Setiap peringatan dilaporkan oleh Kepala Kantor Wilayah kepada Kepala BPN.
Jika tanah terlantar tersebut dibebani dengan Hak Tanggungan, maka surat peringatan tersebut diberitahukan juga kepada pemegang Hak Tanggungan.
Apabila Pemegang Hak tetap tidak melaksanakan peringatan sampai dengan peringatan ketiga, Kepala Kantor Wilayah setempat mengusulkan kepada Kepala BPN untuk menetapkan tanah yang bersangkutan sebagai tanah terlantar.
Dalam hal Kepala BPN menetapkan suatu tanah hak, yaitu Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Guna Usaha (HGU) merupakan tanah diterlantarkan, maka dalam penetapan tersebut sekaligus juga menetapkan hapusnya hak atas tanah dan sekaligus memutuskan hubungan hukum pemegang hak dengan tanah tersebut, serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
Dari ulasan tersebut di atas jelaslah bahwa jika suatu tanah terindikasi diterlantarkan oleh pemegang haknya dalam jangka waktu tertentu, tidak otomatis tanah tersebut secara hukum merupakan tanah terlantar, tetapi harus melalui beberapa tahapan dan proses hukum oleh Kepala Wilayah Badan Pertanahan setempat dan Kepala BPN sebelum ditetapkan sebagai tanah terlantar. Jika telah ditetapkan sebagai tanah terlantar, maka hilanglah hak dan hubungan hukum antara pemegang hak dengan tanahnya itu, dan tanah tersebut kembali dikuasai oleh negara.
Tanah yang telah dikuasai kembali oleh Negara itu dapat diminta hak atas tanahnya oleh pemegang hak itu atau pihak lain. Â
 **
Secara tersirat dalam pernyataan tersebut di atas Rizieq Shihab mengakui bahwa pihaknya memang bersalah karena telah menguasai dan menggunakan lahan PTPN VIII itu secara ilegal, tetapi konyolnya mereka malah menyatakan bersedia keluar dari sana dan menyerahkan kembali tanah itu kepada PTPN VIII asalkan diberi ganti rugi atas semua pengeluaran yang telah dilakukan untuk memperoleh lahan itu dan membangunnya.
Bagaimana bisa tuntutan ganti rugi itu dipenuhi padahal perolehan tanahnya itu ilegal, tanpa izin pemilknya atau kuasanya, semua pembangunan di atas lahan tersebut juga illegal.
Sebaliknya, pihak PTPN VIII sebagai pemegang hak atas tanah (HGU) yang sah-lah yang berhak menuntut ganti rugi secara perdata, karena mereka tidak dapat memanfaatkan tanah mereka, dan jika sudah diserahkan kembali kepada mereka dan hendak dimanfaatkan harus membongkar lagi bangunan-bangunan yang sudah terlanjur dibangun di atasnya itu.
Secara Hukum Perdata, oleh pemilik hak terhadap orang yang melakukan penyerobotan, penguasaan, dan penggunaan tanah tanpa hak, tanpa seizin pemiliknya atau kuasanya, dapat digugat ganti rugi karena telah melakukan perbuatan melawan hukum.