapa beratnya menjadi buruh seperti apa. Dengan mata kepala sendiri saya lihat bagaimana saudara saya bekerja begitu keras menjadi seorang buruh.Â
Berat kawan, apalagi untuk perempuan. Apalagi ketika ganti shiff, tenaga kakak saya dikuras tidak manusiawi ketika shiff berganti. Bayangkan saja, ketika berganti shiff, misalnya dari shiff malam ke siang. Â
Kakak saya pulang sekitar jam 7 pagi, dan harus bekerja lagi jam 12 siang untuk shiff siang. Kakak saya hanya istirahat lima jam, itupun jika dipakai tidur semuanya.Â
Begitu juga berganti dari pagi ke shiff malam, jam 5 subuh merupakan berangkat kerja dan pulang sore, sekitar jam 8 malam harus segera berangkat untuk shiff malam.Â
Atau dari siang ke pagi, biasanya ketika siang akan pulang sekitar jam 7 malam, dan paginya sekitar jam 4 subuh harus bekerja kembali. Bisa dibayangkan bagaimana kehidupan pabrik itu seperti apa bukan.Â
Kakak saya ketika masih gadis hidupnya hanya ditakdirkan untuk bekerja semata, seperti itulah kebanyakan kaum perempuan disekliling saya berkarir, menjadi kaum buruh.Â
Faktor pendidikan, ditambah lagi sebagai kota industri, menjadi buruh memang pelarian. Kebanyakan masyarakat sekitar saya hanya mampu sekolah sampai SMA, alasannya jelas faktor ekonomi.Â