Kalau harus menunggu sampai ada perubahan Undang-Undang Pemilu yang memasukkan ketentuan tersebut, maka pasti yang diuntungkan adalah para mantan napi korupsi itu, dan yang dirugikan adalah rakyat banyak, Pemilu berkwalitas dan berintegritas pun ternoda, dan cita-cita terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik pun terancam.
Jika pun akan ada perubahan Undang-Undang Pemilu tentu tak mungkin bisa terjadi sebelum Pemilu 2019, karena memerlukan waktu yang panjang untuk pembahasannya sampai dengan pengesahannya, batas waktu pendaftaran bakal calon anggota legislatif itu saja sudah berakhir pada 17 Juli 2018 lalu.
**
Frasa "kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana" baru ditambahkan di Undang-Undang Pemilu 2017, yaitu pada Pasal 240 huruf g tersebut di atas, di Undang-Undang Pemilu sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, frasa tersebut tidak ada.
Pasal 51 huruf g UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu):
g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Penambahan frasa tersebut sengaja dibuat untuk melonggarkan syarat bagi bekas napi yang pernah dipenjara karena melanggar tindak pidana yang diancam dengan hukuman penjara 5 tahun atau lebih (khususnya korupsi), yaitu dibuka peluangnya lagi untuk bisa mencalonkan diri sebagai anggota legistif dengan cara melonggarkan ketentuan itu dengan syarat mengumumkan dirinya adalah mantan napi (korupsi).
Padahal syarat mengumumkan dirinya sebagai mantan napi itu sesungguhnya tidak efektif bagi para pemilih, terutama di daerah-daerah yang akses informasi dan akses internetnya masih kurang, ditambah lagi kebiasaan mayoritas masyarakat kita yang tidak terbiasa rajin membaca dan mencari informasi sendiri. Maka keberadaan mantan napi di antara para calon anggota legislatif itu sulit diketahui meskipun mereka telah mengumumkan status mereka itu.
Jika mau lebih efektif, seharusnya ketentuan wajib mengumumkan dirinya sebagai bekas napi itu diimplementasikan dengan cara pada foto diri dan data dirinya di pengumuman dan lembaran surat surat dicantumkan saja informasi tersebut, supaya saat mau mencoblos pemilih bisa langsung mengetahuinya.
Tetapi jauh lebih efektif dengan sejak dini menutup pintu kesempatan bagi mereka untuk menjadi anggota legislatif dengan cara seperti yang diterapkan oleh KPU itu.
Dengan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, maka wajar dan dapat diterima keputusan KPU yang membuat ketentuan tambahan syarat bagi bakal calon anggota legislatif di Pemilu 2019 mendatang. Tentu saja disertai harapan ketentuan ini kelak dimasukkan ke dalam Undang-Undang Pemilu yang baru, agar lebih menjamin kepastian hukum demi mencapai Pemilu yang semakin berkwalitas dengan integritasnya yang semakin tinggi.