"Lawan!"
Padahal faktanya yang seenaknya iitu pihaknya, sudah menggunakan tanah milik pihak lain secara illegal masih merasa tidak bersalah, ketika pemilik sahnya meminta kembali, malah menuntut ganti rugi.
Merespon somasi dari PTPN VIII Gunung Mas tersebut, pada 20 Desember 2020, dari sel tahanannya Rizieq Shihab kembali membuat sanggahan tertulisnya. Dia menyatakan bahwa tanah tersebut benar milik PTPN VIII, tetapi karena telah diterlantarkan, maka masyarakat sekitar telah menggarapnya, dan karena mereka telah menguasai tanah tersebut lebih dari 30 tahun, maka berdasarkan UUPA, Â mereka berhak memperoleh hak atas tanah terlantar tersebut. Â Dia kemudian membeli dari salah satu warga yang menguasai tanah terlantar itu.
Dia menyebut, dokumen surat pembelian sudah ditandatangani dan sudah dilaporkan kepada institusi negara. Itu mulai dari RT, RW, lurah, kecamatan, bupati sampai gubernur.
"Jadi, kami tegaskan sekali lagi bahwa kami tidak merampas tanah PTPN VIII, tetapi kami membeli dari para petani. Dalam Undang-undang HGU tahun 1960 itu kan disebutkan bahwa sertifikat tidak bisa diperpanjang atau dibatalkan jika lahan itu ditelantarkan oleh pemilik HGU, dalam hal ini PTPN VIII," kata Rizieq dalam sanggahan tertulisnya itu seperti dikutip Kompas.com.
Sanggahan Rizieq dipertegaskan lagi oleh kuasa hukumnya Aziz Yanuar, katanya (24/12/2020), "Benar sertifikat HGU-nya atas nama PTPN VIII, dalam Undang-Undang Agraria tahun 1960 disebutkan bahwa jika suatu lahan kosong digarap oleh masyarakat lebih dari 20 tahun maka masyarakat berhak untuk membuat sertifikat tanah yang digarap dan masyarakat Megamendung itu sendiri sudah 30 tahun lebih menggarap tanah tersebut."
Apakah semua sanggahan Rizieq Shihab dan Kuasa Hukumnya tersebut dapat dibenarkan secara hukum?
Alasan utama Rizieq membenarkan pihaknya menguasai tanah milik PTPN VIII itu adalah karena tanah tersebut telah diterlantarkan PTPN VIII, dan masyarakat telah menggarapnya lebih dari 30 tahun, oleh karena itu PTPN VIII telah kehilangan HGU-nya, dan masyarakat yang menggarapnya menjadi yang berhak atas tanah tersebut, dengan alas hak itu ia merasa benar memperoleh tanah tersebut dari salah satu warga yang menggarap tanah tersebut. Â
Faktanya, penyerobotan dan penggarapan tanah tersebut oleh masyarakat terjadi mulai pada 1998, saat euphoria reformasi dimulai dengan jatuhnya Presiden Soeharto. Rizieq membeli tanah itu dari warga pada 2013, artinya dari 1998 sampai 2013, barulah 15 tahun, bukan 30 tahun. Lebih pentingnya seandainya lahan tersebut benar telah diterlantarkan oleh PTPN VIII dan masyarakat telah menguasainya selama lebih dari 30 tahun, tetap saja, alasan tersebut tidak bisa dibenarkan.
Investigasi Majalah Tempo yang ditulis di majalah edisi 6 Februari 2017 menyebutkan bahwa Markaz Syariah Front Pembela Islam (FPI) pernah menyurati PTPN sebanyak tiga kali. Surat itu sehubungan dengan kepemilikan tanah di Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah FPI di Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Sebabnya karena ketika mereka hendak mengurus sertifikat tanahnya di BPN, BPN menolaknya karena sertifikat tanah itu masih atas nama PT Perkebunan Nusantara VIII Gunung Mas.