Gayus membandingkan kasus pembunuhan Yosua oleh Ferdy Sambo dengan kasus pembunuhan terhadap empat orang pembunuh seorang anggota TNI yang ditahan  di Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta, pada 23 Maret 2013 silam. Pelaku pembunuhan itu adalah beberapa anggota TNI yang murka mendengar rekannya dibunuh empat orang itu. Mereka menyerbu menerobos masuk lapas, merusak CCTV, dan menembak mati empat orang itu di sel tahanannya.
Gayus menerangkan, hal terpenting dalam perbandingan dua  kasus itu, adalah apakah aksi kekerasan hingga menghilangkan nyawa orang lain itu merupakan perbuatan yang terjadi secara spontan atau sudah direncanakan.
Peristiwa penembakan yang menewaskan empat orang di Lapas Cebongan dalam putusan akhir Mahkamah Militer disimpulkan terjadi karena aksi spontanitas dan tidak direncanakan.
"Karena pasalnya tidak bisa berkaitan dengan perencanaan pembunuhan, dalam hal ini seorang prajurit yang mempengaruhi jiwanya, dia bebas bersenjata," kata Gayus.
Menurut mantan Hakim Agung Kamar Pidana Umum dan Militer 2011-2018 itu, penembakan di Lapas Cebongan terjadi karena jiwa korsa (esprit de corps) yang tinggi dari para pelaku. Pelaku penembakan, Serda Ucok Tigor Simbolon, mengaku marah setelah mendengar rekannya, Serka Heru Santosa, tewas karena ditusuk pecahan botol dalam pertengkaran di Hugo's Cafe, beberapa hari sebelumnya.
"Emosi tinggi mereka baru selesai latihan dan dia memegang senjata. Maka dia melakukan tindakan kekerasan yang bukan berencana," kata Gayus.
Terkait dengan gerakan yang sistematis saat para pelaku menerobos Lapas Cebongan, mematikan listrik hingga mengambil rekaman kamera CCTV, kata Gayus hal itu bukan termasuk dalam niat merencanakan pembunuhan.
"Itu teknis. Perencanaan harus niat. Niat yang berencana. Tapi ini bukan keinginan, spontanitas karena tekanan sesuatu dalam hal ini esprit de corps kepada pasukannya maka timbul lah satu tindakan, yaitu dengan membunuh sekali 4 orang dan mendatangi tempat yang dia tidak bebas, korbannya tidak bebas," papar Gayus.
"Apapun hakim militer akan berpandangan bahwa ini memang bukan perencanaan," sambung Gayus.
Menurut Gayus, dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua, penyidik Polri dan jaksa penuntut umum harus bisa membuktikan konstruksi perkara dengan sangkaan pembunuhan berencana. Sebab menurut dia, jika penyidik Polri dan jaksa penuntut umum tidak cermat, maka membuka peluang bagi Irjen Ferdy Sambo, yang ditetapkan menjadi salah satu tersangka, lolos dari sangkaan pembunuhan berencana.
"Ini hampir mendekati hal-hal yang bisa kita khawatirkan bahwa tidak direncanakan karena pengaruh sesuatu. Oleh karena itu pengaruh sesuatu ini perlu diteliti sebagai bentuk analisis perbuatan."