Mohon tunggu...
Dani Hestina
Dani Hestina Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Kadang hidup perlu ditertawakan yaa....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kita Terlambat Bertemu

20 Februari 2018   18:13 Diperbarui: 20 Februari 2018   18:17 1035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (karyapemuda.com)

Apa kita berhak menyalahkan takdir? Manusia hanyalah hamba, tanpa ia meminta Tuhan membuatkan jalan takdir untuknya pun, semuanya sudah tercatat bahkan jauh sebelum manusia diciptakan. Dan lagi, takdir bukanlah seseorang yang bisa disalahkan. Takdir tidak diciptakan untuk memenuhi keinginan manusia, ia ada karena merupakan bagian dari alam semesta.

Apakah aku harus merasa bersalah, atas perasaan yang tumbuh karena takdir itu?

***

Aku bosan mengatakan ini. Lagi-lagi seandainya Tuhan mempertemukan kami di waktu yang  bukan sekarang, tentu aku tidak perlu merasakan perasaan ini. Aku menyesal telah mengenalnya jauh setelah hari-hari pencariannya berakhir. Mengapa ia tak menemukanku saat masa-masa itu? Kenapa harus sekarang? Jika manusia hanya menjalani takdir, lalu bukankah aku juga tak bisa menghindari takdir? Perasaan itu tumbuh begitu saja semenjak hari-hari perkenalan itu bemula. 

Aku tak pernah menemukannya dalam mimpi-mimpiku sebelumnya, tetapi tiba-tiba ia hadir dalam kehidupan nyataku. Aku tak mau mengaku, karena pengakuan itu hanya akan menyakitiku, dia, juga keluarganya jika saja semuanya terjadi. Hatiku sama seperti yang lain, menemukan cintanya tanpa alasan, dan sekarang patah tak lagi punya harapan.

 Apakah kita bisa, memilih akan jatuh cinta dengan siapa? 

Seandainya bisa, tentu aku lebih memilh jatuh cinta sedalam-dalamnya pada seseorang yang mencintaiku. Bukan pada lelaki itu. 

"Selamat Malam Vin,"

Jantungku terlonjak ketika mendadak aku melihat sebuah pesan muncul di layar ponsel. Pesan itu membuyarkan lamunanku tentang malam. Baru saja aku bertanya-tanya, kapan lagi lelaki itu akan menyapaku. Dan malam panjang yang sunyi di tepian jendela adalah teman akrabku belakangan ini. Ia menemani resahku, menerima senyumku, dan ia adalah sendu, tempat dan suasana terbaik untuk menikmati perasaan rindu.

Tanganku mendadak dingin menyentuh permukaan layar ponsel, pesan ini sungguh istimewa. Kemarin-kemarin ia mengawali percakapan dengan sebuah topik, bagaimana pendapatmu soal hujan, kenapa kau bilang tidak suka puisi, kau sudah baca novel ini, dan...malam ini percakapan itu dimulai tanpa alasan. Hatiku gemetar membaca pesan itu, ketika kemudian harapan-harapan mulai melingkupi hati, saat itulah aku jatuh dan menyesali diri.

Pagi hari bagi sebagian orang adalah awal yang baru, tempat ketika semua kejadian buruk hari kemarin di buang jauh-jauh, tempat ketika lega perasaan telah melewati hal yang mungkin terasa sulit di hari lalu. Dan pagi bagiku adalah hal yang selalu mengingatkan pada mimpi-mimpi maya, sinar matahari pagi  menyadarkanku bahwa perasaan yang kupelihara tak seharusnya ada di dunia nyata. 

"Vin, lo kan tahu, dia itu udah punya istri. Nggak seharusnya kalian chattingan sedekat ini," 

Dian menatapku dengan tatapan prihatin. Dian adalah satu-satunya orang yang kuceritai tentang perasaanku pada lelaki itu, dan dia selalu berusaha memahami, bahwa rasa cinta selalu tumbuh sendiri. Aku menatap kosong gelas kopi di meja kafe, menerawang pada bilah-bilah udara yang selalu terasa pengap tiap kali mimpi tentang lelaki itu dibahas.

"Ya gue tahu. Sangat sangat tahu. Tapi lo liat sendiri kan, dia selalu menanggapi manis bercandaan gue, ya nggak salah dong kalo gue jadi jatuh hati sama sikapnya,"

Dian menghela napas, diletakannya ponselku yang tadi dipegangnya di atas meja. 

"Nggak salah gimana? Vin, kita udah bahas ini berkali-kali ya. Perasaan di hati lo, itu sepenuhnya lo yang nentuin. Kendaliin hati lo, jangan lo terusin perasaan yang lo tahu itu salah.  Sebagai sahabat, gue  nggak mau lo terjerumus ke hal-hal yang enggak bener. Lo nggak mau kan, jadi perusak rumah tangga orang,"

Dian melanjutkan, "Ya emang, rasa cinta itu tumbuh sendiri. Tapi kan seenggaknya lo bisa meminimalisirnya dengan nggak memupuknya setiap hari, berhentisama dia misalnya," 

Dian mengangkat bahu, menyesap cappuccino di depannya.

"Lo nggak ngerti sih Di, gue beneran jatuh cinta sama dia. Kaya perasaan cinta lo ke Syam. SAMA. Sekarang gue tanya, lo bisa nggak ngelupain Syam mulai sekarang?"

Aku sebal mendengar ocehan Dian. Dia bisa berkata begitu karena ia tak pernah berada di posisiku. Semua orang akan berkata sama jika hanya mendengar ceritanya, aku tidak yakin mereka akan bisa jika berada di posisi yang menjalaninya.  Lelaki itu, meski kami dekat, tapi kami tak pernah bertemu, karena masing-masing dari kami tahu batasannya, dan sebisa mungkin kami menjaga batas itu. Aku jadi berpikir, bercakap-cakap dengannya via chat saja bisa membuatku jatuh cinta, apalagi lebih dari itu. 

Bagaimana bisa kuhentikan percakapan-percakapanku dengannya? Jika percakapan-percakapan itulah yang membuatku merasa lebih hidup setiap hari. Bangun pagi dengan harapan tentang sosoknya, dan hal apa yang akan membuatku tertawa tentangnya. Kian hari aku kian tidak bisa membendung perasaan itu, dia tumbuh sejalan dengan semakin seringnya intesitas obrolan kami.

Dalam dirinya kutemukan semua ekspektasi tentang pribadi yang kuinginkan selama ini. Dia dewasa dengan usianya, menyenangkan dengan sifatnya, dan membuatku nyaman dengan caranya. Sekarang aku tak bisa lagi memandang ke langit tanpa teringat tentangnya, membuka ponsel tanpa senyum harapan padanya, dan menjalani hari tanpa menaruh mimpi padanya.

"Tapi Vin. Dia udah punya istri, tambah lagi, dua anak. Lo harus sadari kenyataan itu. Dia nggak mungkin datang ke elo cuma buat menuhin mimpi-mimpi remaja labil seusia lo,"

Aku diam menatap Dian yang berbicara panjang lebar seperti pertemuan-pertemuan kami sebelumnya. Remaja labil? Enak saja, sembilan belas tahun kurasa usiaku sudah cukup dewasa. 

"Sekarang gini deh,"

 Kutatap Dian yang mulai berbicara lagi, "Seandainya pun lelaki itu datang ke elo, terus elo terima, dan kalian berdua memutuskan bersama, apa yang akan terjadi dengan istri dan anak-anaknya? Lo sama aja ngerusak hidup orang lain, ngerusak mimpi-mimpi tentang keluarga seorang istri yang dia bangun dengan suaminya. Dan gue yakin, kebahagiaan nggak akan pernah bisa di dapet dengan cara seperti itu. Lo jadi orang yang udah ngerusak rumah tangga orang lain, dan lo akan dihantui perasaan bersalah dalam hidup lo. Lo pikir lo bisa bahagia setelah itu? Kebahagiaan nggak bisa hadir cuma dari satu sumber aja Vin,"

