Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Museum Surabaya yang Menempati Gedung Bersejarah

17 Oktober 2016   08:58 Diperbarui: 4 April 2017   18:08 4267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bu Risma bantu bersih-bersih teras Gedung SIOLA untuk persiapan pembukaan Museum Surabaya (Sumber: Tempo.co)

Lokasi Museum Surabaya berada di Lantai Dasar Gedung SIOLA, sebuah gedung cagar budaya,  yang berada di pojok jalan antara Jalan Genteng Kali (gedung bagian samping) dengan Jalan Tunjungan (gedung bagian depan), dan hanya berjarak beberapa ratus meter dari gedung bersejarah lainnya: Hotel Majapahit.

Hotel Majapahit adalah hotel yang di zaman penjajahan Belanda bernama Oranje Hotel, dan di zaman pendudukan Jepang bernama Hotel Yamato.

Hotel ini menjadi hotel bersejarah, ketika pada 20 September 1945 massa rakyat, arek-arek Suroboyo,mendatangi hotel tersebut untuk melakukan protes kepada opsir-opsir sekutu dan Belanda dari AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) yang menempati hotel tersebut dengan mengibar bendera Belanda: Merah-Putih-Biru.

Massa rakyat menuntut bendera Belanda itu segera diturunkan, diganti dengan bendera Merah-Putih, karena Indonesia sudah merdeka, dan di seluruh Surabaya sedang berkibar Merah-Putih.

Karena tuntutan tak dipenuhi, terjadilah kericuhan, yang menewaskan seorang opsir Belanda dan seorang pejuang, massa rakyat pun menerobos masuk hotel, beberapa orang di antaranya lalu naik ke atap hotel, menurunkan bendera Belanda, menyobek warna birunya, lalu mengibarkannya kembali sebagai bendera Merah-Putih.

Foto bersejarah saat arek-arek Surabaya menyobek bendera Belanda: Merah-Putih-Biru menjadi Merah-Putih (Sumber: jelajah-nesia2.blogspot.com)
Foto bersejarah saat arek-arek Surabaya menyobek bendera Belanda: Merah-Putih-Biru menjadi Merah-Putih (Sumber: jelajah-nesia2.blogspot.com)
Hotel Oranje di zaman Belanda (sumber: wikipedia)
Hotel Oranje di zaman Belanda (sumber: wikipedia)
Sekarang, hotel itu bernama Hotel Majapahit, dikelola oleh Grup Mandarin Oriental (sumber: http://www.hotel-r.net/id/hotel-majapahit-surabaya)
Sekarang, hotel itu bernama Hotel Majapahit, dikelola oleh Grup Mandarin Oriental (sumber: http://www.hotel-r.net/id/hotel-majapahit-surabaya)
Sejarah Gedung SIOLA

Sejarah Gedung SIOLA berawal dari tahun 1877 ketika gedung itu untuk pertama kalinya dibangun oleh investor berkebangsaan Inggris bernama Robert Laidlaw (1856-1935), pemilik Whiteaway Laidlaw & Co., salah satu perusahaan ritel terbesar di dunia ketika itu (sekarang, kira-kira seperti Carreefour sekarang). Di gedung yang baru dibangun itu ia membuka pusat perkulakan dengan nama: “Het Engelsche Warenhuis,” Toko Serba Ada Inggris.

Sumber: masirul.com
Sumber: masirul.com
Masa jaya keluarga Whiteaway Laidlaw di bidang perdagangan berakhir pada 1935, saat pendirinya meninggal dunia. Bisnis ritelnya mengalami kebangkrutan, tetapi bisnis perbankannya tetap berjalan, dan masih ada sampai sekarang.

Saat Jepang masuk, Gedung tersebut diambil-alih oleh pengusaha dari Jepang, dan mengganti namanya menjadi Toko Chiyoda. Toko Chiyoda adalah toko kopor dan tas terbesar di Surabaya. Tas dan kopor Chiyoda sangat populer, sehingga banyak orang ikut-ikutan membuka toko tas dan kopor di sekitar toko itu.

