Mahfud MD. TP3 diwakili antara lain oleh Amien Rais, Marwan Batubara, dan Abdullah Hehamahua.
Bertempat di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa pagi, 9 Maret 2021, Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) enam laskar FPI bertemu dengan Presiden Jokowi. Jokowi didampingi Mensesneg, Pratikno, dan Menko Polhukam,Menurut Mahfud MD, di dalam pertemuan yang hanya berlangsung selama 15 menit itu, kepada Presiden Jokowi, TP3 menyatakan keyakinan mereka bahwa telah terjadi pembunuhan terhadap enam orang anggota laskar FPI (oleh polisi), dan mereka minta para pelakunya itu disidangkan di pengadilan HAM, karena telah terjadi pelanggaran HAM berat, bukan pelanggaran HAM ringan. Tetapi, mereka tidak bisa membuktikan adanya pelanggaran HAM berat itu.
" ... Kemudian diurai apa yang terjadi pertama, tujuh orang yang diwakili oleh Pak Amien Rais dan Pak Marwan Batubara tadi menyatakan mereka menyatakan keyakinan telah terjadi pembunuhan terhadap enam laskar FPI. Dan, mereka meminta agar ini dibawa ke pengadilan HAM, karena pelanggaran HAM berat. Itu yang disampaikan kepada Presiden", jelas Mahfud MD.
Tidak hanya aspek hukum, orang-orang yang kerap berbicara atas nama Tuhan dan neraka itu pun memberi peringatan kepada Presiden Jokowi, sebagaimana dituturkan oleh Mahfud, bahwa TP3 juga ingatkan Jokowi bahwa ada ancaman dari Tuhan, kalau orang membunuh orang mukmim tanpa hak, maka ancamannya adalah neraka jahaman.
"Pertama harus ada penegakan hukum sesuai dengan ketentuan hukum, sesuai dengan perintah Tuhan bahwa hukum itu adil dan yang kedua ada ancaman dari Tuhan kalau orang membunuh orang mukmin tanpa hak maka ancamannya neraka jahanam".
Presiden Jokowi menjawab TP3, bahwa ia telah meminta kepada Komnas HAM agar melakukan penyelidikan dengan sangat independen, apa yang sedang terjadi, dan apa yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah selanjutnya.
"Dan, Komnas HAM telah memberikan laporan dengan empat rekomendasi. Â Empat rekomendasi itu sepenuhnya sudah disampaikan kepada Presiden. Agar diproses secara transparan, adil, dan bisa dinilai oleh publik. Yaitu bahwa temuan Komnas HAM, yang terjadi di Tol Cikampek Km50, itu adalah pelanggaran HAM biasa."
"Pak Marwan Batubara mengatakan, mereka yakin keenam orang itu adalah WNI, oke, kita juga yakin. Mereka adalah orang-orang beriman, kita juga yakin. Dan, mereka juga yakin, telah terjadi pelanggaran HAM berat."
Mahfud menjawab TP3, "Pemerintah terbuka, kalau ada bukti, Â mana pelanggaran HAM berat itu? Sampaikan sekarang! Atau, kalau nggak, sampaikan menyusul kepada Presiden. Bukti! Bukan keyakinan. Karena kalau keyakinan, kita juga punya keyakinan sendiri-sendiri. Bahwa peristiwa itu dalangnya si A, si B, si C. Kalau (hanya) keyakinan."
"Tapi, Komnas HAM telah menyelidiki, sesuai kewenangan Undang-Undang, nggak ada. Pelanggaran HAM berat itu ada tiga syaratnya. Satu, dilakukan secara terstruktur. Itu dilakukan aparat secara resmi secara berjenjang. Struktur itu berjenjang. Harus ada targetnya. Bunuh enam orang yang melakukan itu. Taktiknya begini, alatnya ini. Â Kalau terjadi ini, larinya ke sini. Sistematis, juga jelas tahap-tahapannya perintah menjalankan itu. Masif, menimbulkan korban yang meluas."
"Kalau ada bukti itu, kalau ada bukti itu. Mari, bawa, kita adili secara terbuka. Kita adili para pelakunya berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2000".