Kafe hujan malam itu lengang, membuat tepi-tepi hatiku terasa semakin sepi. Memang, rasa suka dan nyaman yang tumbuh setiap hari menghadirkan rasa ingin memiliki. Membuat 'jika saja' hari-hari bersamanya selalu hadir dalam mimpi. Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan? Apakah ini salahku jika semua hal manis itu membuatku jatuh cinta? Apakah salah jalanku jika takdir membawaku mengenal dirinya? Aku termenung mencerna kata-kata Dian. 

Entah mengapa ada yang berbeda dari pertemuanku dengan Dian kali ini. Kebahagiaan tidak pernah bisa di dapatkan dengan cara-cara buruk, ya, tentu saja. Mataku mendadak panas, menyesali takdir, mengapa Tuhan tidak mempertemukanku dengan Lelaki itu jauh sebelum ia menikah? Mengapa aku bertemu dengannya setelah ia menikah? Mengapa takdir milik lelaki itu tidak membuatnya menungguku sampai beberapa tahun lagi? 

Pertanyaan konyol. Hatiku jatuh ke dasar sebuah harapan bermula, lucu sekali aku menginginkan sebuah kesempatan memiliki. Bukankah perkenalan kami bahkan belum menyentuh 365 hari, dan bisa-bisanya aku jatuh cinta dan menyalahkan takdir hidup lelaki itu. 

Jadi apakah setelah hari ini aku harus melupakannya?

"Lupakan saja lelaki itu Vin, kaya nggak ada cowok lain aja,"

***

Aku penah belajar bahwa manusia adalah makhluk sosial. Dalam mata pelajaran sosiologi di bangku SMA, tiga tahun lalu, dijelaskan bahwa manusia tidak pernah bisa hidup sendiri. Ia senantiasa membutuhkan bantuan dan harus hidup berdampingan dengan orang lain. Itu artinya sebuah kebahagiaan pun tidak bisa didapatkan tanpa melibatkan orang lain. Ya, hari ini adalah hari-hari setelah perenungan panjang. Selepas pertemuan kali terakhir dengan Dian di kafe itu, aku mulai banyak memahami.

Kau tahu? Rasa cinta pada lelaki itu masih ada hingga kini. Percakapan kami juga masih sesering dulu, hanya saja aku mulai memandang semuanya dari sudut yang berbeda. Kata-kata yang dia tuliskan dalam aplikasi chat memang manis, tapi itu hanyalah sebuah kata-kata. Dan hei, kau tahu? Pada suatu malam ia pernah mencatatkan sebuah puisi untukku,  senja adalah kehidupan, dan kaulah jantungnya. Yah, jantungku berdetak kencang ketika membacanya. Tetapi sekali lagi semuanya hanya kata-kata, tak perlu kuanggap istimewa, kutegaskan pada hati bahwa ia hanyalah teman di dunia maya.

Dan pada suatu pagi, yang ketika dunia baru terjaga dari mimpi, aku mendapatkan sebuah pesan dari nomor akun lelaki itu. Aku termenung membacanya, dan pesan itulah yang akhirnya benar-benar membangunkan kesadaranku. Mengembalikan imajinasiku dari alam mimpi ke bumi dimana kakiku bisa nyata berpijak.

