Dalam upayanya itu ia memanfaatkan jabatannya sebagai Kadiv Propam Polri, memerintahkan para bawahannya; tujuh Kepala Biro di Divisi Propam, dengan menyeret puluhan anggota Polri di bawah mereka (total ada 96 polisi), untuk mendukung rekayasa  kasus versinya itu. Dengan mengaburkan dan menghilangkan bukti-bukti di dan di sekitar TKP, seperti sejumlah DVR CCTV yang dirusak dan dihilangkan atas perintahnya, dan lain sebagainya.
Setelah pembunuhan berencana itu terjadi, Ferdy Sambo juga diketahui mengumpulkan enam Kepala Biro Divisi Propam untuk dibrifing menyusun skenario palsu tewasnya Brigadir Yosua, yang kemudian diumumkan secara resmi kepada publik.
Enam kepala biro di Divisi Propam Polri itu: Kepala Biro Pengamanan Internal Brigjen Hendra Kurniawan, Kepala Detasemen A Biro Pengamanan Kombes Agus Nurpatria, Kepala Sub-Bagian Audit Biro Pertanggungjawaban Profesi Komisaris  Chuck Putranto, Kepala Sub-Bagian Pemeriksaan Biro Pertanggungjawaban Profesi Komisaris Baiquni Wibowo, Kepala Sub-Unit I Sub Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri Ajun Komisaris Irfan Widyanto, dan Wakil Kepala Detasemen B Biro Pengamanan Internal Ajun Komisaris Besar Arif Rachman Arifin, semuanya telah dipecat secara tidak hormat sebagai polisi dan juga menjadi tersangka obstruction of justice.
Dari 96 anggota polisi itu, 35 di antaranya harus mengikuti sidang Komisi Kode Etik Polri. Sampai dengan 30/9/2022, dari 35 polisi itu, sudah 18 anggota polisi yang disidang etik dan dijatuhi sanksi. Sanksi-sanksi itu, mulai yang teringan, yaitu pembinaan dan penempatan khusus, demosi, hingga terberat berupa pemecatan secara tidak hormat sebagai anggota Polri. Â
Sampai dengan 30/9/2022, mantan Kepala Satuan (Kasat) Reserse Kriminal (Reskrim) Polres Metro Jakarta Selatan AKBP Ridwan Rhekynellson Soplanit adalah anggota Polri ke-18 yang dijatuhi sanksi. Ia disanksi mutasi bersifat demosi selama 8 tahun. Sanksi demosi adalah sanksi pemindahan anggota polisi dari jabatan yang sedang diemban ke jabatan yang lebih rendah, atau tidak diberi jabatan apapun lagi.
Seandainya saja benar Brigadir Yosua telah melakukan pelecehan seksual terhadap istrinya, sebagai seorang polisi, apalagi seorang Jenderal dengan jabatan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo seharusnya bisa mengendalikan emosinya. Mereka seharusnya hanya perlu melaporkan Yosua ke polisi. Dengan pangkat dan jabatannya itu, polisi setempat pasti dengan seketika menindaklanjuti laporan dari atasannya sendiri itu. Â Bukan malah secara sedemikian fatal ia main hakim sendiri dengan membunuh pelakunya. Apalagi diikuti dengan upaya menutupi perbuatannya itu dengan membuat skenario palsu.Â
Di awal peristiwa itu diketahui publik, Ferdy Sambo, dan juga istrinya, menyatakan pembunuhan yang dilakukan itu demi harkat dan martabat keluarga mereka. Tetapi, justru pembunuhan yang mereka lakukan itu telah merusak dengan sangat parah harkat dan martabat keluarga mereka. Betapa tidak, anak-anak mereka pasti sangat trauma dan malu kedua orangtuanya kini berpredikat sebagai tersangka pembunuh. Â
Dengan rentetan perbuatannya itu, merancang pembunuhan itu, mengeksekusinya, lalu berupaya menutupnya dengan memanfaatkan kekuasaan jabatannya, rekayasa kasus atau skenario palsu dengan melibatkan sejumlah perwira dan anggota Polri lainnya itu, benar-benar merusak harkat dan martabat institusi Polri sampai ke tingkat paling rendah yang belum pernah terjadi sejak Polri berdiri.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dalam konferensi persnya di Mabes Polri, Â pada 30 September 2022, mengakui bahwa kasus pembunuhan berencana yang diotaki Ferdy Sambo itu betul-betul sangat menggerus kepercayaan publik terhadap Polri.
"Kami sadar bahwa dampak dari kasus ini betul-betul menggerus kepercayaan publik terhadap Polri," katanya.
Pada 26 September 2022, Presiden Jokowi telah menandatangani berkas pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) Ferdy Sambo. Dengan demikian, seperti yang dikatakan Kapolri Listyo Sigit Prabowo, mulai saat itu juga secara resmi Ferdy Sambo bukan lagi anggota Polri.