Selasa kemarin (3/4/2018), aktivis yang juga salah satu pendukung utama Anies-Sandi, Ratna Sarumpaet marah-marah kepada petugas Dinas Perhubungan (Dishub) Pemprov DKI Jakarta, karena mobilnya yang diparkir di  Kawasan Taman Tebet, Jakarta Selatan, diderek petugas. Petugas Dinas Perhubungan DKI Jakarta itu menganggap mobil Ratna itu telah melanggar larangan parkir di kawasan tersebut, tetapi Ratna bersikeras dia tidak melanggar aturan, alasannya karena tidak ada rambu dilarang parkir di situ..
Meskipun dimarah-marah Ratna, para petugas Dishub DKI Jakarta itu tetap menjalankan tugasnya menderek mobil itu, karena mereka yakin mereka sedang menjalankan tugas sesuai dengan wewenangnya berdasarkan hukum yang berlaku.
Tidak terima diperlakukan sama di depan hukum, Ratna pun mengancam petugas Dishub DKI itu dengan menelepon Gubernur Anies Baswedan, tetapi, menurut Ratna,  yang menjawab teleponnya itu bukan Anies, tetapi  asistennya. Ratna pun menumpahkan kekesalannya kepada asisten Anies itu. Asisten itu pun berjanji kepada Ratna akan membantu dia mendapatkan kembali mobilnya (tanda sanksi).
Tak lama kemudian, Ratna mendapat telepon dari seorang petugas Dishub, Ratna dipersilakan mengambil mobilnya kembali, tetapi Ratna menolak, karena merasa tidak bersalah, ia meminta petugas Dishub itulah yang harus mengembalikan mobilnya itu ke rumahnya.
Tidak memerlukan waktu lama, petugas Dishub DKI Jakarta itu segera memenuhi permintaan Ratna, dengan mengantar mobil itu ke rumahnya.
Tidak cukup hanya mengantar kembali mobil itu, petugas Dishub  itu pun -- mungkin karena diperintahkan --  menyampaikan permintaan maaf mereka kepada Ratna.
Padahal, apa yang telah dilakukan para petugas Dishub DKI Jakarta terhadap mobil milik Ratna Sarumpaet itu sudah sesuai dengan hukum dan kewenangannya.
Mereka juga sudah menerapkan prinsip hukum bahwa semua orang sama di hadapan hukum, sehingga siapapun, jika melanggar hukum harus ditindak tegas, ironisnya justru pejabat di atasnya yang secara tak langsung memerintahkan mereka "mengabaikan hukum", dengan mengistimewakan warga yang bernama Ratna Sarumpaet itu, meskipun dia jelas-jelas sudah melakukan pelanggaran hukum. Bukan warga yang bernama Ratna Sarumpaet itu yang dididik supaya paham dan patut hukum, sebaliknya, justru petugas yang sudah lurus, yang disuruh bengkok.
Tidak hanya itu, petugas yang sudah bekerja sesuai dengan hukum itu pun diduga disuruh untuk meminta maaf kepada Ratna, oleh karena itu meskipun berada pada pihak yang benar, merekalah yang meminta maaf kepada warga yang telah melanggar hukum itu.
Siapakah pejabat di pemprov DKI Jakarta itu yang bisa memerintahkan petugas Dishub untuk mengembalikan mobil Ratna Sarumpaet yang sudah diderek kepada Ratna disertai permintaan maaf? Tak mungkin jika itu merupakan inisiatif semata dari petugas Dishub tersebut.
Anies telah membantah menerima telepon dan membantu Ratna terkait kasus ini, sedangkan menurut Ratna, asisten Anies yang menerima telepon darinya itu berjanji akan membantu Ratna supaya mobilnya bisa dikembalikan.
Faktanya, selang tidak berapa lama kemudian, petugas Dishub itu menelepon Ratna, mengatakan mobilnya boleh diambil kembali (tentu saja tanpa ada sanksi apapun), -- itu saja sudah menyalahi prosedur.
Ratna yang menjadi besar kepala, menolak "kebaikan hati" itu, meminta lebih, petugas Dinas Perhubungan itu yang harus mengantar mobilnya itu ke rumahnya. Lalu, permintaan Ratna itu pun juga dipenuhi, mobil diantar, bahkan disertai permintaan maaf.
Artinya, pasti ada perintah dari atas kepada petugas Dinas Perhubungan itu, dan yang memerintah itu pasti mempunyai pengaruh yang cukup kuat, yang sanggup membuat petugas Dinas Perhubungan itu "ketakutan", sehingga terpaksa mengalah sampai memenuhi semua permintaan Ratna Sarumpaet itu.
Siapakah dia? Apakah Anies melalui asistennya? Ataukah asisten itu sendiri, tetapi apakah dia punya pengaruh yang cukup untuk itu?
Yang pasti, peristiwa warga yang main ancam kepada petugas pemerintah di lapangan dengan menjual nama kepala daerah seperti pada kasus Ratna Sarumpaet itu hanya mungkin bisa efektif jika suasana kepimpinan sang kepala daerah membuka peluang (memungkinkan) untuk itu.
Peristiwa yang mirip dengan kasus mobil Ratna Sarumpaet yang diderek petugas Dishub DKI Jakarta itu belum lama ini juga terjadi, dan berakhir pula dengan perlakuan istimewa kepada warga yang bersangkutan, diduga  karena dia orangnya Anies-Sandi.
Peristiwa yang dimaksud adalah peristiwa yang terjadi pada 22 Maret 2018, di Jalan Pangeran Jayakarta, Jakarta Pusat.
Ketika itu mobil yang hendak diderek karena melanggar larangan parkir adalah milik Fajar Sidik, angggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Gerindra. Sama dengan Ratna, Fajar Sidik pun mengamuk kepada petugas Dinas Perhubungan itu karena merasa tidak melakukan pelanggaran itu. Jika Ratna menelepon Gubernur Anies Baswedan (yang diterima asistennya), maka Fajar Sidik menelepon Wakil Gubernur Sandiaga Uno. Â Â
Sandiaga mengaku, Fajar memang menelepon dia, mengadu mengenai mobilnya yang diderek petugas Dishub. Menurut Sandiaga, Fajar merasa tidak bersalah karena mobilnya diparkir di tempat yang tidak ada rambu larangannya. Tetapi, katanya, jika Fajar bersalah, dia tidak membela Fajar, sebaliknya akan mendukung anak buahnya kalau mereka bekerja benar. Hukum itu tidak memandang bulu, katanya.
"Pada intinya hukum itu tidak pandang bulu, tidak ada yang dikecualikan. Tajam ke bawah, tajam ke atas, tumpul ke bawah tumpul ke atas. Jadi kalau misalkan kita tajam kepada angkot, kita tajam juga kepada siapapun termasuk saya," kata Sandiaga ketika itu.
"Kalau teman Dishub sudah melakukan yang benar, saya dukung. Saya sampaikan pada dia 'sorry chiefini peraturan yang harus ditegakkan'. Ya itu kan ustad jadi dia harusnya juga memberikan contoh, ya. Ustad yang terkenal lagi," kata Sandi seolah-olah hukum telah ditegakkan sekalipun pelanggarnya yang mengadu kepadanya adalah anggota DPRD DKI Partai Gerindra.
Faktanya, menurut pengakuan Kepala Seksi Pengendalian dan Operasi Suku Dinas Perhubungan Jakarta Pusat Boval Juliansyah, mobil Fajar itu akhirnya tidak jadi diderek. Petugas hanya menderek mobil-mobil lain. Boval tidak menjawab jelas alasan petugasnya tidak menderek mobil Fajar. Yang pasti, itu setelah Fajar mengadu kepada Sandiaga.
Rupanya, hukum memang tidak memandang bulu, kecuali "bulu" orang-orang seperti Ratna Sarumpaet dan Fajar Sidik, yang nota-bene adalah orang-orangnya Anies-Sandiaga.
Jika kepala daerahnya punya wibawa yang tinggi, konsisten dan konsekuen dalam berprinsip dan bekerja, memberi contoh yang nyata kepada bawahannya, maka praktik main ancam seperti yang dilakukan oleh Ratna itu pasti tidak akan mempan bagi petugas pemerintah di lapangan.
Jika ada warga yang mau mengancam mereka dengan menjual nama kepala daerah, atau atasan lainnya, petugas itu pasti tidak akan gentar, ia akan mempersilakan warga itu melaporkan atasannya, karena ia yakin atasannya itu tidak akan menyalahkannya, malah mendukungnya, dan justru warga yang sudah salah tapi berani mengadu itu yang akan kena semprot atasannya.
Contoh kasusnya ada, saat gubernurnya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Sebagaimana yang pernah diutarakan oleh Pandji Pragiwaksono, pendukung Ahok yang kemudian berbalik menjadi pendukung Anies, di akun Twitter-nya (13/8/2015).
Bahwa petugas Dishub DKI Jakarta bercerita kepada dia, pernah petugas itu menderek mobil yang diparkir liar, ternyata mobil itu punya ketua RW-nya Ahok. Dia mengancam akan telepon Ahok. Tapi ancaman itu tak membuat gentar sedikitpun sang petugas, ia malah mempersilakan ketua RW itu menelepon Ahok:
"Telfon Pak Ahok aja, Pak. Paling bapak diomelin, orang ini juga saya disuruh Pak Ahok"! Si Ketua RW kaga jadi nelfon :)))
Ironisnya, tentang ketentuan ini Fajar Sidik yang adalah anggota DPRD pun wawasannya sama sempitnya dengan wawasan masyarakat awam.
Logika Ratna dan Fajar, jika di jalanan, atau lahan publik lainnya tidak ada rambu larangan parkir, maka boleh memarkirkan kendaraan bermotor di situ. Kalau tempat itu tidak boleh parkir, maka harus ada rambunya, yang berupa lambing "P coret" itu.
Padahal logikanya harus di balik, dan menurut ketentuan hukumnya memang demikian, yaitu hanya di badan jalan atau lahan publik lainnya yang ada rambu parkir-nya (huruf P putih dengan dasar biru), atau marka "P" di jalanan (yang biasa ditulis dengan cat di jalanan), kendaraan bermotor boleh parkir di situ. Jika tidak ada rambu, atau marka untuk parkir, Â maka semua kendaraan dilarang menggunakan tempat itu untuk parkir.
Kalau mengikuti logika/argumen Ratna dan Fajar tersebut di atas, yaitu semua lahan yang dilarang parkir harus diberi rambunya, maka akan banyak sekali rambu-rambu seperti itu di mana-mana. Di jalan-jalan raya/arteri seperti Jalan MH Thamrin, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Gatot Subroto, di Jakarta Pusat, bahkan di (bahu) jalan-jalan tol pun  dari ujung ke ujung harus diberi rambu dilarang parkir, kalau tidak ada, berarti boleh parkir di situ.
Dasar Hukumnya
Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) mengdefinisikan jalan itu sebagai jalan yang dipakai untuk lalu lintas umum, bukan untuk tempat parkir, kecuali ditentukan lain.
Menurut Pasal 1 UU LLAJ 2009:
Jalan adalah seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel (angka 12).
Parkir adalah keadaan Kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya(angka 15).
Berhenti adalah keadaan Kendaraan tidak bergerak untuk sementara dan tidak ditinggalkan pengemudinya.(angka 16).
Pasal 43:
(1) Penyediaan fasilitas Parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan di luar Ruang Milik Jalan sesuai dengan izin yang diberikan.
(3) Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan.
Pasal 106 ayat (4) huruf e: Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mematuhi ketentuan berhenti dan Parkir.
Larangan parkir di badan jalan yang tidak ada rambu parkirnya, dikecualikan untuk keadaan darurat, seperti karena mogok, mengganti ban serep, karena ada kecelakaan lalu lintas, untuk itu diwajibkan memberi tanda berupa tanda segitiga pengaman, lampu isyarat peringatan (Pasal 121 ayat 1 UU LLAJ).
Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan dan Penjelasannya:
Setiap orang dilarang memanfaatkan ruang manfaat jalan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan. Yang dimaksud dengan "terganggunya fungsi jalan" adalah berkurangnya kapasitas jalan dan kecepatan lalu lintas antara lain menumpuk barang/benda/material di bahu jalan, berjualan di badan jalan, parkir, dan berhenti untuk keperluan lain selain kendaraan dalam keadaan darurat.
Sedangkan menurut Peraturan Daerah (Perda) Pemerintah Privinsi DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi, khusus mengenai parkir kendaraan bermotor terdapat beberapa ketentuan sebagai berikut:
Pasal 62 ayat 3: Terhadap Kendaraan Bermotor yang berhenti atau parkir bukan pada tempatnya dapat dilakukan penindakan sebagai berikut:
- penguncian ban Kendaraan Bermotor;
- pemindahan kendaraan dengan cara penderekan ke fasilitas Parkir yang sudah ditetapkan atau ke tempat penyimpanan Kendaraan Bermotor yang disediakan oleh Pemerintah Daerah; atau
- pencabutan pentil ban Kendaraan Bermotor.
Pasal 95
(1) Dalam rangka penyelenggaraan urusan Transportasi di Daerah, Pemerintah Daerah dapat melaksanakan penindakan atas pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tertentu oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Dinas:
(2) Penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap pengguna Jalan yang melakukan pelanggaran sebagai berikut : b. memarkir Kendaraan di ruang milik Jalan yang bukan fasilitas Parkir;
(3) Terhadap Kendaraan Bermotor yang berhenti dan/atau Parkir bukan pada fasilitas Parkir yang ditetapkan, dapat dilakukan tindakan :
a. Â Â Â penguncian ban Kendaraan Bermotor;
b. Â Â Â pemindahan kendaraan dengan cara penderekan ke fasilitas Parkir yang sudah ditetapkan atau ke tempat penyimpanan Kendaraan Bermotor yang disediakan oleh Pemerintah Daerah; atau
c. Â Â Â pencabutan pentil ban Kendaraan Bermotor.
Cara Mendapat Kembali Mobil Anda yang Diderek
Jika sampai mobil Anda diderek Dishub DKI Jakarta, karena, misalnya, melanggar aturan parkir, maka inilah cara mendapat kembali mobil Anda itu Tentu saja Anda tidak bisa mengikuti cara Ratna Sarumpaet atau Fajar Sidik tersebut di atas, apalagi Anda tidak punya channel ke Gubernur Anies dan Wagub Sandiaga, maka Anda harus ikut aturan sebenarnya.
Setiap mobil yang diderek akan dibawa untuk diiinapkan di lokasi milik Pemrov DKI yang terdekat dengan lokasi mobil diderek. Untuk menebusnya Anda harus membayar di ATM atau kasir Bank DKI sebesar Rp. 500.000 per hari inap. Karena hitungannya per hari, maka Anda harus cepat-cepat menebus mobil Anda itu, jika dua hari inap jumlah yang dibayar menjadi Rp. 1 juta, tiga hari Rp 1,5 juta, begitu seterusnya kelipatannya tanpa batasan maksimal.
Selengkapnya tentang cara menebus mobil Anda yang diderek Dishub DKI Jakarta itu, silakan klik di sini.
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H