"Assalamu'alaikum Mbak. Ini istrinya Bang Zen. Saya tahu, Mbak agak istimewa bagi Bang Zen, sebagai teman agak berlebihan ya kalau suami saya sering berkata-kata yang manis pada Mbak. Tapi di sini saya coba berfikir positif, mungkin kalian hanya bercanda saja, apalagi Mbak masih sangat muda untuk nggak dibilang masih remaja. Jadi boleh saya minta satu hal pada Mbak? Saya hanya meminta bisakah percakapan kalian tidak terlalu dekat? Jujur saya cemburu dan agak terganggu. Segalanya bisa saja terjadi kan, kita mencegah saja dari hal-hal yang tidak diinginkan. Terimakasih"

Saat membaca pesan itu aku menyadari, betapa  luas kehidupan di sekeliling lelaki itu yang tak kuketahui. Ia telah memiliki keluarga, ya aku tahu, tapi yang paling penting adalah betapa perasaan yang kupunya konyol sekali. Aku hanyalah remaja dibandingkan dengan seluruh kehidupan yang di punyai lelaki itu. Dan artinya apa, rasa ini hanyalah secuil dari seluruh fase perjalanan panjang yang harus kulalui. 

Kuketik balasan pesan itu dengan senyuman mengembang di bibir. Aku tak tahu seberapa resah perasaan seorang istri ketika suaminya mengobrol lucu dengan perempuan lain. Aku tahu, lelaki itu adalah laki-laki yang baik. Dilihat dari cerita-cerita yang dia tuliskan, dia adalah orang yang cerdas dan selalu memandang sesuatu dari banyak persepsi. Dan dilihat dari caranya berteman, dia adalah orang yang menyenangkan. Aku yakin, pikirannya tak akan sesempit itu, menjadi istrinya tidak perlu mengkhawatirkan apapun karena dia adalah laki-laki yang baik.

"Wa'alaikumsalam. Maaf kak, tapi kami hanya berteman biasa, tidak seperti yang kakak pikir. Kakak tak perlu menghawatirkan apapun. Untuk apa? Aku hanya remaja biasa. Dan lagi, laki-laki seperti Bang Zen tak akan pernah menyakiti perempuan yang telah memberinya surga dan sepasang malaikat hanya untuk menuju orang yang justru akan memberinya neraka. Sekali lagi kakak tidak usah kawatir dan berprasangka yang tidak-tidak ya." 

Kupencet send.

Aku tersenyum sekali lagi. Lega. Bukan karena perasaan itu sudah hilang, tetapi lebih karena pesan itu. Kupastikan sekarang tak ada siapapun yang tersakiti. Tidak ada yang salah dalam hal jatuh cinta, karena perasaan itu adalah anugrah dari tuhan. Dan esensi dari jatuh cinta bukanlah pada siapa itu ditujukan, tetapi rasa syukur terhadap anugrah perasaan cinta itulah yang terpenting. Bersyukur karena Tuhan telah mengizinkan kita merasakan perasaan istimewa itu.

Dan rasa resah yang terjadi padaku beberapa hari lalu, kuanggap saja sebagai fase yang harus dilalui oleh seorang remaja sepertiku. Dan takdir selalu berjalan dengan benar, ia tak mungkin salah dituliskan.

Apa kita berhak menyalahkan takdir? Manusia hanyalah hamba, tanpa ia meminta Tuhan membuatkan jalan takdir untuknya pun, semuanya sudah tercatat bahkan jauh sebelum manusia diciptakan. Dan lagi, takdir bukanlah seseorang yang bisa disalahkan. Takdir tidak diciptakan untuk memenuhi keinginan manusia, ia ada karena merupakan bagian dari alam semesta.

Apakah aku harus merasa bersalah, atas perasaan yang tumbuh karena takdir itu? 

Sekarang aku bisa menjalani hari-hari dengan ringan,  kuikuti saran Dian untuk melupakan. Bukan melupakan lelaki itu, tetapi melupakan rasa pada lelaki itu. Pemahaman dan pelajaran di fase ini menjadikanku lebih dewasa dalam menyikapi sebuah hubungan pertemanan, juga membantuku memulai hari-hari melupakan itu. Dan nanti, aku dan Bang Zen tetap berteman dan bercakap seperti biasa. Tak ada yang berubah dalam hubungan pertemanan kami. Sudah kubilang ia laki-laki yang baik untuk tidak terbawa suasana.

 Ya, dia sudah dewasa, dan aku hanyalah remaja.

Kulon Progo, Januari 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun