Kami juga menikmati kopi Baduy di rumah Ojan ini. Juga, membeli oleh-oleh seperti gula merah, pete, baju kampret, gelang, dan selendang.
Dari rumah Ojan, kami melanjutkan ke tujuan berikutnya. Awalnya, kami akan ke Kampung Gajebo dengan jembatan bambunya yang menjadi batas antara Baduy Luar dan Dalam.
Namun, rencana ke jembatan bambu Gajebo dibatalkan, berubah ke jembatan akar yang berbeda arah.
Rombongan kompasianer kembali ke Ciboleger. Dipandu oleh Ojan yang ditemani keponakannya yang berusia 12 tahun, Dani, kami naik angkot menuju ke Kampung Cakeum. Dari Cakeum, perjalanan dilanjutkan dengan trekking menuju ke jembatan akar.
Berjalan kaki melintasi medan Baduy yang berbukit-bukit tentu tidak mudah. Tak jarang kami berhenti sejenak untuk mengambil nafas berkedok foto bersama di beberapa tempat.
Trekking yang benar-benar menguji stamina. Kami melintasi jalan kampung, pematang sawah, hingga jalan setapak di ladang yang konturnya naik-turun. Dan semua perjuangan itu terbayar begitu kami tiba di tujuan.
Jam 3.30 sore, tibalah kami di jembatan akar. Rupanya ada rombongan lain yang telah tiba di sini terlebih dahulu. Di ujung jembatan, kami menunggu giliran untuk mengabadikan momen di jembatan ikonik yang konon telah berusia seabad ini.
Sambil menunggu giliran berfoto di jembatan akar, saya dan beberapa kompasianer turun sejenak ke bawah jembatan, ke tepi sungai.
Kami duduk di batu berukuran besar, sambil menikmati gemericik air sungai yang berwarna kehijauan. Tak jauh dari kami, malah ada beberapa pengunjung yang sengaja berbaring sambil menikmati segarnya alam Baduy.