Di dalam pernyataannya yang terbaru di Mabes Polri, pada Senin (21/11/2016) Kapolri mengatakan, Polri telah mengetahui adanya rapat-rapat yang mengskenariokan unjuk rasa 25 November dan/atau 2 Desember akan ditindaklanjuti dengan menduduki Gedung DPR/MPR untuk melakukan suatu aksi makar.
Sedangkan Panglima TNI mengatakan, jika sampai ada makar, maka itu bukan lagi menjadi urusan Polri saja, tetapi juga TNI. TNI siap berjihad membela Pancasila dan NKRI.
Presiden Jokowi, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, dan Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo telah berkali-kali mengatakan siapa saja yang ingin mengubah Pancasila, merusak kebhinneka-tunggal-ika, memecahbelah bangsa ini, mengancam keutuhan NKRI, akan berhadapan dengan prajurit-prajurit Polri dan TNI, serta segenap masyarakat.
Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, misalnya, seusai mengikuti istighosah bersama puluhan ulama, anggota majelis taklim, dan tokoh masyarakat Sumatra Utara di Medan, Sabtu (19/11), mengatakan:
“ ... Tidak ada satu pun pengkhianat-pengkhiant bangsa yang bisa hidup di negara ini! Nggak ada! Yang mau nantang, silakan! DI/TII, Kahar Muzakar, komunis, semuanya nggak bisa! Karena apa? Karena kita semua senantiasa berdoa kepada Allah Subhanahu wa ta'ala.”
“Kalau demo, demo-demo yang biasa, tertib. Memang itu kan menyampaikan pendapat. Tapi, kalau sudah merusak, kalau sudah makar, berhadapan dengan saya dan prajurit saya, dan Polri. Prajurit saya juga siap berjihad mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, bersama-sama seluruh komponen masyarakat. Kita berjihad bersama-sama mempertahankan negara. Jangan ada yang ditakuti, Allah Subhanahu wa ta’ala bersama-sama dengan kita!”
Kita pakai logika sederhana saja, jika benar frasa: “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada Piagam Jakarta itu dihapus secara diam-diam tanpa sepengetahuan para ulama yang ikut merumuskannya, masuk akalkah saat para ulama itu mengetahuinya mereka hanya mendiamkannya saja?
Kesaksian Mohammad Hatta
Fakta sejarahnya adalah penghapusan frasa tentang kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya itu dihapus berdasarkan kompromi antara tokoh-tokoh pendiri negara Republik Indonesia dari kelompok tokoh Islam/ulama yang toleran dengan kelompok nasionalis, Kristen, dan non-Islam lainnya, demi persatuan dan kesatuan bangsa yang baru merdeka ketika itu.
Piagam Jakarta dirumuskan pada 22 Juni 1945 oleh sebuah panitia yang beranggotakan sembilan orang (Panitia Sembilan), lalu diplenokan di BPUPKI, dan disetujui.