Pengaruh Chiyoda masih ada sampai sekarang, yaitu di Jalan Gemblongan yang bersambungan lurus dengan Jalan Tunjungan, dan Jalan Praban yang simpangan dengan Jalan Tunjungan, masih ada toko-toko yang menjual tas dan kopor.

Masa jaya Chiyoda tak lama, setelah Jepang menyerah kalah kepada sekutu, Toko Chiyoda ditutup. Pemiliknya kembali ke Jepang. Gedung itu menjadi kosong.

Saat pecah perang 10 November 1945 antara rakyat Surabaya dengan pasukan sekutu, Gedung Chiyoda digunakan sebagai salah satu basis pertahanan rakyat Surabaya dari gempuran pasukan sekutu. Akibatnya gedung itu dijadikan sasaran tembakan tank-tank pasukan sekutu, sehingga membuatnya rusak berat dan terbakar.

Setelah perang melawan sekutu berakhir, gedung eks-Toko Chiyoda itu dibiarkan menjadi gedung rusak yang tak terurus sampai dengan 1950. Saat Presiden Soekarno melakukan nasionalisasi terhadap aset-aset pemerintahan kolonial, Pemerintah Kota Surabaya mengambil-alih gedung tersebut menjadi aset Pemkot Surabaya.

Pada 1960, lima orang pengusaha, yaitu Soemitro, Ing Wibisono, Ong, Liem dan Ong mengontrak ged1877ung tersebut dari Pemkot Surabaya. Mereka memperbaiki dan merenovasi gedung tersebut dengan tetap mempertahankan bentuk aslinya, lalu membuka pusat toko grosir di situ, yang diberi nama dari singkatan nama-nama mereka sendiri, yaitu SIOLA. Sejak itulah gedung itu dikenal masyarakat Surabaya dengan nama Gedung SIOLA, sampai sekarang.

Gedung SIOLA (Sumber: SkyscraperCity)
Gedung SIOLA (Sumber: SkyscraperCity)
SIOLA segera menjadi kebanggan warga Surabaya di masa itu, menjadi semacam “mall” pertama di Surabaya, menjadi ikon kota Surabaya. Bahkan sampai sekarang pun ketika tulisan nama “SIOLA” sudah tidak ada lagi di gedung tersebut, ia masih tetap disebut sebagai Gedung SIOLA.

SIOLA segera menjadi kebanggan warga Surabaya di masa itu, menjadi semacam “mall” pertama di Surabaya, menjadi ikon kota Surabaya. Bahkan sampai sekarang pun ketika tulisan nama “SIOLA” sudah tidak ada lagi di gedung tersebut, ia masih tetap disebut sebagai Gedung SIOLA.

Masa kejayaan Siola berlangsung sekitar 28 tahun lamanya.

Ketika harus bersaing dengan pusat-pusat perbelanjaan baru dan lebih moderen ketika itu, di antaranya adalah Pasar Atum, Pasar Turi, Delta Plaza (sekarang Surabaya Plaza) dan Tunjungan Plaza (saat itu baru ada Tunjungan Plaza 1, sekarang Tunjungan Plaza 5, dan sedang dibangun Tunjungan Plaza 6), SIOLA tak mampu lagi bersaing, akhirnya ia mengikuti jejak sejarah pengusaha-pengusaha pendahulunya, ditutup pada 1998.

Di masa-masa itu di Gedung SIOLA juga sempat dijadikan pusat perdagangan barang-barang elektronika, seperti televisi, kulkas, mesin cuci, dan lain-lain, dengan nama Tunjungan Center, semacam Glodok di Jakarta, tetapi akhirnya tutup juga.

Sempat disewa Ramayana Dept. Store dengan nama Ramayana Siola, tetapi terpaksa ditutup karena sepi pengunjung (2007) (sumber foto: http://www.artebia.com/wisata/)
Sempat disewa Ramayana Dept. Store dengan nama Ramayana Siola, tetapi terpaksa ditutup karena sepi pengunjung (2007) (sumber foto: http://www.artebia.com/wisata/)
Gedung SIOLA saat telah diambil-alih Pemkot Surabaya (Sumber: http://www.thearoengbinangproject.com/gedung-siola-surabaya/)
Gedung SIOLA saat telah diambil-alih Pemkot Surabaya (Sumber: http://www.thearoengbinangproject.com/gedung-siola-surabaya/)
Gedung SIOLA pun kembali mangkrak tanpa penghuni, sempat diupayakan dihidupkan lagi dengan menyewakannya ke swasta, yang membuka Ramayana-Siola Department Store (1999-2008), tetapi sepi pengunjung, ditutup, sempat mengubah nama SIOLA menjadi Tunjungan City dengan  rencana membuka Matahari Departement Store, tetapi batal, sempat menjadi pusat pedagangan buah-buahan, gagal, pusat penjualan mobil bekas, gagal juga, sampai akhirnya dikembalikan kepada Pemkot Surabaya.

Ketika itulah muncul gagasan untuk membuka Museum Surabaya di eks-gedung SIOLA tersebut.

Museum Surabaya

Sebelumnya, Bu Risma sudah cukup lama ingin Surabaya punya sebuah museum sendiri yang mengoleksi benda-benda bersejarah bagi kota Surabaya. Tetapi gagasannya itu terpaksa dipendam sementara karena biaya untuk membangun sebuah gedung baru untuk museum itu diperkirakan minimal menelan anggaran sebesar 40 miliar rupiah. Bu Risma berpikir, daripada menghabiskan anggaran sebesar itu “hanya” untuk untuk sebuah museum, lebih baik anggaran itu digunakan untuk membangun infrastruktur di kota Surabaya.

Sampai suatu ketika ada celetukan dari seorang staf kepada Bu Risma, yang dialupa siapa, mengusulkan kepadanya untuk membuka museum Surabaya di eks-gedung SIOLA yang sedang mangkrak itu. Itu suatu ide yang sangat bagus, pikir Bu Risma, tanpa perlu keluar biaya besar, gedung sudah tersedia, Museum Surabaya sudah bisa diwujudkan.

Namun kalau hanya membuka Museum Surabaya di sana, tentu Gedung SIOLA yang terdiri dari 3 lantai itu terlalu besar, maka muncullah ide Bu Risma untuk memindahkan sebagian kantor Pemkot Surabaya ke sana, khususnya untuk pelayananan terhadap masyarakat.

Maka dibukalah Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) Pusat di sana yang terdiri dari 11 SKPD, di antaranya: Dinas kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Tanah dan Bangunan, Badan Lingkungan Hidup, Bakesbangpol Linmas, Dinas PU Cipta Karya dan Tata Ruang, Dinas Perdagangan dan Perindustrian, Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Dinas Perhubungan, Dinas Kebersihan dan Pertamanan dan Dinas Tenaga Kerja.

Setelah gedung eks-SIOLA itu selesai direnovasi, dan siap digunakan, saat dilakukan bersih-bersih di lantai dasar, tempat di mana museum akan dibuka, Bu Risma dengan penuh semangat ikut terjun bersama anak buahnya mengerjakannya. Tanpa risih sedkitpun Bu Risma pun ikut membantu mengelap lantai tersebut.

Bu Risma bantu bersih-bersih teras Gedung SIOLA untuk persiapan pembukaan Museum Surabaya (Sumber: Tempo.co)
Bu Risma bantu bersih-bersih teras Gedung SIOLA untuk persiapan pembukaan Museum Surabaya (Sumber: Tempo.co)
(Sumber foto: detik.com)
(Sumber foto: detik.com)
Setelah semuanya rampung, maka pada 3 Mei 2015, Museum Surabaya dibuka untuk umum untuk pertamakalinya setelah diresmikan oleh Bu Risma sebagai Wali kota Surabaya. Dibuka mulai pukul 09:00 sampai dengan 2:00. Gratis.

Setelah museum diresmikan, menyusul kemudian UPTSA Pusat diresmikan pada 15 Juli 2015 oleh Bu Risma juga.

Maka perjalanan panjang salah satu gedung bersejarah di kota Surabaya,  yang kini berusia 139 tahun itu pun sampai pada dijadikannya dia sebagai Museum Surabaya dan pusat UPTSA, sekarang. Meskipun demikian, ia masih tetap disebut masyarakat Surabaya dengan nama Gedung SIOLA.

Jadi, ketika kita bertanya, di manakah letak Museum Surabaya dan UPTSA Pusat, maka orang pasti menjawabnya: “Di Gedung Siola.”

Koleksi Museum Surabaya

Koleksi Museum Surabaya meliputi lebih dari 1.000 benda bersejarah bagi kota Surabaya, sejak dipimpin oleh Wali Kota Surabaya pertama di zaman Belanda (burgermesteer): Mr. A Meyroos (1916-1921) sampai dengan Wali Kota yang sekarang, Tri Rismaharini (Bu Risma).

Koleksinya tidak terbatas pada benda-benda bersejarah pemerintah kota Surabaya, tetapi juga benda-benda lainnya yang pernah menjadi bagian dari sejarah kota Surabaya secara umum, termasuk benda milik warga Surabaya yang historis dan legendaris, seperti replika biola milik pencipta lagu Indonesia Raya, Wage Rudolf Supratman, biola Srimulat, piano kuno milik penyanyi Gombloh yang terkenal dengan lagunya: Kugadaikan Cintaku, dan Kebyar-Kebyar, becak berwarna putih dan biru: rupanya di Surabaya tempo dulu ada becak khusus siang hari (berwarna putih), dan becak malam (becak berwarna biru), bajaj dan angguna (mobil angkutan serba guna), kursi dan meja sekolah di era tahun 1950-an - 1970-an, wayang kulit, wayung Potehi, buku-buku catatan kelahiran, kematian yang ditulis tangan yang dibuat pada 1800-an, buku arsip nama-nama orang Belanda yang dikubur di pemakan khusus orang belanda di Peneleh dan Ngagel, ketel uap abad ke-18, mesin ketik dan mesin hitung kuno, dan sebagainya.

Di luar samping gedung museum, terdapat juga sebuah lokomotif uap kuno berwarna hitam yang pernah digunakan di zaman Belanda.

Sumber: jejakbocahilang.wordpress.com
Sumber: jejakbocahilang.wordpress.com
(Sumber: http://www.swiss-belhotel.com/)
(Sumber: http://www.swiss-belhotel.com/)
Saat memasuki ruangan museum di pintu masuknya disediakan sebuah buku tamu, diharapkan  pengunjung mengisi buku tamu itu, dan kesan-kesannya setelah melihat-lihat museum tersebut. Di sampingnya ada manequin Cak dan Ning Surabaya:

Cak dan Ning Surabaya (Foto: Penulis)
Cak dan Ning Surabaya (Foto: Penulis)
Lurus di dekat situ terpampang 18 foto orang yang pernah menjadi Wali Kota Surabaya. Dimulai dari Wali Kota Surabaya di zaman Belanda, yang  disebut “Burgemeester Soerabaia”  yang pertama kali dijabat oleh Mr. A. Meijroos pada 1916-1920, seterusnya ada 6 orang Burgemeester Soerabaia berkebangsaan Belanda sampai dengan 1942, saat Belanda kalah perang dari Jepang, diganti oleh orang Indonesia bernama Radjamin Nasution.

Foto: Penulis)
Foto: Penulis)
Buku informasi tentang wali kota - wali kota yang pernah menjabat di Surabaya (Foto: Penulis)
Buku informasi tentang wali kota - wali kota yang pernah menjabat di Surabaya (Foto: Penulis)
(Foto: Penulis)
(Foto: Penulis)
Saat Jepang masuk (1942), kedudukan itu diambil alih oleh orang Jepang bernama Takashi Ichiro, yang menjabat sampai 1945, tahun menyerahnya Jepang kepada sekutu. Radjamin Nasution sempat menduduki kembali jabatan wali kota, tetapi segera diganti oleh seorang Belanda sebagai pejabat Kepala Urusan Haminte Surabaya, saat mereka dengan memboncengi sekutu ingin menjajah lagi Indonesia.

Setelah Belanda berhasil diusir lagi dari Indonesia, pada 1945 barulah dimulai wali kota Surabaya dari bangsa Indonesia sendiri, dimulai dari Indrakoesoema, sampai pada yang sekarang, Tri Rismaharini (Bu Risma).

Tidak jauh dari foto-foto Wali Kota Surabaya itu, dipamerkan di atas meja yang diberi pelindung kaca tertutup puluhan tanda penghargaan yang pernah diraih Kota Surabaya, baik penghargaan nasional, maupun internasional.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Selanjutnya ada beberapa benda di dalam Museum Surabaya ini yang menarik untuk lebih diperhatikan karena usianya, maupun karena keunikannya, di antaranya adalah sebagai berikut:

Dua set meja dan kursi yang sudah ada di Balai Kota Surabaya sejak wali kota pertama yang berkebangsaan Belanda (awal 1900). Didesain oleh seorang arsitek terkenal Belanda di era itu, GC Citroen, yang juga mendesain beberapa bangunan di Surabaya. Desain Citroen selalu mempunyai ciri khas yang unik, yaitukebanyakan memiliki sudut-sudut yang lurus dan sandaran kursi melengkung, dengan garis-garis yang tegas. Terbuat dari kayu jati murni seluruhnya, kondisinya masih sangat baik:

(Foto: Penulis)
(Foto: Penulis)
(Foto: Penulis)
(Foto: Penulis)
Lemari penyimpan piring dan perlengkapan makan lainnya peninggalan zaman Belanda yang ditemukan di Balai Kota Surabaya:

(Foto: Penulis)
(Foto: Penulis)
Cermin Wilhelmina. Cermin ini merupakan cermin yang memiliki makna pernikahan, di mana bagian atas cermin melambangkan laki-laki dan di bagian bawah cermin melambangkan perempuan cantik. Telah ada sejak 1907 dan digunakan di gedung de Simpangche Societet. Cermin ini memiliki ukiran yang membentuk huruf W yang berarti Wilhelmina.

(Foto: Penulis)
(Foto: Penulis)
Replika biola model Amatus ukuran 4/4 (standar) dari bahan kayu cyrus, kayu maple Italia dan kayu Ebony. Inilah biola yang digunakan WR Supratman untuk menggubah lagu “Indonesia Raya” pada Kongres Pemuda II di Jakarta, 28 Oktober 1928:

Replika biola WR Supratman (Foto: Penulis)
Replika biola WR Supratman (Foto: Penulis)
Piano buatan Jerman dengan estimasi tahun pembuatan 1915-1945, merek L Romhildt Weimar, ukuran panjang 1,324 meter x 0,643 meter, tinggi 1,28 meter di bawah ini, digunakan oleh Gombloh saat menciptakan lagu-lagunya yang terkenal dan menjadi hit, di antaranya:Kugadaikan Cintaku, Kebyar-Kebyar, Gila, Setengah Gila, Berita Cuaca )Lestari Alamku), dan lain-lain

Piano Gombloh (Foto: Penulis)
Piano Gombloh (Foto: Penulis)
Grand Piano yang digunakan untuk menghibur orang-orang Eropadan Belanda di Gedung Simpangsche Societiet. Grand Piano dengan merek: Grotrian-Steinwegyang didirikan sejak 1835 ini telah digunakan sejak 1907:

Foto: Penulis)
Foto: Penulis)
Nama grup komedi Srimulat sangat populer di Surabaya. Pada saat itu acara diadakan di kompleks THR (Taman Hiburan Rakyat). Biola ini diberikan sebagai souvenir kepada Wali Kota H Purnomo Kasidi 1984 - 1994):

Biola Srimulat (Foto: Penulis)
Biola Srimulat (Foto: Penulis)
Sebuah ijazah sekolah yang diterbitkan pada 25 Januari 1952: 

Ijazah 1952 (Foto: Penulis)
Ijazah 1952 (Foto: Penulis)
Kursi dan meja, serta papan tulis yang lazim ada di kelas-kelas SD, SMP, dan SMA di Indonesia di tahun 1950-1970-an. Perlengkapan mebel sekolah di Museum Surabaya yang dipamerkan ini berasal dari SMAN 57 Surabaya, yang digunakan sejak 1957:

Kursi, meja dan papan tulis di kelas-kelas SD, SMP, SMA, di era tahun 1950-an - 1980-an awal. Mebel ini diambil dari SMAN 57 Surabaya (Foto: Penulis)
Kursi, meja dan papan tulis di kelas-kelas SD, SMP, SMA, di era tahun 1950-an - 1980-an awal. Mebel ini diambil dari SMAN 57 Surabaya (Foto: Penulis)
Di era tahun 1950-1970-an lonceng seperti di bawah ini digunakan sebagai bel tanda dimulainya waktu belajar di kelas-kelas, waktu istirahat, dan pulang sekolah. Lonceng sekolah ini berasal dari SMAN 57, yang pernah digunakan sejak 1957:

Bel sekolah 19650-1980-an awal (Foto: Penulis)
Bel sekolah 19650-1980-an awal (Foto: Penulis)
Koleksi buku-buku administrasi pengelolaan keuangan kota Surabaya yang pernah digunakan oleh pemerintah Soerabaja pada 1921 hingga 1970. Koleksi buku-buku ini ditemukan pada arsip Pemerintah Kota Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan pada 2015. Buku-buku ini berisi catatan-cattan tentang pengelolaan keuangan pemerintah Geemente Soerabtja hingga Pemerintah Kota Surabaya:

(Foto: Penulis)
(Foto: Penulis)
Buku pencatatan kelahiran tahun 1831:

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Buku pencatatan kelahiran tahun 1861:

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Buku Onwerp Begrooting van Uitgaven en Ontvangsten van den Algemeenen Dienst Stadgemeente Soerabaja vooe het Dientsjaar 1940 (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Pengeluaran dari Layanan Saham Umum Kota Surabaya Tahun Anggaran 1940)

(Foto: Penulis)
(Foto: Penulis)
Brankas kuno dengan lambang Kerajaan Belanda  (dua singa memegang sebuah perisai bergambar singa dengan pedang terhunus) yang sudah ada sejak 1900. Di brankas inilah ditemukan beberapa lembar uang dan koin zaman Belanda, yang juga dipamerkan di Museum Surabaya:

(Foto: Penulis)
(Foto: Penulis)
(Foto: Penulis)
(Foto: Penulis)
Mesin ketik dan mesin stensil yang digunakan di Balai Kota Surabaya di masa tahun 1960-an - 1980-an:

Mesin ketik dan stensil (Foto: Penulis)
Mesin ketik dan stensil (Foto: Penulis)
Dua buah becak: putih (becak siang), dan biru (becak malam), dan Bemo (Bajaj).

BEMO, mulai beroperasi di Surabaya pada 1962. Tujuaan diadakan kendaraan beroda 3 ini sebenarnya untuk menggantikan becak, tetapi malah kehilangan pamornya di tahun 1970-an, akhirnya menghilang dari Surabaya. 

(Foto: Penulis)
(Foto: Penulis)
ANGGUNA (angkutan serba guna):

Kendaaran yang dimodifikasi dari Mitsubishi L300 pick-up dicat kuning ini merupakan angkutan umum khas Surabaya, karena tidak ditemukan di kota lain di Indonesia. Didesain dengan tempat duduk penumpang dua baris berjajar depan-belakang, dengan menyisakan ruang bagi di bagian belakang dalam wujud bak terbuka mirip pick-up.

Angguna pertama kali beroperasi di Surabaya pada 1980-an, dan sempat menjadi angkot favorit warga Surabaya, karena bisa ditawar-tawar harganya. Angguna melayani penumpang berdasarkan tarif yang disepakati. Kalah bersaing dengan angkutan umum lainnya, Angguna tamat riawayatnya pada 2013-2014:

Angguna (Foto: Penulis)
Angguna (Foto: Penulis)
Museum Surabaya juga dilengkapi dengan koleksi perlengkapan tarian khas Jawa, Jaranan ("kuda lumping"), dan perlengkapan Wayang Potehi dan Wayang Kulit.

Wayang Potehi adalah kesenian wayang dari daratan Tiongkok Selatan yang dibawa oleh para pendatang dari sana ke Tanah Jawa, dan kini telah menjadi bagian dari budaya/kesenian Indonesia, berpadu dan beradaptasiu dengan seni serupa di Jawa.

Perlengkapan Wayang Potehi (kiri) dan Wayang Kulit (kanan) (Foto: Penulis)
Perlengkapan Wayang Potehi (kiri) dan Wayang Kulit (kanan) (Foto: Penulis)
Museum Surabaya juga memamerkan puluhan foto Surabaya di zaman Belanda, di antaranya adalah foto kawasan pecinan Kembang Jepun di tahun 1931, yang di kala itu bernama Handelstraat, atau Jalan Perniagaan, dengan gapura khas Tionghoa-nya. Diberi nama Haglestraat dengan gapura berarsitektur Tionghoa itu dikarenakandi situlah pusat perdagangan grosir etnis Tionghoa, yang sampai dengan sekarng masih seperti itu. 

Saat Jepang menjajah, kawasan ini menjadi terkenal dengan sebutan “kembang Jepun”, karena banyak teman-teman wanita (“kembang”) Jepang (Jepun) yang tinggal di kawasan itu. Dari sinilah berasal nama Jalan Kembang Jepun, sampai sekarang. Di kawasan ini masih terdapat beberapa toko yang sudah ada sejak zaman Belanda ketika foto ini dibuat, di antaranya adalah Rumah Makan "Kiet Wan Kie."

Ketika Presiden Soeharto mulai berkuasa, seiring dengan semangat anti-Cina yang dideklarasikan, gapura berarsitektur Tionghoa tersebut dibongkar. 

Sebuah foto kawasan Kembang Jepun di tahun 1931 yang ada di Museum Surabaya (Foto: Penulis)
Sebuah foto kawasan Kembang Jepun di tahun 1931 yang ada di Museum Surabaya (Foto: Penulis)
Dibangun kembali dengan model serupa, dan diresmikan pada 31 Mei 2003 oleh Wali Kota Bambang D.H. Ketika itu kawasan yang hanya hidup di siang hari itu hendak dihidupkan juga pada malam hari dengan membuka pusat kuliner kaki lima di sana, dengan nama "Kya-Kya" (jalan-jalan), tetapi hanya bertahan sekitar 3 tahun, kalah bersaing dengan kawasan serupa di Surabaya barat, seperti G-Walk di Citraland, dan Spazio di Graha Family.

Kya-kya Kembang Jepun (wahyudiari - WordPress.com)
Kya-kya Kembang Jepun (wahyudiari - WordPress.com)
Kya-Kya Surabaya, yang kini tinggal kenangan (sumber: skyscrapercity.com)
Kya-Kya Surabaya, yang kini tinggal kenangan (sumber: skyscrapercity.com)
Sumber: secapramana.com
Sumber: secapramana.com
Foto di bawah adalah kawasan Kembang Jepun sekarang. Foto diambil pada 10 Mei 2015 saat Festival Rujak Cingur diadakan di sana. Festival tersebut diadakan setiap tahun oleh Wali Kota Tri Rismaharini, sebagai upaya melestarikan kuliner khas Surabaya.

Kembang Jepun saat Festival Rujak Cingur, 10 Mei 2015 (Foto: (http://baltyra.com)
Kembang Jepun saat Festival Rujak Cingur, 10 Mei 2015 (Foto: (http://baltyra.com)
Sehari-harinya, di hari kerja, kawasan Kembang Jepun adalah kawasan pusat perkulkan terbesar di Indonesia Timur. Dari sinilah sebagian besar barang berbagai jenis, mulai dari bahan bangunan, ATK, barang makanan, dan lain-lain dikirim ke berbagai daerah di Indonesia Timur, terutama ke Papua, Maluku, dan sebagian Kalimantan.

Foto di bawah ini adalah pemandangan kegiatan perdagangan di Kembang Jepun sehari-hari. Gedung sebelah kanan warna biru adalah kantor Harian Jawa Pos pertama kalinya, sekarang adalah kantor Harian Memorandum (Grup Jawa Pos) (Sumber foto: travelboogie - WordPress.com):

Kegiatan dagang sehari-hari di Kembang Jepun (foto: travelboogie - WordPress.com)
Kegiatan dagang sehari-hari di Kembang Jepun (foto: travelboogie - WordPress.com)

Bersambungan lurus dengan Jalan Kembang Jepun adalah Jembatan Merah. 

Jembatan Merah menjadi bernilai sejarah, karena di sinilah terjadi kontak bersenjata pertama kali antara pasukan sekutu (Inggris) dengan arek-arek Suroboyo, yang bermula dari tewasnya komandan pasukan Inggris  Jenderaal Mallaby, yang meletuskan perang besar di kota Surabaya pada 10 November 1945.

Disebut Jembatan Merah, atau dalam bahasa Belanda: "Roode Brug," bukan karena pernah terjadi pertumbahan darah di atas jembatan itu, tetapi karena pagar jembatan itu berwarna merah. Nama "Roode Brug" sudah ada setidaknya pada 1890, terbukti dari sebuah foto kuno yang juga dipamerkan di Musem Surabaya:

Roode Brug, Jembatan Merah di tahun 1890 (sumber: djawatempoedoeloe.multiply,com)
Roode Brug, Jembatan Merah di tahun 1890 (sumber: djawatempoedoeloe.multiply,com)
Jembatan Merah, sekarang (sumber: eastjava.com)
Jembatan Merah, sekarang (sumber: eastjava.com)
Demikianlah ulasan saya tentang Museum Surabaya dan sejarah Gedung Siola tempat museum itu berada.

Museum Surabaya tidak besar (tidak luas), tetapi benda-benda bersejarah koleksinya sudah cukup menggambarkan kepada pengunjung mengenai sejarah Surabaya tempo dulu, khsusunya menyangkut benda-benda yang pernah digunakan mulai dari era 1800-an sampai dengan 1990-an.

Satu kritik buat Museum Surabaya adalah penggunakan bahasa Indonesia-nya yang terkesan masih belepotan,dan tidak memenuhi kaidah EYD yang baik. 

                                                                                                                                                                    *****

Artikel terkait:

Mudahnya Perpanjangan SIUP Online di Surabaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun