Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

PTPN VIII Vs Rizieq Shihab

27 Desember 2020   18:33 Diperbarui: 27 Desember 2020   18:53 1665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah milik Rizieq Shihab di Megamendung, Bogor, Jawa Barat (Istimewa/detik.com)

Kasus-kasus hukum seolah-olah mengantri membebani Pimpinan  Front Pembela Islam (FPI) Muhammad Rizieq Shihab. Belum tuntas kasus dugaan tindak pidana penghasutan terkait kerumunan, dan beberapa kasus pidana lainnya, terbaru, ia harus siap menghadapi kasus hukum dugaan penguasaan dan penggunaan lahan milik orang lain tanpa hak (illegal), yang mengancamnya dengan ancaman hukuman pidana, maupun perdata.

Tanah yang dikuasai tanpa hak oleh Rizieq Shihab tersebut terletak di Desa Kuta, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang sertifikat HGU-nya dimiliki oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII sebagai miliknya berdasarkan sertifikat HGU Nomor 299 tanggal 4 Juli 2008.

Rizieq Shihab menguasai tanah tersebut sejak 2013, dan pada 2017 telah didirikan olehnya Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah miliknya.

PTPN VIII dengan suratnya tertanggal 18 Desember 2020 telah mengirim somasi pertama dan terakhir kepada Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah agar dalam tempo tujuh hari kerja mengosongkan lahan seluas +/- 30,91 hekatre yang dikuasainya secara fisik tanpa izin dan tanpa persetujuan dari PTPN VIII tersebut.

Di dalam surat somasinya itu pihak PTPN VIII menyebutkan bahwa tindakan penguasaan secara fisik  tanah tersebut merupakan tindak pidana penggelapan hak atas barang tidak bergerak, larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya, dan atau pemindahan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 385 KUHP, Perpu No 51 Tahun 1960 dan pasal 480 KUHP.

Jika dalam tempo batas waktu tersebut pihak Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah belum juga melakukan pengosongan, maka PTPN VIII akan melaporkannya ke Polda Jawa Barat.

Pasal 385 KUHP mengenai kejahatan Stellionaat, yaitu kejahatan penggelapan terhadap harta tak bergerak milik orang lain, seperti tanah, gedung, kebun, sawah, dan lain-lain.

Intinya pasal itu mengancam hukuman pidana penjara selama-lamanya empat tahun terhadap barangsiapa dengan sengaja menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, menjadikan sebagai tanggungan utang, menggunakan lahan atau properti milik orang lain dengan maksud untuk mencari keuntungan pribadi atau  orang lain secara tidak sah atau melawan hukum yang berlaku.

Undang-Undang Nomor 51/Prp/Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya, mengatur tentang penguasaan, pendudukan, dan pemakaian tanah milik orang lain secara melawan hukum dalam arti lebih luas. Perpu ini juga mengatur ancaman hukuman penjara terhadap pejabat negara yang membantu pelaku penyerobotan, penguasaan, dan pemakaian tanah secara illegal.

Pasal 480 KUHP tentang tindak kejahatan penadahan yang diancam dengan hukuman selama-lamanya empat tahun penjara. Dalam konteks ini pihak Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah dan Rizieq Shihab dapat digugat sebagai pelaku kejahatan penadahan, yaitu memperoleh/membeli lahan dari pihak penyerobot tanah HGU milik PTPN VIII.

Majalah Tempo edisi 6 Februari 2017 pernah menulis laporannya tentang kasus tersebut.

Tanah di Afdeling Cikopo Selatanan Perkebunan Gunung Mas, Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat itu, memang hak atas tanahnya (HGU) dimiliki PTPN VIII. Luas keseluruhannya adalah 1.263 hektare, tetapi pada 1998, saat terjadinya eforia politik reformasi masyarakat sekitar melakukan penyerobotan, penguasaan, dan penggarapan lahan tersebut seluas seluruhnya 352 hektare. Tetapi menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN) seluruh lahan tersebut masih atas nama PT Perkebunan Nusantara VIII Gunung Mas berdasarkan sertifikat HGU yang telah diperpanjang dengan  Nomor 299, tanggal 4 Juli 2008.

Di antara mereka yang melakukan penyerobotan dan penggarapan lahan pada 1998 tersebut ada warga bernama Beni. Dari Beni inilah Rizieq Shihab diketahui melakukan pengalihan tanah garapan/membeli lahan tersebut pada 2013, lalu membangun sejumlah bangunan untuk pondok pesantren miliknya, Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah.

Atas tuduhan penggunaan tanah secara melawan hukum tersebut, Rizieq Shihab membantahnya.

Di kanal You Tube Suara Rakyat Channel Official milik FPI, yang diunggah pada 13 November 2020, saat Rizieq bertandang ke Mega Mendung ia membela diri di hadapan para santrinya.

Ia mengatakan rakyat (ia) tidak melakukan perampasan tanah, tetapi membelinya dari warga penggarap tanah.

"Rakyat tidak merampas. Ini saya beli, saudara, dengan uang saya, uang keluarga saya, bahkan ada uang titipan umat. Semua ini wakaf untuk umat," katanya.

Namun demikian, ia bilang, tidak keberatan apabila harus melepaskannya kembali kepada negara (PTPN VIII), tetapi ia harus diberi ganti rugi yang setimpal agar ia bisa membangun pesantrennya di tempat lain.

"Silakan pemerintah mengambilnya kalau merasa dibutuhkan oleh negara silakan diambil. Tapi tolong kembalikan semua uang yang sudah dikeluarkan para umat. Supaya uang itu bisa kita buat membangun di tempat lain. Bukan seenaknya rampas-rampas saja. Betul?" serunya.

"Betul," sahut para santri.

"Diam atau lawan?!"

"Lawan!"

Padahal faktanya yang seenaknya iitu pihaknya, sudah menggunakan tanah milik pihak lain secara illegal masih merasa tidak bersalah, ketika pemilik sahnya meminta kembali, malah menuntut ganti rugi.

Merespon somasi dari PTPN VIII Gunung Mas tersebut, pada 20 Desember 2020, dari sel tahanannya Rizieq Shihab kembali membuat sanggahan tertulisnya. Dia menyatakan bahwa tanah tersebut benar milik PTPN VIII, tetapi karena telah diterlantarkan, maka masyarakat sekitar telah menggarapnya, dan karena mereka telah menguasai tanah tersebut lebih dari 30 tahun, maka berdasarkan UUPA,  mereka berhak memperoleh hak atas tanah terlantar tersebut.  Dia kemudian membeli dari salah satu warga yang menguasai tanah terlantar itu.

Dia menyebut, dokumen surat pembelian sudah ditandatangani dan sudah dilaporkan kepada institusi negara. Itu mulai dari RT, RW, lurah, kecamatan, bupati sampai gubernur.

"Jadi, kami tegaskan sekali lagi bahwa kami tidak merampas tanah PTPN VIII, tetapi kami membeli dari para petani. Dalam Undang-undang HGU tahun 1960 itu kan disebutkan bahwa sertifikat tidak bisa diperpanjang atau dibatalkan jika lahan itu ditelantarkan oleh pemilik HGU, dalam hal ini PTPN VIII," kata Rizieq dalam sanggahan tertulisnya itu seperti dikutip Kompas.com.

Sanggahan Rizieq dipertegaskan lagi oleh kuasa hukumnya Aziz Yanuar, katanya (24/12/2020), "Benar sertifikat HGU-nya atas nama PTPN VIII, dalam Undang-Undang Agraria tahun 1960 disebutkan bahwa jika suatu lahan kosong digarap oleh masyarakat lebih dari 20 tahun maka masyarakat berhak untuk membuat sertifikat tanah yang digarap dan masyarakat Megamendung itu sendiri sudah 30 tahun lebih menggarap tanah tersebut."

Apakah semua sanggahan Rizieq Shihab dan Kuasa Hukumnya tersebut dapat dibenarkan secara hukum?

Alasan utama Rizieq membenarkan pihaknya menguasai tanah milik PTPN VIII itu adalah karena tanah tersebut telah diterlantarkan PTPN VIII, dan masyarakat telah menggarapnya lebih dari 30 tahun, oleh karena itu PTPN VIII telah kehilangan HGU-nya, dan masyarakat yang menggarapnya menjadi yang berhak atas tanah tersebut, dengan alas hak itu ia merasa benar memperoleh tanah tersebut dari salah satu warga yang menggarap tanah tersebut.  

Faktanya, penyerobotan dan penggarapan tanah tersebut oleh masyarakat terjadi mulai pada 1998, saat euphoria reformasi dimulai dengan jatuhnya Presiden Soeharto. Rizieq membeli tanah itu dari warga pada 2013, artinya dari 1998 sampai 2013, barulah 15 tahun, bukan 30 tahun. Lebih pentingnya seandainya lahan tersebut benar telah diterlantarkan oleh PTPN VIII dan masyarakat telah menguasainya selama lebih dari 30 tahun, tetap saja, alasan tersebut tidak bisa dibenarkan.

Investigasi Majalah Tempo yang ditulis di majalah edisi 6 Februari 2017 menyebutkan bahwa Markaz Syariah Front Pembela Islam (FPI) pernah menyurati PTPN sebanyak tiga kali. Surat itu sehubungan dengan kepemilikan tanah di Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah FPI di Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Sebabnya karena ketika mereka hendak mengurus sertifikat tanahnya di BPN, BPN menolaknya karena sertifikat tanah itu masih atas nama PT Perkebunan Nusantara VIII Gunung Mas.

Markaz Syariah FPI pertama kali menyurati PTPN Nusantara VIII pada 21 Mei 2013 guna meminta hak guna lahan seluas 33 hektare dengan dalih corporate social responsibility (CSR). Markaz Syariah sampai meminta rekomendasi kepada Bupati Bogor dan Gubernur Jawa Barat untuk memperkuat permohonan tersebut.

Saat itu bupati Bogor dijabat oleh politikus dari PPP Rachmat Yasin, dan gubernur Jawa Barat dijabat oleh politikus PKS Ahmad Heryawan, atau yang biasa disapa Aher. Kedua pejabat tinggi itu mendukung Rizieq dengan membuat surat rekomendasi mereka kepada PTPN VIII agar mau melepaskan sebagian hak atas tanahnya tersebut untuk Rizieq.

Tetapi pihak PTPN tak menggubris surat Markaz Syariah maupun Bupati Bogor dan Gubernur Jawa Barat itu. "Bagi-bagi tanah untuk CSR itu tidak bisa," kata Eks Direktur Manajemen Aset PTPN VIII Gunara dikutip Majalah Tempo edisi 6 Februari 2017.

Markaz Syariah kembali menyurati PTPN VIII pada April 2014 dengan proposal baru. Persil yang diminta kali ini bukan lagi 33 hektare, melainkan 40 hektare. PTPN VIII juga tak merespons permintaan itu.

Markaz Syariah berkirim surat lagi untuk PTPN pada 1 April 2016. Mereka menginformasikan telah mengambil alih lahan garapan masyarakat seluas 50 hektare di Afdeling Cikopo Selatan.

Tak cuma itu, Markaz Syariah juga mengabarkan telah membangun pembangkit listrik 157 ribu watt untuk menerangi pesantren, mendirikan sejumlah bangunan di kompleks pesantren, dan mengaspal jalan sepanjang tujuh kilometer dengan lebar enam meter.

"Semua surat diteken oleh Rizieq Syibab selaku pengasuh pesantren," demikian bunyi berita Majalah Tempo.

Pada 2017 sudah mulai ada upaya PTPN VIII untuk membawa kasus tersebut kepada ranah hukum, baru pada 2020, tepatnya 18 Desember 2020 rencana tersebut dilaksnakan dengan mengirim surat somasi pertama dan terakhirnya itu kepada pihak Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah FPI, sebagaimana disebutkan di atas.

Dari laporan investigasi Tempo tersebut jelaslah bahwa sesungguhnya sedari awal pihak Markaz Syariah (Rizieq) tahu bahwa tanah yang mereka duduki itu secara hukum sepenuhnya milik PTPN VIII, yaitu dengan gagalnya mereka mengurus sertifikat tanahnya di BPN karena tanah tersebut jelas-jelas bersertifikat HGU atas nama PTPN VIII, bukan hak Beni warga penggarap tanah yang mereka beli darinya, meskipun katanya, ia sudah menguasai "tanah terlantar" tersebut lebih dari 30 tahun.

Tahu tanah tersebut bukan milik Beni, kenapa tetap saja membeli darinya? Jelas itu suatu kesalahan fatal.

Terbukti dengan mereka sampai tiga kali menyurati surat permohonan agar PTPN VIII mau merelakan sebagian tanahnya itu dilepasklan kepada mereka. Sampai menggunakan bekingan Bupati Bogor dan Gubernur Jawa Barat, tetapi semuanya kandas, hingga mencuatnya kasus tersebut ke publik sekarang.

Dengan demikian dapat dikatakan, mereka dengan sepenuhnya tahu dan sengaja menduduki dan menggunakan lahan milik PTPN VIII tersebut tanpa izin PTPN VIII atau kuasanya.

Dari fakta-fakta tersebut terkuak pula bahwa pihak Pondok Pesantren Alam Markaz Syariah tidak memiliki bukti pemilikan berupa  sertifikat hak atas tanah terhadap tanah yang mereka gunakan tersebut.

