Tidaklah mudah perjalanan menuju jembatan akar di Baduy. Apalagi bagi saya dan sebagian rombongan yang sudah berusia kepala empat.
Jarak tempuhnya memang tidak terlalu jauh, tetapi medan yang naik-turun benar-benar menguji stamina. Namun, semua perjuangan itu terbayar begitu kami tiba di jembatan yang ikonik tersebut.
***
Sembilan tahun lalu saya pernah berkunjung ke Baduy, Lebak, Banten. Pada kunjungan pertama ini, saya sangat menikmati alam Baduy yang begitu asri. Penduduknya juga masih memegang teguh warisan budaya leluhur di tengah gempuran modernisasi dan pengaruh budaya dari luar.
Pesona itulah yang membuat saya kagum terhadap Baduy. Karenanya, saya sangat antusias mendaftar ketika Komunitas KPK dan Koteka berencana mengadakan trip ke Baduy.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saya terpilih sebagai salah satu peserta trip ke Baduy, bersama kompasianer lainnya.
Sabtu, 22 Juli. Jam 7.30 pagi, saya berangkat dari rumah menuju Stasiun Daru, Kabupaten Tangerang. Rencananya saya berangkat dari Daru menuju Rangkasbitung, sementara peserta trip lainnya berangkat dari Tanah Abang.
Jam 8.10 saya telah tiba di Daru. Tak perlu menunggu lama, kereta api relasi Tanah Abang - Rangkasbitung tiba. Jam 8.25, kereta meninggalkan Daru.
Perjalanan ke Rangkasbitung butuh waktu 40 menit. Saya tiba sekitar jam 9.05 pagi, dan menunggu teman-teman lainnya yang tiba sekitar setengah jam kemudian.
Dari Stasiun Rangkasbitung, jam 10 pagi kami melanjutkan perjalanan dengan angkot carteran menuju Ciboleger. Di 'kabin' depan ada sopir dan Ojan, pemandu trip. Sementara di belakang ada saya, Mas Rahab, Mas Bule, Mbak Hida, Mbak Nisa, Amel, Nadus, Bang Aswi, dan Pak Bugi.
Butuh 2 jam untuk mencapai terminal Ciboleger yang menjadi pintu masuk ke Baduy. Banyak rombongan lain yang juga tiba di Ciboleger dan tentunya akan melakukan perjalanan ke Baduy.
Kondisi terminal Ciboleger ternyata telah berubah dibandingkan saat saya datang tahun 2014 lalu. Patung Keluarga Pak Tani di tengah terminal memang masih sama seperti dulu, tapi bangunan-bangunan di sekitarnya sekarang menjadi lebih banyak.
Dulu, ada satu minimarket saja. Namun, sekarang sudah ada tiga. Selain itu juga ada penginapan, yang tak saya lihat sembilan tahun lalu.
Setelah beristirahat sejenak di terminal Ciboleger, kami pun masuk ke pemukiman Baduy Luar dengan berjalan kaki. Ojan yang asli Baduy memandu kami berjalan di jalur berundak, melintasi rumah-rumah panggung khas Baduy.
Bermacam suvenir, hasil bumi, dan minuman dijajakan di rumah-rumah yang berada di kiri-kanan jalur ini. Seperti baju, tas, kain tenun, madu, dan yang lain.
Aktivitas warga juga terlihat. Di salah satu rumah, ada seorang satu ibu tengah membuat kain tenun. Sementara di rumah lain, seorang anak memainkan alat musik gambang diiringi temannya yang memukul semacam kentongan.
Ingatan saya pun melayang kembali pada kunjungan pertama. Ada sekumpulan anak-anak yang juga memainkan gamelan saat itu. Bahkan, saya ikut bergabung bermain gamelan bersama mereka.
Setelah berjalan kaki selama 30 menit, kami tiba di rumah Ojan untuk beristirahat dan menikmati makan siang. Menunya nasi dengan lauk telur dadar, ikan asin, tahu dan tempe goreng, kerupuk, serta sambal dan lalapan. Sederhana, tapi terasa nikmat.
Kami juga menikmati kopi Baduy di rumah Ojan ini. Juga, membeli oleh-oleh seperti gula merah, pete, baju kampret, gelang, dan selendang.
Dari rumah Ojan, kami melanjutkan ke tujuan berikutnya. Awalnya, kami akan ke Kampung Gajebo dengan jembatan bambunya yang menjadi batas antara Baduy Luar dan Dalam.
Namun, rencana ke jembatan bambu Gajebo dibatalkan, berubah ke jembatan akar yang berbeda arah.
Rombongan kompasianer kembali ke Ciboleger. Dipandu oleh Ojan yang ditemani keponakannya yang berusia 12 tahun, Dani, kami naik angkot menuju ke Kampung Cakeum. Dari Cakeum, perjalanan dilanjutkan dengan trekking menuju ke jembatan akar.
Berjalan kaki melintasi medan Baduy yang berbukit-bukit tentu tidak mudah. Tak jarang kami berhenti sejenak untuk mengambil nafas berkedok foto bersama di beberapa tempat.
Trekking yang benar-benar menguji stamina. Kami melintasi jalan kampung, pematang sawah, hingga jalan setapak di ladang yang konturnya naik-turun. Dan semua perjuangan itu terbayar begitu kami tiba di tujuan.
Jam 3.30 sore, tibalah kami di jembatan akar. Rupanya ada rombongan lain yang telah tiba di sini terlebih dahulu. Di ujung jembatan, kami menunggu giliran untuk mengabadikan momen di jembatan ikonik yang konon telah berusia seabad ini.
Sambil menunggu giliran berfoto di jembatan akar, saya dan beberapa kompasianer turun sejenak ke bawah jembatan, ke tepi sungai.
Kami duduk di batu berukuran besar, sambil menikmati gemericik air sungai yang berwarna kehijauan. Tak jauh dari kami, malah ada beberapa pengunjung yang sengaja berbaring sambil menikmati segarnya alam Baduy.
Giliran untuk rombongan kami pun tiba. Ojan berjalan ke tengah jembatan untuk mengambil foto dan video. Satu per satu kami diabadikan oleh Ojan. Dan akhirnya kami berfoto bersama.
Usai foto bersama, kami berjalan kaki dari jembatan akar dan melewati kembali rute sebelumnya menuju Cakeum. Menjelang maghrib, angkot mengantar kami dari Cakeum menuju Stasiun Rangkasbitung.
Kunjungan ke jembatan akar di Baduy ini benar-benar mengesankan. Saya bersyukur bisa menikmati alam yang asri dan melihat masyarakat Baduy yang memegang teguh budaya leluhur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H