"Saya katakan, TP3 bukannya juga sudah diterima Komnas HAM? Diminta mana buktinya (telah terjadi pelanggaran HAM berat). Secuil saja, bahwa ada terstruktur, sistematis, dan masif. Nggak ada itu. Kalau (hanya) yakin, tidak boleh. Karena kita juga punya keyakinan banyak pelakunya. Pelakunya ini, pelakunya itu, otaknya ini, otaknya itu, dan sebagainya. Yang membiayai itu. Kita yakin, tetapi kan tidak ada buktinya".
Demikian antara lain yang dijelaskan Mahfud MD sesaat setelah pertemuan TP3 dengan Presiden Jokowi itu usai. Selengkapnya ada di akun YouTube Sekretariat Presiden.
Dari penjelasan Mahfud MD tersebut di atas, demikian juga dari pemberitaan-pemberitaan media, sesungguhnya sudah jelas, tepat dan benar tentang hasil penyelidikan oleh Komnas HAM terhadap kasus bentrokan polisi dengan enam laskar FPI, di Tol Cikampek Km49-50, pada  Senin dini hari, 7 Desember 2020,  lalu, yang berujung pada tewasnya keenam laskar FPI itu.
Penyelidikan oleh Komnas HAM telah dilakukan secara independen, melibatkan beberapa organisasi masyarakat sipil, saksi-saksi di tempat kejadian, dan dokter forensik.
Pada 8 Januari 2021, di Gedung Komnas HAM, Jakarta, Komnas HAM telah menjelaskan tentang temuan-temuan, kesimpulan, dan rekomendasinya dari hasil penyelidikan terhadap kasus tewasnya enam laskar FPI tersebut.
Ketika itu, Ketua Tim Investigasi Komnas HAM Mohammad Choirul Anam menjelaskan bahwa ada dua konteks yang berbeda dalam kasus tewasnya enam laskar FPI itu.
Konteks yang pertama, tewasnya dua anggota laskar FPI pengawal Rizieq Shihab. Dua orang ini tewas karena adanya eskalasi ketegangan dengan polisi. Peristiwa keduanya tewas tewas didahului dengan adanya aksi perlawanan sebagai respons intimidasi dan kekerasan dari kepolisian saat melakukan pengintaian terhadap rombongan kendaraan Rizieq Shihab dari Bogor, menuju ke Karawang, Jawa Barat. Â
Keduanya meladeni aksi pengintaian kepolisian terhadap rombongan kendaraan Rizieq Shihab dengan melakukan penghalang-halangan laju kendaraan petugas (polisi).
Aksi penghalang-halangan tersebut mencapai eskalasinya ketika saling kejar-mengejar dan tembak-menembak dengan tiga unit mobil sipil anggota kepolisian di Jalan Internasional Karawang Barat, sampai di Km-49 Tol Cikampek. Satu dari dua laskar tewas karena luka tembak dan dalam kondisi duduk di dalam mobil sedangkan yang lainnya tewas di jalan.
Menurut Komnas HAM, dalam konteks pertama itu, tidak terjadi pelanggaran HAM. Artinya, polisi telah bekerja sesuai dengan SOP kepolisian.
Sedangkan pada konteks kedua, terjadi di rest area Km50. Empat anggota laskar FPI lainnya ditangkap polisi dalam keadaan hidup. Mereka dimasukkan ke dalam mobil polisi tanpa diborgol. Di dalam perjalanan ke Polda Metro jaya, empat orang ini ditembak mati oleh dua dari tiga polisi yang berada di mobil itu.
Ketiga polisi itu mengaku mereka menembak empat laskar FPI itu karena di dalam perjalanan melakukan perlawanan hendak merampas senjata petugas. Tetapi, menurut Komnas HAM keterangan tersebut sepihak yang tidak bisa dibuktiklan kebenarannya. Tidak ada saksi-saksi pembanding yang bisa memperkuat atau membantah keterangan tersebut.
Menurut Komnas HAM, "Penembakan sekaligus terhadap empat orang dalam satu waktu tanpa ada upaya lain yang dilakukan untuk menghindari semakin banyaknya jatuh korban jiwa, mengindikasikan adanya unlawfull killing terhadap empat orang laskar FPI."