Laporan Majalah Tempo itu juga menyebutkan bahwa Markaz Syariah FPI juga tak mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB). Begitu pun pondok pesantren milik pimpinan FPI Rizieq Shihab itu tidak punya izin pendirian dari Kementerian Agama dan dinas pendidikan.

Jadi, mulai dari perolehan dan penggunaan lahannya illegal, bangunan-bangunan yang didirikan di atasnya tanpa IMB, dan tidak ada izin pendirian pondok pesantrean tersebut. Semuanya illegal.

Pernyataan Rizieq bahwa dokumen surat pembelian sudah ditandatangani dan sudah dilaporkan kepada institusi negara. Itu mulai dari ketua RT, ketua RW, lurah, camat, bupati sampai gubernur, sama sekali tidak mempunyak kekuatan hukum apapun, karena bukti pemilikan HGU hanya dapat dibuktikan secara sah adalah sertifikat HGU, yang dimiliki oleh PTPN VIII.

Sebaliknya, jika kelak terbukti membantu Rizieq menguasai dan menggunakan tanah tersebut secara ilegal, maka ketua RT, ketua RW, lurah, camat, bupati, sampai gubernur  pun dapat dipidana.

Berdasarkan Perpu Nomor 52/1960 pejabat Negara yang membantu penyerobotan, pendudukan, dan penggunaan tanah secara illegal tersebut diancam dengan pidana selama-lamanya tiga bulan penjara. Selain itu ada juga Pasal 424 KUHP yang mengancam pejabat Negara yang sama dengan hukuman selama-lamanya enam tahun penjara.

**

Sedangkan mengenai hilangnya hak atas tanah karena diterlantarkan, dan karenanya jika masyarakat menduduki dan menggarapnya sampai lebih dari tiga puluh tahun, maka mereka berhak atas tanah tersebut, berhak memperoleh sertifikat hak atas tanah yang mereka garap itu, sebagaimana dikatakan Rizieq Shihab. Secara hukum tidak benar demikian.

Memang benar menurut UUPA salah satu penyebab suatu pihak kehilangan hak atas tanahnya, khususnya dalam konteks ini adalah HGU, adalah jika tanah tersebut diterlantarkan.

Pasal 34 UUPA:  Hak Guna Usaha hapus karena, a. jangka waktunya berakhir; b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak terpenuhi; c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; d. dicabut untuk kepentingan umum; e. diterlantarkan; f. tanahnya musnah; g. ketentuan dalam pasal 30 ayat (2).

Namun demikian, jika ada tanah yang diterlantarkan, tidak otomatis langsung si pemegang hak atas tanahnya kehilangan HGU-nya, apalagi jika ada masyarakat yang mendudukinya berhak atas tanah itu. Semuanya harus melalaui tahapan prosedur sesuai dengan hukum yang berlaku, yaitu harus berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

Menurut PP Nomor 11 Tahun 2010 itu:

Obyek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya (Pasal 2).

Tidak termasuk obyek penertiban tanah terlantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah: a.tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya; b. tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dan sudah berstatus maupun belum berstatus Barang Milik Negara/Daerah yang tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya (Pasal 3).

Selanjutnya, Kepala kantor Wilayah BPN setempat menyiapkan data tanah yang terindikasi diterlantarkan. Data tersebut digunakan untuk mengidentifikasi dan penelitian apakah tanah tersebut benar diterlantarkan.

Identifikasi dan penelitian tersebut dilaksanakan oleh suatu Panitia, yang terdiri dari unsur BPN dan unsur instansi terkait yang diatur oleh Kepala BPN.

Dari hasil identifikasi dan penelitian tersebut, yang meliputi:  a. verifikasi data fisik dan data yuridis; b. mengecek buku tanah dan/atau warkah dan dokumen lainnya untuk mengetahui keberadaan pembebanan, termasuk data, rencana, dan tahapan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada saat pengajuan hak; c. meminta keterangan dari Pemegang Hak dan pihak lain yang terkait, dan Pemegang Hak dan pihak lain yang terkait tersebut harus memberi keterangan atau menyampaikan data yang diperlukan; d. melaksanakan pemeriksaan fisik; e. melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada peta pertanahan; f. membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar; g. menyusun laporan hasil identifikasi dan penelitian; h. melaksanakan sidang Panitia; dan i. membuat Berita Acara.

Panitia menyampaikan laporan hasil identifikasi, penelitian, dan Berita Acara tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah BPN setempat.

Apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian disimpulkan terdapat tanah terlantar, maka Kepala Kantor Wilayah BPN setempat memberitahukan dan sekaligus memberikan peringatan tertulis pertama kepada Pemegang Hak, agar dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterbitkannya surat peringatan, menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya atau sesuai izin/keputusan/surat sebagai dasar penguasaannya.

Apabila Pemegang Hak tidak melaksanakan peringatan pertama tersebut, Kepala Kantor Wilayah BPN setempat memberikan peringatan tertulis kedua dengan jangka waktu yang sama dengan peringatan pertama.

Apabila Pemegang Hak tidak melaksanakan peringatan kedua itu, Kepala Kantor Wilayah BPN setempat memberikan peringatan tertulis ketiga dengan jangka waktu yang sama dengan peringatan pertama.

Setiap peringatan dilaporkan oleh Kepala Kantor Wilayah kepada Kepala BPN.

Jika tanah terlantar tersebut dibebani dengan Hak Tanggungan, maka surat peringatan tersebut diberitahukan juga kepada pemegang Hak Tanggungan.

Apabila Pemegang Hak tetap tidak melaksanakan peringatan sampai dengan peringatan ketiga, Kepala Kantor Wilayah setempat mengusulkan kepada Kepala BPN untuk menetapkan tanah yang bersangkutan sebagai tanah terlantar.

Dalam hal Kepala BPN menetapkan suatu tanah hak, yaitu Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Guna Usaha (HGU) merupakan tanah diterlantarkan, maka dalam penetapan tersebut sekaligus juga menetapkan hapusnya hak atas tanah dan sekaligus memutuskan hubungan hukum pemegang hak dengan tanah tersebut, serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.

Dari ulasan tersebut di atas jelaslah bahwa jika suatu tanah terindikasi diterlantarkan oleh pemegang haknya dalam jangka waktu tertentu, tidak otomatis tanah tersebut secara hukum merupakan tanah terlantar, tetapi harus melalui beberapa tahapan dan proses hukum oleh Kepala Wilayah Badan Pertanahan setempat dan Kepala BPN sebelum ditetapkan sebagai tanah terlantar. Jika telah ditetapkan sebagai tanah terlantar, maka hilanglah hak dan hubungan hukum antara pemegang hak dengan tanahnya itu, dan tanah tersebut kembali dikuasai oleh negara.

Tanah yang telah dikuasai kembali oleh Negara itu dapat diminta hak atas tanahnya oleh pemegang hak itu atau pihak lain.  

 **

Secara tersirat dalam pernyataan tersebut di atas Rizieq Shihab mengakui bahwa pihaknya memang bersalah karena telah menguasai dan menggunakan lahan PTPN VIII itu secara ilegal, tetapi konyolnya mereka malah menyatakan bersedia keluar dari sana dan menyerahkan kembali tanah itu kepada PTPN VIII asalkan diberi ganti rugi atas semua pengeluaran yang telah dilakukan untuk memperoleh lahan itu dan membangunnya.

Bagaimana bisa tuntutan ganti rugi itu dipenuhi padahal perolehan tanahnya itu ilegal, tanpa izin pemilknya atau kuasanya, semua pembangunan di atas lahan tersebut juga illegal.

Sebaliknya, pihak PTPN VIII sebagai pemegang hak atas tanah (HGU) yang sah-lah yang berhak menuntut ganti rugi secara perdata, karena mereka tidak dapat memanfaatkan tanah mereka, dan jika sudah diserahkan kembali kepada mereka dan hendak dimanfaatkan harus membongkar lagi bangunan-bangunan yang sudah terlanjur dibangun di atasnya itu.

Secara Hukum Perdata, oleh pemilik hak terhadap orang yang melakukan penyerobotan, penguasaan, dan penggunaan tanah tanpa hak, tanpa seizin pemiliknya atau kuasanya, dapat digugat ganti rugi karena telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi:

Tiap perbuatan melanggar okum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

**

Selaku pemilik sah HGU atas tanah di Megamendung tersebut, PTPN VIII mempunyai hak untuk menyampaikan somasi, melaporkan ke polisi untuk kasus pidananya, maupun menggugat ganti rugi secara perdata kepada pihak Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah yang sampai sekarang masih  menguasai secara fisik dan illegal tanahnya itu.

PTPN VIII juga bisa saja melaporkan ke polisi dan menggugat secara perdata warga yang menjual tanahnya itu kepada Rizieq. Itu merupakan haknya. Tetapi yang paling substansial tentu saja kepada pihak Pondok Pesantren, karena merekalah yang saat ini secara melawan hukum menguasai dan menggunakan tanah tersebut secara melawan hukum. (dht).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun