Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perseteruan Anies dengan Kemendagri tentang TGUPP

24 Desember 2017   14:42 Diperbarui: 24 Desember 2017   14:49 2349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sedang gundah-gulanda, bingung dan ngambek, pasalnya Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah menolak gaji Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) yang dibentuknya dibayar dengan menggunakan APBD DKI Jakarta.

Kemendagri mengrekomendasikan Anies untuk membayar honor TGUPP dari biaya penunjang operasional gubernur (dana operasional gubernur).

Tapi, bukan Anies Baswedan namanya kalau tidak pandai merangkaikan kata-kata memprovokasi rakyat untuk mendukungnya sekaligus mencurigai sikap Kemendagri itu sebagai sesuatu yang "ada apa-apanya", dengan cara memilintirkan keputusan Kemendagri  yang menolak TGUPP bentukannya dibayar dari APBD itu. 

Anies mengatakan, ia sangat heran dan bingung, karena Kemendagri bukan hanya menolak gaji TGUPP dibayar dari APBD, tetapi juga tidak mengakui TGUPP, seolah-olah TGUPP itu salah, tidak boleh ada. Padahal di era gubernur sebelumnya; Jokowi, Ahok, dan Djarot, TGUPP itu diakui keberadaannya, dan boleh dibayar dari APBD. Kenapa di era dia (Anies Baswedan) kok dihapus? Ada apa ini? "Rakyat silakan menilai sikap Kemendagri yang aneh ini", katanya.

Sesuai sarannya, marilah kita menilai keputusan Kemendagri itu, tetapi juga tentu saja supaya adil, menilai sikap Anies Baswedan itu sendiri.

Dengan kata lain, Anies ingin menyampaikan informasi kepada rakyat bahwa sikap Kemendagri itu sangat diskriminatif politis; berpihak kepada Jokowi, Ahok, dan Djarot, yang nota-bene adalah "orang-orangnya pemerintah pusat", tetapi sebaliknya bersikap memusuhinya, karena dia bukan gubernur dari pihak pemerintah pusat, buktinya TGUPP di masa Jokowi, Ahok, dan Djarot, diakui, boleh dibayar dari APBD, tetapi tiba-tiba begitu di era dia, dianggap salah, maka itu dicoret keberadaannya, tidak boleh dibayar gajinya dari APBD.

Berikut ini adalah beberapa kutipan dari beberapa pernyataan Anies yang emosional, menentang keputusan Kemendagri begitu mengetahui TGUPP dikeluarkan dari Biro Administrasi Setda, sehingga gaji mereka tidak boleh dibayar dari APBD:

"Jadi, yang menarik begini, dari dulu selalu anggaran untuk TGUPP. Kenapa di periode gubernur Pak Jokowi, periode gubernur Pak Basuki, di era gubernur Pak Djarot, anggaran untuk TGUPP boleh, tuh. Kok, mendadak sekarang jadi enggak boleh? Ada apa?"

"Ada apa yang berubah? Apa yang salah? Anggarannya enggak boleh sama sekali ini. Kalau dulu boleh, sekarang enggak boleh, ada apa, ya?"

"Lain kalau kita bicara tentang jumlah anggarannya, personalia. Kalau ini enggak, TGUPP-nya (dihapus). Dianggap salah tempat macam-macam. Saya bawa pulang tuh dokumennya, kami hanya terima lampirannya."

"Jadi bagi kami sesuatu yang akan kami pelajari dan silahkan rakyat menilai konsistensi dari Kemendagri terhadap Pemprov DKI. Kenapa ketika tiga gubernur sebelumnya diizinkan jalan ketika gubernur yang keempat melakukan hal yang sama mendadak badannya dibatalkan".

Padahal, faktanya tidak demikian.

TGUPP Diakui, Gajinya yang Tidak Boleh Dibayar dari APBD

Kemendagri yang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo itu, sama sekali tidak menghapuskan atau melarang Anies membentuk TGUPP. Yang dilakukan oleh Kemendagri adalah -- sesuai dengan wewenangnya --  setelah mengevaluasi APBD DKI Jakarta 2018, memutuskan beberapa hal, di antaranya menghapus beberapa pos anggaran yang dianggap tidak sesuai dengan undang-undang,  salah satunya adalah menghapus nama TGUPP dari Biro Adminsitrasi Setda DKI Jakarta.

Oleh Gubernur Anies Baswedan TGUPP dilekatkan kepada Biro Administrasi Setda DKI Jakarta, oleh karena itu konsekuensinya gaji mereka akan dibayar dari APBD DKI Jakarta. Ini yang tidak disetujui oleh Kemendagri, (apalagi jumlahnya sampai 73 orang! Dari TGUPP gubernur sebelumnya yang hanya 9 -- 13 orang) oleh karena itu nama TGUPP dikeluarkan dari Biro Administrasi Setda DKI tersebut, dengan demikian gaji mereka tidak boleh dibayar dari APBD.

TGUPP dinilai Kemendagri sebagai lembaga ad-hoc yang tugasnya hanya hanya melaksanakan tugas Gubernur DKI, bukan bagian dari fungsi Biro Administrasi, oleh karena itu dilarang dibayar pakai APBD DKI Jakarta.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Kemendagri merekomendasikan dalam evaluasinya itu agar gaji TGUPP tidak dianggarkan pada Biro Administrasi. Tapi, menggunakan biaya penunjang operasional gubernur atau biasanya disebut juga dana operasional gubernur, hal mana sesuai dengan Pasal 8 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang berbunyi:

Pasal 8: Untuk pelaksanaan tugas-tugas kepada Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah disediakan:

h). biaya penunjang operasional dipergunakan untuk koordinasi, penanggulangan kerawanan sosial masyarakat, pengamanan dan kegiatan khusus lainnya guna mendukung pelaksanaan tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Dalam klarifikasinya tertulisnya pada 23 Desember 2017, Mendagri Tjahjo Kumolo antara lain menyatakan:

"Prinsipnya bukan menghilangkan TGUPP, silahkan saja Gubernur DKI membentuk TGUPP, melainkan hanya mengalihkan pembebanan anggaran yang semula beban anggaran Biro Administrasi menjadi beban atas penggunaan BOP (maksudnya, biaya penunjang operasional) Gubernur. ... "

Maka dalam hal ini ada dua kemungkinan dari pemilintiran informasi oleh Anies Baswedan itu, ia tidak memahami persoalan sebenarnya, atau memang sengaja mengfitnah Kemendagri, sebagaimana ia juga pernah mengfitnah Ahok terkait TGUPP ini pula.

TGUPP Untuk Balas Budi Politik Anies?

Pada 21 November 2017, di Balai Kota, saat berbicara tentang TGUPP bentukan dia, seperti biasa, Anies tidak lupa menyindir dan menjelek-jelekkan Ahok, dibandingkan dengan dia yang katanya lebih baik. Ketika itu Anies menuduh di era Gubernur Ahok, TGUPP dibayar dengan menggunakan dana swasta, padahal untuk menggaji mereka ada dana dari APBD. Keputusan Ahok itu sangat rawan konflik kepentingan dengan pihak swasta.

Di era dia (Anies), katanya,  hal itu tidak akan terulang lagi, TGUPP akan dibiayai oleh Pemprov DKI Jakarta. Kebijakan ini dipilih agar tim tidak akan bergantung kepada swasta sehingga tidak menimbulkan konflik kepentingan. Anies berkata, "Anda cek saja di berita-berita. Dulu (TGUPP) dibiayai oleh siapa? Anda bandingkan saja. Lebih baik anda bandingkan, dan lihat dulu dibiayai dengan siapa sekarang dengan siapa."

