Pada Selasa, 23 Februari lalu, Presiden Jokowi mengunjungi kabupaten Sikka, Maumere, Nusa Tenggara Timur (NTT), untuk meresmikan Bendungan Napun Gete. Bendungan tersebut menampung 11,22 juta kubik air, dengan luas genangan 99,78 hektare.
Bendungan Napun Gete yang dibangun sejak 2016-2021, dengan biaya Rp. 880 miliar itu akan digunakan untuk antara lain irigasi 300 hekatare sawah, dan pembangkit listrik tenaga air sebesar 0,1 Megawatt (100.000 Watt). Sebuah proyek yang luar biasa bagi penduduk Sikka, Â yang hanya 317.292 jiwa (sensus 2017).
Kota sekecil Sikka sebelumnya tidak pernah dikunjungi oleh seorang Presiden. Kedatangan Presiden Jokowi tentu merupakan suatu peristiwa langka luar biasa bagi mereka, apalagi diketahui penduduk Sikka sangat mencintai Jokowi.
Ketika konvoi mobil Presiden Jokowi dari bandara Frans Xavier Seda, Maumere menuju ke lokasi Bendungan, di sepanjang perjalanan di kedua sisi jalan masyarakat yang sudah beberapa jam sebelumnya menunggu kedatangan Jokowi, menyambutnya dengan sorak-sorai gembira sambil melambai-lambai tangannya.
Semakin lama masyarakat semakin tidak dapat membendung euforia penyambutan Presiden Jokowi itu. Meskipun sudah dibarikade petugas kepolisian dengan pagar betis, massa terus mendesak berusaha mendekati mobil yang membawa Presiden Jokowi. Ketika konvoi melambat karena banyaknya orang di kedua sisi jalan, massa menyeruak mendekati mobil yang membawa Jokowi. Polisi dan Paspampres tidak berdaya menghalanginya. Sebuah motor paspampres-pun sampai terjatuh tersenggol massa.
Konvoi mobil Presiden Jokowi itu tidak dapat meneruskan perjalanannya karena sudah "terkepung" kerumunan masyarakat yang berusaha mendekati mobil Jokowi. Konvoi mobil itu terpaksa berhenti. Kerumunan semakin mendekati mobil Jokowi. Paspampres dan petugas keamanan lainnya kewalahan.
Dalam situasi demikian, tidak mungkin konvoi memaksa perjalananya diteruskan tanpa kemungkinan mencelakai kerumunan. Polisi juga tidak mungkin membubarkan massa secara paksa.
Setelah konvoi terhenti beberapa saat, Jokowi memutuskan untuk menampak diri dengan keluar dari atap mobil, menyambut kerumunan rakyat yang mencintainya itu. Terlihat Jokowi beberapa kali memberi isyarat bahwa mereka seharusnya memakai masker.
Seperti biasa, ia pun tergerak hatinya untuk melemparkan beberapa bingkisan kepada kerumunan. Bingkisan itu berisi masker, buku, dan kaos.
Menampakkan dirinya dari atap mobil menyambut antusiasme masyarakat tersebut tentu dilakukan Jokowi setelah memikirkan sebaiknya apa yang dilakukan. Ia tahu bahwa masyarakat itu ingin sekali menemuinya, bersalamanan dengannya, atau minimal melihatnya langsung.
Jika situasi kerumunan itu dibiarkan begitu saja sampai kapankah mereka membubarkan diri? Bukankah semakin lama semakin tidak baik bagi kesehatan mereka di saat pandemi Covid-19 ini?
Cara Jokowi menghadapi kerumunan massa dengan pendekatan kekeluargaan seperti itu terbukti ampuh. Setelah merasa puas bisa melihat dari dekat dan mendapat sambutan Jokowi secara langsung itu, kerumuman massa itu pun berangsur-angsur menepi memberi jalan kepada konvoi Jokowi melanjutkan perjalanannya. Setelah konvoi itu berlalu, kerumunan pun membubarkan diri.
**
Para oposan Jokowi yang selalu mengintai untuk mencari-cari kesalahannya merasa menemukan apa yang mereka nantikan itu. Momen kerumunan warga Kabupaten Sikka, Maumere, menyambut Jokowi itu langsung mereka sambar untuk menyerang Jokowi, dengan menuduhnya telah melakukan pelanggaran protokol kesehatan yang diabuat sendiri: membuat kerumunan, dan kerumunan itu tidak memakai masker.
Mereka pun menyamakan peristiwa kerumunan Jokowi itu dengan kasus hukum Rizieq Shihab yang ditahan karena terjadinya kerumunan massa saat ia kembali dari Arab Saudi dan saat perayaan Maulid Nabi dan pesta pernikahan anaknya di Petamburan, Jakarta, November 2020 lalu. Dengan mendesak agar polisi segera bertindak dengan memproses hukum Jokowi. Ada pula yang melaporkan Jokowi ke polisi.
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman, mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk segera menindak tegas Presiden Jokowi.
Ia menantang Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo agar segera melakukan penindakan hukum kepada Presiden Jokowi.
"Presiden  (Jokowi) mau menguji Kapolri, mantan ajudannya, apakah punya nyali tidak untuk menegakkan hukum, ada nyali tidak untuk menindak secara hukum Presiden yang jelas-jelas kasat mata melanggar aturan prokes, aturan yang dibikin Presiden sendiri. Kapolri harus menindak presidennya, semua orang sama di depan hukum, equality before the law, " kata Benny, Rabu (24/2/2021).
Ketua DPP PKS Bukhori Yusuf menilai aksi Presiden Jokowi yang menyapa warga dan bagi-bagi bingkisan di NTT, hingga menimbulkan kerumunan justru menunjukkan pemerintah tak konsisten.
Bukhari mempersoalkan juga cara Jokowi membagi bingkisan dengan cara melemparkan ke kerumanan. Kata dia cara itu tidak beretika dan tidak beradab.
"Jika faktanya justru melempar-melempar sovenir, itu sama halnya tidak menghargai rakyat karena dalam etika ketimuran itu sangat tidak pas," katanya.
Benny K Harman dan Bukhori Yusuf, dan para oposan lainnya, hanya melihat yang kasat mata saja, dan hanya dari video yang berdurasi cuma 30 detik itu, tetapi berani mengambil kesimpulan dan menghakimi Jokowi seperti itu.
Seperti yang dikatakan Benny, mereka itu hanya melihat yang kasat mata dari video yang viral itu. Tidak mencari tahu lebih jauh lagi peristiwa apa sebenarnya yang terjadi di balik yang kasat mata itu, dan dengan obyektif menganalisanya.
Jika itu mereka lakukan dengan jujur, maka mereka akan sadar bahwa yang sesungguhnya yang terjadi tidak seperti yang hanya kasat mata itu saja. Tetapi sebagaimana saya ilustrasikan di atas.
Mengaitkan pemberian bingkasan Jokowi dengan terbentuknya kerumanan itu, merupakan suatu kesimpulan yang keliru. Kerumanan itu terjadi bukan karena Jokowi membagi-bagikan bingkisan, tidak juga bertambah banyak karenanya. Kerumunan sudah terbentuk beberapa jam sebelum Jokowi tiba di situ. Ada tidak ada bingkisan tetap sebegitu banyaklah kerumunan itu. Pemberian bingkisan itu juga tidak banyak, hanya sekitar tiga-lima kali Jokowi terlihat membagikan.
Mempermasalahkan cara Jokowi membagi-bagikan bingkisan dengan cara melemparkannya ke kerumunan dengan tuduhan tidak beretika dan beradab jelas merupakan tuduhan yang berlebihan dari upaya mencari-cari kesalahan Jokowi.
Membagi bingkisan kepada kerumunan dengan cara melemparkannya ke arah kerumunan merupakan suatu hal yang lazim, tidak ada kaitannya dengan etika atau peradaban. Karena dengan cara itu bingkisan yang terbatas jumlahnya dibagikan secara acak, karena tidak mungkin membagikannya satu persatu.
**
Entah apa kaitannya dengan tupoksi MUI, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas ikut-ikutan menghakimi Jokowi. Melalui pernyataan tertulisnya yang dibagikan kepada media, ia mempersamakan kasus kerumunan Jokowi itu dengan kasus hukum Rizieq Shihab yang ditahan dan diproses hukum karena kerumunan saat melakukan beberapa kegiatan di Jakarta dan Megamendung, Bogor, 13-14 November 2020 lalu.
Ia mendesak polisi bertindak adil dengan juga memproses hukum Jokowi. Ia mengatakan, karena Rizieq Shihab ditahan, maka seharusnya Presiden Jokowi juga ditahan, tetapi karena dia Presiden, tentu negara akan kacau jika seorang Presiden sampai ditahan. Oleh karena itu, ia mengusulkan supaya adil, Jokowi dan Rizieq dikenakan hukuman membayar denda saja, tidak perlu ditahan, dan kasus selesai. Rizieq dibebaskan.
Pernyataan Anwar Abbas yang di luar tupoksi MUI tersebut langsung mendapat klarifikasi dari Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Infokom KH Masduki Baidlowi
Masduki mengklarifikasi dengan mengatakan bahwa pernyataan Anwas Abbas tersebut tidak mewakili MUI, bukan pernyataan resmi MUI, melainkan hanya merupakan pernyataan dan pendapat pribadi Anwar Abbas. Ia juga menyatakan bahwa kerumunan Jokowi itu tidak bisa diperbandingkan (karena memang tidak sama).
"Pemberitaan terkait pernyataan Bapak Anwar Abbas itu bukanlah pernyataan sikap resmi MUI. MUI tidak memberikan pernyataan sikap apa pun terhadap kunjungan Presiden Jokowi ke NTT," kata KH Masduki Baidlowi, Sabtu (27/2/2021).
Pada hari yang sama dengan peristiwa itu, pihak Istana Negara melalui Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden, Bey Machmudin, sudah memberi penjelasannya. Pada intinya dia mengatakan bahwa peristiwa kerumunan itu merupakan spontanitas masyarakat Maumere yang sangat antusias ingin melihat dan menyapa Presiden Jokowi secara langsung.  Tidak dapat dicegah. Pembagian bingkisan merupakan apresiasi Jokowi kepada masyarakat yang rela berdesak-desakan hanya untuk melihatnya dari dekat.
Pada 25 Februari 2021 Koalisi Masyarakat Anti Ketidakadilan melaporkan Jokowi ke Bareskrim Polri dengan tuduhan telah melakukan pelanggaran protokol kesehatan pencegahan penyebaran Covid-19 saat melakukan kunjungan kenegaraan ke kabupaten Sikka, Maumere, NTT, pada 23 Februari 2021 itu.
Tetapi mereka kemudian kecewa, karena polisi tidak menindaklanjuti pelaporan mereka tersebut, dengan alasan bahwa polisi tidak menemukan adanya pelanggaran hukum pada peristiwa kerumunan Jokowi tersebut.
Pernyataan KH Masduki Baidlowi, Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden, Bey Machmudin, dan keputusan polisi tidak menindaklanjuti pelaporan terhadap Jokowi oleh Koalisi Masyarakat Anti Ketidakadilan merupakan fakta yang sebenarnya.
Uraiannya yang jelaskan berikut ini.
**
Sesungguhnya memang tidak ada pelanggaran hukum apapun yang dilakukan oleh Presiden Jokowi pada kasus kerumunan di Sikka, Maumere, NTT itu. Peristiwa itu juga tidak bisa disamakan dengan kasus hukum kerumunan Rizieq Shihab yang membuat ia ditangkap dan ditahan, Â dan selanjutnya dalam proses hukum ke persidangan.
Memang ada kemiripan kerumunan Jokowi di Sikka, Maumere, dengan kerumunan Rizieq Shihab di Bandara Soekarna-Hatta (Soetta) dan sekitarnya.  Ketika  ia disambut oleh massa pendukungnya saat kembali dari Arab Saudi pada 10 November 2020.
Namun, seperti juga peristiwa kerumunan Jokowi di Maumere, NTT itu, Â kerumunan Rizieq di Bandara Soekarno-Hatta dan sekitarnya itu juga tidak dipersoalkan polisi. Karena polisi menilai bahwa peristiwa tersebut bukan pelanggaran protokol kesehatan, karena terjadi secara spontan atas inisiatif dan antusiasme massa pendukung Rizieq.
Bahkan Pemerintah dalam hal ini pihak Angkasa Pura tidak mempersoalkan fasilitas bandara yang rusak akibat dari membludaknya massa pendukung Rizieq di Terminal 3 bandara tersebut.
Yang membuat Rizieq Shihab dijadikan tersangka dan ditahan polisi adalah kasus kerumunan yang terjadi sesudahnya, yaitu kerumunan di acara Megamendung, Bogor, pada 13 November 2020, dan kerumunan di acara pernikahan anak Rizieq Shihab pada 14 November 2020, di Petamburan dan sekitarnya.
Polisi menetapkan Rizieq sebagai tersangka karena selain saksi-saksi yang telah diperiksa, polisi juga memiliki bukti kuat berupa video dari akun YouTube Front (FPI) TV yang berisi Rizieq mengundang semua pendukungnya untuk menghadiri acara pernikahan anaknya yang dirayakan bersamaan dengan perayaan Maulid Nabi, pada 14 November 2020.
Demikian juga dengan kasus kerumunan di acara FPI di Megamendung, Bogor. Berdasarkan kesaksian beberapa orang saksi dari pengurus FPI dan pejabat Pemerintah Kabupaten Bogor dan Pemprov Jawa Barat, polisi berkesimpulan penanggung jawab tunggal kerumunan di Megamendung itu adalah Rizieq Shihab. Pada waktu itu diadakan acara peletakan batu pertama Markaz Syariah Pesantren Alam Agrokultural di Megamendung, yang diisi dengan ceramahnya.
Rizieq Shihab telah mengajukan gugatan Praperadilan terhadap penetapan dia sebagai tersangka dalam dua kasus kerumunan tersebut. Gugatan itu pun sudah diputus oleh Hakim tunggal dalam sidang Praperadilan pada 12 Januari 2021, dengan keputusan menolak gugatan Rizieq Shihab, dan menyatakan status tersangka dan penahanannya oleh polisi itu sah.
Jadi, kelihatan sekali perbedaan antara peristiwa kerumunan Jokowi di Sikka, Maumere, NTT dengan dua kasus hukum kerumunan Rizieq Shihab itu.
Pada kasus hukum Rizieq Shihab terbukti ia yang menyebabkan terjadinya kerumunan di Megamendung, Bogor, karena mengadakan acara peletakan batu pertama peresmian Markaz Syariah Pesantren Alam Agrokultural yang diisi dengan ceramahnya yang menyebabkan terjadinya kerumunan.
Demikain pula kerumunan di acara pernikahan anaknya di Petamburan, Jakarta, pada 14 November 2020, yang dihadiri sekitar 10.000 orang. Rizieq-lah melalui kanal Front TV milik FPI di YouTube mengajak (mengundang) para pengikutnya untuk menghadiri acara tersebut.
Berbeda dengan peristiwa kerumunan Jokowi. Kerumunan itu terjadi karena masyarakat setempat dengan penuh antusias karena kecintaannya terhadap Jokowi secara spontan beramai-ramai menyambut kedatangan Jokowi sehingga menciptakan kerumunan. Bukan karena diundang Jokowi.
Jokowi menampakkan dirinya dari atap mobil menyambut kerumunan tersebut karena konvoi mobil kepresidenan itu "terkepung" kerumunan, sehingga tak bisa melanjutkan perjalanannya ke proyek Bendungan Napun Gete yang hendak diresmikan Jokowi.
Itu adalah cara Jokowi mengapresiasi masyarakat setempat yang rela berlama-lama menunggu untuk menyambutnya agar bisa menyapanya langsung. Dengan demikian kehendak mereka melihat dan menyambut langsung Jokowi terpenuhi. Setelah puas mereka membubarkan diri secara spontan pula.
Jokowi tahu bahwa kerumunan tersebut seharusnya tidak boleh terjadi, apalagi mereka tidak mengenakan masker. Itu melanggar protokol kesehatan pencegahan penularan Covid-19. Olah kerena itu ia juga sempat memberi isyarat agar jangan lupa menggunakan masker. Â Tetapi kerumunan yang spontan itu telah terjadi, tak mungkin pula segera bisa dibubarkan. Oleh karena itu ia menghadapinya dengan cara demikian sekaligus solusi untuk menguraikan kembali kerumunan tersebut.
Pembagian bingkisan oleh Jokowi yang hanya beberapa itu pun tak bisa dikaitkan apalagi dituduh sebagai penyebab terjadinya atau bertambah banyaknya kerumunan. Kerumunan sudah terjadi dan tidak bertambah banyak dengan pembagian bingkisan tersebut.
Jika mau dicari siapa yang patut disalahkan, maka yang seharusnya disalahkan adalah pihak (panitia) Pemerintah Daerah Sikka, Maumere serta protokoler Kepresidenan. Karena seharusnya karena tugasnya merekalah yang melakukan tindakan-tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kerumunan seperti itu. Bukan Jokowi yang adalah tamu di daerah tersebut.
Jokowi tidak mengundang, tidak mengajak masyarakat untuk menyambutnya.
Kejadian kerumunan di Maumere itu pasti dijadikan bahan evaluasi Pemda Maumere, dan protokoler Kepresidenan, agar tidak akan terulang lagi. Pemda-Pemda di daerah lain juga harus menjadikan peristiwa kerumunan Jokowi itu sebagai pembelajaran agar kelak tidak terulang lagi seandainya daerahnya dikunjungi Presiden saat masih ada Pandemi Covid-19.Â
Presiden Jokowi juga perlu mengevaluasi untuk kunjungan-kunjungan kenegaraan berikutnya di daerah-daerah lain yang mungkin sudah diagendakan. Apakah kunjungan itu memang harus tetap diadakan di saat pandemi Covid-19 ? kalau, ya, bagaimana seharusnya langkah-langkah preventif yang harus dilakukan, bekerja sama dengan pemda setempat dan prokoler Kepresidenan agar kasus kerumunan seperti di Sikka, Maumere, NTT, itu tidak terjadi lagi. (dht).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H