Oleh karena itu terhadap tewasnya empat laskar FPI itu Komnas HAM berkesimpulan telah terjadi pelanggaran HAM.
Atas berbagai temuan itu, Komnas HAM memberi sejumlah rekomendasi kepada Polri. Komnas HAM merekomendasikan peristiwa pelanggaran HAM ini diselesaikan melalui mekanisme pengadilan pidana.Â
"Komnas HAM merekomendasikan kasus ini harus dilanjutkan ke penegakan hukum dengan mekanisme pengadilan pidana guna mendapatkan kebenaran materiil lebih lengkap dan menegakkan keadilan."
Jadi, karena memang bukan pelanggaran HAM berat, tetapi tindak pidana pembunuhan biasa, maka sudah tepat rekomendasi Komnas HAM adalah kasus tersebut diadili di pengadilan biasa (pengadilan negeri, bukan pengadilan HAM).
Komnas HAM telah menyerahkan berkas investigasi tewasnya enam laskar FPI tersebut kepada  kepada Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada 14 Januari 2021.
Menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM tersebut, pada 4 Maret 2021, Polda Metro Jaya telah menonaktifkan untuk sementara tiga polisi yang menembak mati enam orang laskar FPI tersebut. Selanjutnya, mereka akan diperiksa oleh Bareskrim Mabes Polri.
Pada Rabu (10/3) Bareskrim Polri telah melakukan gelar perkara untuk kasus tersebut dengan menaikkan statusnya ke penyidikan. Status ketiga anggota Polda Metro Jaya itu belum diputuskan. Menunggu hasil penyidikan tersebut.
Jika mereka akhirnya ditetapkan sebagai tersangka, belum tentu juga mereka bersalah. Bisa jadi apa yang mereka jelaskan tentang sebab mereka menembak mati empat orang itu di dalam mobil di dalam perjalanan ke Polda Metro Jaya itu karena keempat orang itu mencoba merebut senjata, adalah benar. Hanya mereka memang tidak bisa atau belum bisa membuktikannya.
Seandainya itu benar, ada terjadi upaya perebutan senjata di dalam mobil, maka bisa saja dibenarkan polisi melakukan tindakan tegas berupa menembak keempat orang itu. Perhitungan untuk mengambil keputusan dalam kondisi seperti itu hanya dalam hitungan detik. Salah mengambil keputusan bisa jadi ketiga polisi itu yang menjadi korban.
Tetapi, itu hanya sebuah hipotesa.
Kebenarannya akan dibuktikan di pengadilan kelak.
**
Penjelasan Mahfud MD tentang syarat suatu tindak pidana pembunuhan tergolong kejahatan HAM berat harus memenuhi tiga unsur utama, yaitu terstrukur, sistematis, dan masigf tersebut di atas, Â merujuk pada Pasal 7 dan 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 itu.
Pasal 7: Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi: a. kejahatan genosida; b. kejahatan terhadap kemanusiaan.
Untuk memenuhi syarat suatu kejahatan terhadap kemanusiaan tergolong kejahatan HAM berat maka perbuatan tersebut harus memenuhi unsur yang disebut pada Pasal 9, yaitu: Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; .... j. kejahatan apartheid.
**
Dari deretan fakta-fakta tersebut di atas, maka sesungguhnya Presiden Jokowi tidak perlu menemui Amien Rais dan kawan-kawannya itu. Jokowi juga pasti menyadari hal itu, bahwa ia sebenarnya tidak perlu memenuhi kehendak Amien Rais dan kawan-kawannya yang terus memaksa untuk bertemu dan berdialog mengenai hal yang sebetulnya sudah dan sedang ditangani oleh pihak-pihak berkompeten (Komnas HAM dan Polri).
Tetapi adalah hanya berkat kemurahan hati seorang Jokowi-lah maka ia pun "mengalah" dengan bersedia bertemu dengan Amien Rais dan kawan-kawannya itu. Padahal selama ini, di hampir setiap kesempatan Amien Rais selalu me-ngata-ngatai Jokowi dengan kalimat-kalimat tidak pantas, melecehkan dan me-nyinyir Jokowi.  Toh, Jokowi bersedia bertemu, dan pada pertemuan itu Jokowi tetap memberi rasa hormatnya kepadanya.
Meskipun Komnas HAM telah menjelaskan tentang temuan-temuan, kesimpulan dan rekomendasi mereka yang semuanya sesuai dengan Undang-Undang  Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Polri sedang menjalankan rekomendasi-rekomendasi Komnas HAM, dan dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan pada 9 Maret itu, Jokowi, dan juga Mahfud MD kembali menjelaskan hal tersebut, TP3 tetap saja ngotot bahwa kasus tewasnya enam laskar FPI itu merupakan kejahatan HAM berat. Mereka tetap menghendaki dibentuknya pengadilan HAM untuk mengadili ketiga polisi tersebut.
Belum puas mereka berencana hendak ke DPR untuk mengadu hal serupa. Setelah sebelumnya bahkan mau melaporkankan kasus tersebut ke Mahkamah Internasional.
Kenapa mereka begitu bersikap bebal?
Ya, sikap TP3 itu lebih tepat disebut sebagai sikap bebal, dari sikap dari suatu keyakinan.
Jelas-jelas Undang-Undang Pengadilan HAM telah mensyaratkan bagaimana suatu kejahatan pembunuhan dapat digolongkan sebagai suatu kejahatan HAM berat, yaitu harus memenuhi unsur-unsur struktural, sistematis dan masif (Pasal 9 UU Pengadilan HAM).
Sedangkan kasus pembunuhan terhadap empat laskar FPI oleh polisi itu berdasarkan temuan Komnas HAM tidak memenuhi ketiga unsur tersebut, sehingga tergolong kejahatan pelanggaran HAM biasa, atau tindak pidana pembunuhan biasa, tetapi tetap saja mereka ngeyel harus digolongkan sebagai kejahatan HAM berat.
Kemungkinan sikap TP3 itu berangkat dari keinginan untuk memperburuk citra pemerintahan Presiden Jokowi yang memang begitu mereka benci sekaligus untuk membalas dendam kepada tiga polisi yang menembak mati enam laskar FPI itu.
Suatu pemerintahan jelas akan sangat tidak baik citranya di mata dunia jika terbukti telah melakukan pelanggaran HAM berat. Suatu hal yang sudah lama sangat diharapkan oleh Amien Rais, dkk.
Ancaman hukuman terhadap pelanggaran HAM berat berdasarkan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 adalah hukuman mati, hukuman penjara seumur hidup, hukuman penjara paling singkat 10 tahun, dan paling lama 25 tahun.
Sedangkan sesuai rekomendasi Komnas HAM, kasus pembunuhan terhadap empat orang laskar FPI itu bukan tindak pidana pelanggaran HAM berat, melainkan tindak pidana biasa yang diatur di KUHP. Pasal 338 KUHP tentang ancaman hukuman terhadap tindak pidana pembunuhan biasa adalah hukuman maksimal 15 tahun penjara, sedangkan hukuman minimalnya tidak diatur. Sehingga hakim bisa saja memvonis ringan pelaku pembunuhan biasa.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, Pengadilan HAM hanya akan dibentuk jika ada tindak pidana pelanggaran HAM berat. Jadi, pengadilan HAM hanya khusus untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat (Pasal 4). Bukan pelanggaran HAM ringan. Pelanggaran HAM ringan diatur di KUHP sebagai tindak pidana biasa, dan diadili di pengadilan negeri.
TP3 tentu tak sudi terima jika citra pemerintahan Presiden Jokowi tak  terpengaruh atas kasus tewasnya enam laskar FPI itu. Padahal mereka sudah berharap banyak dan optimis, momentum peristiwa itu akan menghancurkan reputasi dan citra Presiden Jokowi.
Mereka juga pasti kecewa jika kelak tiga polisi tersebut hanya diadili di pengadilan negeri dengan dakwan melakukan pembunuhan biasa, yang bisa jadi hanya divonis ringan. (dht).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H