Pembiayaan oleh swasta itu, kata Anies ketika itu,  bukan cara yang tepat untuk menghemat anggaran. Sebab kebijakan itu justru rawan disalahgunakan dan tidak mencerminkan good governance.

Padahal tuduhan Anies itu salah besar, bahkan bisa dikatakan sudah tergolong fitnah kepada Ahok. Sebaliknya, justru ke-ngototan dia untuk membayar gaji TGUPP dari APBD, menentang keputusan Mendagri justru menunjukkan sikap yang bertentangan dengan prinsip good governance.

Jumlah anggota TGUPP di masa Ahok 9 orang, di masa Anies Sekarang naik lebih dari 8 kali lipat menjadi 73 orang, anggarannya di era Ahok hanya Rp. 2,3 miliar, di masa Anies menjadi Rp. 28,99 miliar, atau naik 1.100 persen (11 kali lipat)!

Di era Ahok, gaji TGUPP itu tidak bayar dari APBD, di era Anies gaji seluruh anggota TGUPP itu mau diambil dari APBD, bukan hanya 12 bulan gaji, tetapi ada juga gaji ke-13-nya setiap tahun.

Membengkaknya secara luar biasa jumlah anggota TGUPP (otomatis juga biaya yang diperlukan setiap bulan untuk membayar mereka) diduga kuat sebagai dampak perekrutan anggota-anggota TGUPP non-PNS oleh Anies yang merupakan para pendukungnya di masa kampanye Pilkada DKI 2017, dengan kata lain ada banyak orang yang harus dibalasbudi oleh Anies, yang ia terapkan melalui TGUPP itu.

Diduga Anies balas budi kepada para pendukungnya itu melalui TGUPP supaya yang bayar itu negara, maka tak heran Anies pun menjadi galau, ketika rencananya itu di-cut Kemendagri.

TGUPP di Masa Jokowi, Ahok, dan Djarot Tidak Pernah Dibayar dari APBD

Meskipun telah dibantah dan diklarifikasikan oleh beberapa mantan anggota TGUPP di era Ahok, oleh Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DKI Jakarta Agus Suradika, ditambah klarifikasi dari  Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Sumarsono, yang juga dua kali pernah menjadi plt. Gubernur DKI Jakarta, bahwa tidak benar gaji TGUPP di masa Ahok dibayar dengan dana swasta, Anies tidak pernah menarik kembali tuduhannya itu, apalagi minta maaf kepada Ahok.

Sebaliknya, ketika ditantang agar Anies meniru Ahok dengan membayar gaji TGUPP  dari dana operasional gubernur yang ia terima setiap bulan, Anies tidak pernah menanggapinya, seolah-olah pura-pura tidak mendengar, sampai sekarang pun tidak ada transparansi dari dia, dana operasional gubernur yang dia terima itu dia gunakan untuk apa saja. Padahal salah satu syarat utama adanya good governance adalah transparansi dalam menggunakan anggaran, termasuk dana operasional gubernur.

Anies pun harus ingat bahwa  Pasal 3 Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menetapkan: keuangan negara (termasuk keuangan daerah) wajib dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Setelah menuduh (lebih tepatnya mengfitnah Ahok) membayar TGUPP-nya dengan dana swasta, Anies mengulangi kesalahan fatalnya dalam memahami anggaran, yaitu ketika ia menjadi galau, dan ngambek, ketika mengetahui Kemendagri tidak menyetujui gaji TGUPP-nya dibayar dengan APBD, sebagaimana sudah disinggung di atas.

Anies ngambek dengan menuduh Kemendagri aneh, diskriminatif, berpihak kepada Jokowi, Ahok, dan Djarot, sebaliknya memusuhinya, karena menolak keberadaan TGUPP-nya dan menolak APBD digunakan untuk membayar gaji TGUPP-nya, padahal, menurut dia, di era Gubernur Jokowi, Gubernur Ahok, dan Gubernur Djarot, Kemendagri tidak mempersoalakan keberadaan TGUPP, termasuk tidak menolak gaji TGUPP di masa tiga gubernur itu dibayar dari APBD.

Terhadap tuduhan Kemendagri menolak keberadaan TGUPP-nya, sudah saya jelaskan di atas.

Sedangkan tentang tuduhannya bahwa di era Jokowi, Ahok, dan Djarot, gaji anggota TGUPP dibayar dengan APBD, lagi-lagi membuktikan Anies sesungguhnya tidak mengerti anggaran, tidak paham mengenai hukum administrasi pemerintahan daerah, khususnya Pemprov DKI Jakarta, karena yang sesungguhnya terjadi adalah sejak era TGUPP yang pertama, yaitu sejak di era Jokowi  tidak pernah gaji TGUPP dibayar dari APBD.

Kemendagri pun sudah mengklarifikasi tuduhan Anies tersebut bahwa TGUPP sudah ada sejak era Jokowi (bahkan Jokowi-lah yang pertama kali membentuknya) tetapi tidak pernah ada alokasi dana dari APBD untuk membayar gaji TGUPP, demikian juga di era Ahok sampai kepada Djarot.

TGUPP di era Jokowi, Ahok, dan Djarot terdiri dari orang-prang dari PNS Pemprov DKI sendiri dan dari para profesional yang bukan PNS DKI Jakarta. Gaji anggota TGUPP dari PNS DKI Jakarta tidak pernah dijadikan pos anggaran sendiri. Melainkan, anggota TGUPP yang berasal dari PNS DKI itu menerima gaji dari tunjangan kerja daerah (TKD) mereka setiap bulan. Sedangkan gaji anggota TGUPP dari para profesional digaji dari dana operasional gubernur.

Di tangan Anies, TGUPP dibuat menjadi suatu lembaga tersendiri, dilekatkan di Administrasi Setda DKI, dan untuk membayar gaji mereka, ada pos anggarannya tersendiri, yang sebesar Rp. 28,99 miliar itu.

Teringatlah saya, di masa kampanye Pilkada DKI Jakarta, pada 20 Juli 2017, Anes Baswedan pernah menyindir Ahok sebagai gubernur yang tidak paham anggaran.

"Ini potret (persoalan) di Jakarta, yang dibilang gubernur kemarin mengerti anggaran, padahal tidak memahami," katanya waktu itu.

Faktanya membuktikan berkali-kali, bukan gubernur sebelumnya yang tidak mengerti anggaran, tetapi justru gubernur yang sekarang yang tidak paham anggaran.

Kenapa Anies Membutuhkan Begitu Banyak Anggota TGUPP?

Kenapa Ahok hanya membutuhkan 9 orang untuk TGUPP-nya? Karena sesungguhnya ia tidak terlalu membutuhkan TGUPP, ia bahkan sempat ingin membubarkan TGUPP, terutama jika Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sudah memiliki kinerja baik.

Ketika itu (31/7/2015), Ahok mengatakan, ide pembentukan TGUPP bersama Jokowi adalah membantu kinerja SKPD DKI. TGUPP juga berperan menyampaikan kebijakan SKPD kepada gubernur dan wakil gubernur. TGUPP juga mendorong kinerja SKPD lebih cepat lagi. Tapi, kalau SKPD sudah berkinerja sangat baik, TGUPP tidak dibutuhkan lagi.

"Kalau semua sistemnya sudah jalan, masih perlu percepatan lagi enggak? Perlu TGUPP enggak? Enggak usah," kata Ahok ketika itu.

grafis: Angga / Liputan6.com
grafis: Angga / Liputan6.com
Ahok  dengan pengalamannya puluhan tahun di pemerintahan, semangat pengabdiannya yang sangat tinggi terhadap pembangunan DKI Jakarta secara komprehensif, ditambah pengalamannya sebagai anggota DPR-RI, sangat menguasai tugas-tugasnya sebagai seorang gubernur, dan selalu punya semangat tinggi untuk mengerjakannya sampai tuntas (Ahok sering sekali lembur sampai larut malam). Meminjam istilah pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti (sekarang Duta Besar untuk Tunisia), Ahok itu memahami permasalahan-permasalahan Ibu Kota dari yang besar sampai yang kecil-kecil, sampai ke sekrup-sekrupnya.

Itulah sebabnya TGUPP di masa Ahok hanya dikontrak  untuk masa 5 bulan saja, sehingga jika tak dibutuhkan lagi, tidak perlu diperpanjang lagi. Berbeda dengan Anies, yang sangat membutuhkan sebanyak-banyaknya anggota TGUPP untuk membantunya memahami tugas-tugas gubernur dan mengerjakannya.

Berbeda dengan Anies, yang begitu banyak membutuhkan anggota TGUPP, mengalah-ngalahi jumlah staf ahli Presiden, sampai-sampai ada yang berseloroh: Rupanya mengurus DKI Jakarta jauh lebih rumit daripada mengurus satu negara Republik Indonesia.

Yang sebetulnya terjadi adalah Anies Baswedan membutuhkan begitu banyak anggota TGUPP adalah karena selain untuk balas budi, ia sebetulnya tidak terlalu paham tugas-tugasnya sebagai gubernur DKI Jakarta. Tugas-tugasnya saja tidak paham bagaimana bisa ia diharapkan dapat mengerjakannya dengan baik? Untuk menutup begitu banyak kelemahannya, Anies membutuhkan begitu banyak pula anggita TGUPP. Tak heran ia pun kebingungan apabila sampai TGUPP tak jadi dibentuk, atau kurang dari yang dibutuhkan.

Evaluasi APBD Adalah Wewenang Mendagri

Saking dongkolnya Anies kepada Kemendagri, Anies pun memilih hendak melawan. Ia pun berseru semakin keras menantang, yang ironisnya justru semakin menunjukkan ketidakpahamannya terhadap hukum administrasi pemerintahan daerah, khususnya mengenai anggaran dan hubungan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat (Kemendagri).

Setelah menyatakan kejengkelannya kepada Kemendagri disertai dengan pemilintiran isi keputusan Kemendagri tentang TGUPP sebagaimana diuraikan diatas, Anies pun menyatakan dalam hal penggunaan anggaran, Pemprov DKI Jakarta mempunyai otoritas penuh yang tidak bisa diintervensi Kemendagri. Kemendagri hanya boleh memberi rekomendasi, tetapi apakah rekomendasi itu dilaksanakan atau tidak oleh Pemprov DKI Jakarta, tergantung pada kebijakaan Gubernur DKI  Jakarta, yaitu dia sendiri.

"Sebetulnya untuk otoritas ada di kami, otoritas bukan di Kemendagri, Kemendagri hanya rekomendasi, jadi bisa (saja) tidak dijalankan," ujar Anies di Lapangan IRTI Monas, Jakarta Pusat, Jumat (22/12/2017).

Saking galaunya Anies-pun menyatakan, dengan atau tanpa Kemendagri, ia akan jalan terus dengan kebijakannya sendiri tentang penggunaan APBD DKI!

"Kita take it easy, yang jelas kita akan terus kerja cepat, kita terus kerja tuntas. Dengan atau tanpa dukungan Kemendagri, kita jalan terus!" tegasnya.

Dasar Hukum Kewenangan Mendagri Mengevaluasi APBD  

Padahal, jelas-jelas secara hukum, pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Dalam Negeri (Kemendagri) berwenang bahkan wajib melakukan evaluasi terhadap pemerintah daerah di seluruh Indonesia, termasuk mengenai evaluasi terhadap APBD. Dari evaluasi tersebut, Mendagri berwenang untuk merekomendasi beberapa perbaikan, termasuk penghapusan terhadap pos-pos anggaran yang dinilai tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tidak berdasarkan kepentingan rakyat banyak, tidak sesuai dengan RKPD serta KUA dan PPAS, dan RPJMD.

Dasar hukumnya:

- Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah:

Pasal 308: Menteri menetapkan pedoman penyusunan APBD setiap tahun setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang perencanaan pembangunan nasional dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan.

Pasal 314

(1) Rancangan Perda Provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh gubernur, paling lama 3 (tiga) Hari, disampaikan kepada Menteri untuk dievaluasi, dilampiri RKPD, serta KUA dan PPAS yang disepakati antara kepala daerah dan DPRD.

(2) Menteri melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda Provinsi tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk menguji kesesuaian rancangan Perda Provinsi tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD dengan:

a. ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;

b. kepentingan umum;

c. RKPD serta KUA dan PPAS; dan

d. RPJMD.

(5) Dalam hal Menteri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda Provinsi tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, RKPD, KUA dan PPAS, serta RPJMD, gubernur menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan peraturan gubernur.

Pasal 373 ayat (1): Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah provinsi.

- Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005

Pasal 34 ayat (2): Penyusunan rancangan kebijakan umum APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada pedoman penyusunan APBD yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setiap tahun.

- Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Pasal 8: Untuk pelaksanaan tugas-tugas kepada Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

disediakan :

h). biaya penunjang operasional dipergunakan untuk koordinasi, penanggulangan kerawanan sosial masyarakat, pengamanan dan kegiatan khusus lainnya guna mendukung pelaksanaan tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2017 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2018.

Dengan dasar-dasar hukum tersebut di atas, maka mau tak mau Anies harus taat kepada keputusan Mendagri tersebut, kecuali ia sudah benar-benar kalap, mungkin karena skenarionya membalas budi kepada para pendukungnya melalui TGUPP dengan membayar mereka dari APBD menjadi berantakan karena keputusan Mendagri tersebut.

Jika Anies nekad tetap melawan rekomendasi yang telah ditetapkan Mendagri itu (melarang APBD digunakan untuk membayar TGUPP) maka dapat diberlakukan ketentuan Pasal 314 ayat (7) dan (8) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa:

(7) Dalam hal hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh gubernur dan DPRD dan gubernur menetapkan rancangan Perda Provinsi tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan peraturan gubernur, Menteri membatalkan seluruh atau sebagian isi Perda dan peraturan gubernur dimaksud.

(8) Dalam hal pembatalan dilakukan terhadap seluruh isi Perda Provinsi tentang APBD dan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (6), diberlakukan pagu APBD tahun sebelumnya.

Mendagri Tjahjo Kumolo pun mengingatkan Anies bahwa jika rekomendasi itu tak dijalankan, ada kemungkinan bakal ada temuan dari BPK. Sebab, evaluasi Kemendagri berkenaan dengan TGUPP terkait tata kelola keuangannya. Padahal salah satu ambisi Anies-Sandi adalah ingin hasil audit BPK nanti terhadap penggunaan APBD DKI Jaakrta memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

"Dalam hal hasil evaluasi sebagai bentuk pembinaan kemendagri tidak ditindaklanjuti oleh Pemprov DKI maka sangat mungkin akan menjadi temuan BPK yang melaksanakan fungsi pemerikasaan atas pengelolaan keuangan negara atau daerah," jelas Tjahjo.

Pasal 3 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara menyatakan, keuangan negara (termasuk keuangan daerah) dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Dengan uraian yang semakin memperjelas keberadaan dan sumber gaji kepada TGUPP itu, timbullah pertanyaan, bahwa ada dua mantan pimpinan KPK di TGUPP Anies Baswedan, yakni Bambang Widjajanto dan Adnan Pandu Praja, tapi kenapa mereka berdua justru tak bersuara apa sekali, minimal memberi advis kepada Anies agar mau kembali ke jalan yang benar, dengan menaati ketentuan hukum yang berlaku?

*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun