Lokasi Museum Surabaya berada di Lantai Dasar Gedung SIOLA, sebuah gedung cagar budaya, yang berada di pojok jalan antara Jalan Genteng Kali (gedung bagian samping) dengan Jalan Tunjungan (gedung bagian depan), dan hanya berjarak beberapa ratus meter dari gedung bersejarah lainnya: Hotel Majapahit.
Hotel Majapahit adalah hotel yang di zaman penjajahan Belanda bernama Oranje Hotel, dan di zaman pendudukan Jepang bernama Hotel Yamato.
Hotel ini menjadi hotel bersejarah, ketika pada 20 September 1945 massa rakyat, arek-arek Suroboyo,mendatangi hotel tersebut untuk melakukan protes kepada opsir-opsir sekutu dan Belanda dari AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) yang menempati hotel tersebut dengan mengibar bendera Belanda: Merah-Putih-Biru.
Massa rakyat menuntut bendera Belanda itu segera diturunkan, diganti dengan bendera Merah-Putih, karena Indonesia sudah merdeka, dan di seluruh Surabaya sedang berkibar Merah-Putih.
Karena tuntutan tak dipenuhi, terjadilah kericuhan, yang menewaskan seorang opsir Belanda dan seorang pejuang, massa rakyat pun menerobos masuk hotel, beberapa orang di antaranya lalu naik ke atap hotel, menurunkan bendera Belanda, menyobek warna birunya, lalu mengibarkannya kembali sebagai bendera Merah-Putih.
Sejarah Gedung SIOLA berawal dari tahun 1877 ketika gedung itu untuk pertama kalinya dibangun oleh investor berkebangsaan Inggris bernama Robert Laidlaw (1856-1935), pemilik Whiteaway Laidlaw & Co., salah satu perusahaan ritel terbesar di dunia ketika itu (sekarang, kira-kira seperti Carreefour sekarang). Di gedung yang baru dibangun itu ia membuka pusat perkulakan dengan nama: “Het Engelsche Warenhuis,” Toko Serba Ada Inggris.
Saat Jepang masuk, Gedung tersebut diambil-alih oleh pengusaha dari Jepang, dan mengganti namanya menjadi Toko Chiyoda. Toko Chiyoda adalah toko kopor dan tas terbesar di Surabaya. Tas dan kopor Chiyoda sangat populer, sehingga banyak orang ikut-ikutan membuka toko tas dan kopor di sekitar toko itu.
Pengaruh Chiyoda masih ada sampai sekarang, yaitu di Jalan Gemblongan yang bersambungan lurus dengan Jalan Tunjungan, dan Jalan Praban yang simpangan dengan Jalan Tunjungan, masih ada toko-toko yang menjual tas dan kopor.
Masa jaya Chiyoda tak lama, setelah Jepang menyerah kalah kepada sekutu, Toko Chiyoda ditutup. Pemiliknya kembali ke Jepang. Gedung itu menjadi kosong.
Saat pecah perang 10 November 1945 antara rakyat Surabaya dengan pasukan sekutu, Gedung Chiyoda digunakan sebagai salah satu basis pertahanan rakyat Surabaya dari gempuran pasukan sekutu. Akibatnya gedung itu dijadikan sasaran tembakan tank-tank pasukan sekutu, sehingga membuatnya rusak berat dan terbakar.
Setelah perang melawan sekutu berakhir, gedung eks-Toko Chiyoda itu dibiarkan menjadi gedung rusak yang tak terurus sampai dengan 1950. Saat Presiden Soekarno melakukan nasionalisasi terhadap aset-aset pemerintahan kolonial, Pemerintah Kota Surabaya mengambil-alih gedung tersebut menjadi aset Pemkot Surabaya.
Pada 1960, lima orang pengusaha, yaitu Soemitro, Ing Wibisono, Ong, Liem dan Ong mengontrak ged1877ung tersebut dari Pemkot Surabaya. Mereka memperbaiki dan merenovasi gedung tersebut dengan tetap mempertahankan bentuk aslinya, lalu membuka pusat toko grosir di situ, yang diberi nama dari singkatan nama-nama mereka sendiri, yaitu SIOLA. Sejak itulah gedung itu dikenal masyarakat Surabaya dengan nama Gedung SIOLA, sampai sekarang.
SIOLA segera menjadi kebanggan warga Surabaya di masa itu, menjadi semacam “mall” pertama di Surabaya, menjadi ikon kota Surabaya. Bahkan sampai sekarang pun ketika tulisan nama “SIOLA” sudah tidak ada lagi di gedung tersebut, ia masih tetap disebut sebagai Gedung SIOLA.
Masa kejayaan Siola berlangsung sekitar 28 tahun lamanya.
Ketika harus bersaing dengan pusat-pusat perbelanjaan baru dan lebih moderen ketika itu, di antaranya adalah Pasar Atum, Pasar Turi, Delta Plaza (sekarang Surabaya Plaza) dan Tunjungan Plaza (saat itu baru ada Tunjungan Plaza 1, sekarang Tunjungan Plaza 5, dan sedang dibangun Tunjungan Plaza 6), SIOLA tak mampu lagi bersaing, akhirnya ia mengikuti jejak sejarah pengusaha-pengusaha pendahulunya, ditutup pada 1998.
Di masa-masa itu di Gedung SIOLA juga sempat dijadikan pusat perdagangan barang-barang elektronika, seperti televisi, kulkas, mesin cuci, dan lain-lain, dengan nama Tunjungan Center, semacam Glodok di Jakarta, tetapi akhirnya tutup juga.
Ketika itulah muncul gagasan untuk membuka Museum Surabaya di eks-gedung SIOLA tersebut.
Museum Surabaya
Sebelumnya, Bu Risma sudah cukup lama ingin Surabaya punya sebuah museum sendiri yang mengoleksi benda-benda bersejarah bagi kota Surabaya. Tetapi gagasannya itu terpaksa dipendam sementara karena biaya untuk membangun sebuah gedung baru untuk museum itu diperkirakan minimal menelan anggaran sebesar 40 miliar rupiah. Bu Risma berpikir, daripada menghabiskan anggaran sebesar itu “hanya” untuk untuk sebuah museum, lebih baik anggaran itu digunakan untuk membangun infrastruktur di kota Surabaya.
Sampai suatu ketika ada celetukan dari seorang staf kepada Bu Risma, yang dialupa siapa, mengusulkan kepadanya untuk membuka museum Surabaya di eks-gedung SIOLA yang sedang mangkrak itu. Itu suatu ide yang sangat bagus, pikir Bu Risma, tanpa perlu keluar biaya besar, gedung sudah tersedia, Museum Surabaya sudah bisa diwujudkan.
Namun kalau hanya membuka Museum Surabaya di sana, tentu Gedung SIOLA yang terdiri dari 3 lantai itu terlalu besar, maka muncullah ide Bu Risma untuk memindahkan sebagian kantor Pemkot Surabaya ke sana, khususnya untuk pelayananan terhadap masyarakat.
Maka dibukalah Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) Pusat di sana yang terdiri dari 11 SKPD, di antaranya: Dinas kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Tanah dan Bangunan, Badan Lingkungan Hidup, Bakesbangpol Linmas, Dinas PU Cipta Karya dan Tata Ruang, Dinas Perdagangan dan Perindustrian, Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Dinas Perhubungan, Dinas Kebersihan dan Pertamanan dan Dinas Tenaga Kerja.
Setelah gedung eks-SIOLA itu selesai direnovasi, dan siap digunakan, saat dilakukan bersih-bersih di lantai dasar, tempat di mana museum akan dibuka, Bu Risma dengan penuh semangat ikut terjun bersama anak buahnya mengerjakannya. Tanpa risih sedkitpun Bu Risma pun ikut membantu mengelap lantai tersebut.
Setelah museum diresmikan, menyusul kemudian UPTSA Pusat diresmikan pada 15 Juli 2015 oleh Bu Risma juga.
Maka perjalanan panjang salah satu gedung bersejarah di kota Surabaya, yang kini berusia 139 tahun itu pun sampai pada dijadikannya dia sebagai Museum Surabaya dan pusat UPTSA, sekarang. Meskipun demikian, ia masih tetap disebut masyarakat Surabaya dengan nama Gedung SIOLA.
Jadi, ketika kita bertanya, di manakah letak Museum Surabaya dan UPTSA Pusat, maka orang pasti menjawabnya: “Di Gedung Siola.”
Koleksi Museum Surabaya
Koleksi Museum Surabaya meliputi lebih dari 1.000 benda bersejarah bagi kota Surabaya, sejak dipimpin oleh Wali Kota Surabaya pertama di zaman Belanda (burgermesteer): Mr. A Meyroos (1916-1921) sampai dengan Wali Kota yang sekarang, Tri Rismaharini (Bu Risma).
Koleksinya tidak terbatas pada benda-benda bersejarah pemerintah kota Surabaya, tetapi juga benda-benda lainnya yang pernah menjadi bagian dari sejarah kota Surabaya secara umum, termasuk benda milik warga Surabaya yang historis dan legendaris, seperti replika biola milik pencipta lagu Indonesia Raya, Wage Rudolf Supratman, biola Srimulat, piano kuno milik penyanyi Gombloh yang terkenal dengan lagunya: Kugadaikan Cintaku, dan Kebyar-Kebyar, becak berwarna putih dan biru: rupanya di Surabaya tempo dulu ada becak khusus siang hari (berwarna putih), dan becak malam (becak berwarna biru), bajaj dan angguna (mobil angkutan serba guna), kursi dan meja sekolah di era tahun 1950-an - 1970-an, wayang kulit, wayung Potehi, buku-buku catatan kelahiran, kematian yang ditulis tangan yang dibuat pada 1800-an, buku arsip nama-nama orang Belanda yang dikubur di pemakan khusus orang belanda di Peneleh dan Ngagel, ketel uap abad ke-18, mesin ketik dan mesin hitung kuno, dan sebagainya.
Di luar samping gedung museum, terdapat juga sebuah lokomotif uap kuno berwarna hitam yang pernah digunakan di zaman Belanda.
Setelah Belanda berhasil diusir lagi dari Indonesia, pada 1945 barulah dimulai wali kota Surabaya dari bangsa Indonesia sendiri, dimulai dari Indrakoesoema, sampai pada yang sekarang, Tri Rismaharini (Bu Risma).
Tidak jauh dari foto-foto Wali Kota Surabaya itu, dipamerkan di atas meja yang diberi pelindung kaca tertutup puluhan tanda penghargaan yang pernah diraih Kota Surabaya, baik penghargaan nasional, maupun internasional.
Dua set meja dan kursi yang sudah ada di Balai Kota Surabaya sejak wali kota pertama yang berkebangsaan Belanda (awal 1900). Didesain oleh seorang arsitek terkenal Belanda di era itu, GC Citroen, yang juga mendesain beberapa bangunan di Surabaya. Desain Citroen selalu mempunyai ciri khas yang unik, yaitukebanyakan memiliki sudut-sudut yang lurus dan sandaran kursi melengkung, dengan garis-garis yang tegas. Terbuat dari kayu jati murni seluruhnya, kondisinya masih sangat baik:
BEMO, mulai beroperasi di Surabaya pada 1962. Tujuaan diadakan kendaraan beroda 3 ini sebenarnya untuk menggantikan becak, tetapi malah kehilangan pamornya di tahun 1970-an, akhirnya menghilang dari Surabaya.
Kendaaran yang dimodifikasi dari Mitsubishi L300 pick-up dicat kuning ini merupakan angkutan umum khas Surabaya, karena tidak ditemukan di kota lain di Indonesia. Didesain dengan tempat duduk penumpang dua baris berjajar depan-belakang, dengan menyisakan ruang bagi di bagian belakang dalam wujud bak terbuka mirip pick-up.
Angguna pertama kali beroperasi di Surabaya pada 1980-an, dan sempat menjadi angkot favorit warga Surabaya, karena bisa ditawar-tawar harganya. Angguna melayani penumpang berdasarkan tarif yang disepakati. Kalah bersaing dengan angkutan umum lainnya, Angguna tamat riawayatnya pada 2013-2014:
Wayang Potehi adalah kesenian wayang dari daratan Tiongkok Selatan yang dibawa oleh para pendatang dari sana ke Tanah Jawa, dan kini telah menjadi bagian dari budaya/kesenian Indonesia, berpadu dan beradaptasiu dengan seni serupa di Jawa.
Saat Jepang menjajah, kawasan ini menjadi terkenal dengan sebutan “kembang Jepun”, karena banyak teman-teman wanita (“kembang”) Jepang (Jepun) yang tinggal di kawasan itu. Dari sinilah berasal nama Jalan Kembang Jepun, sampai sekarang. Di kawasan ini masih terdapat beberapa toko yang sudah ada sejak zaman Belanda ketika foto ini dibuat, di antaranya adalah Rumah Makan "Kiet Wan Kie."
Ketika Presiden Soeharto mulai berkuasa, seiring dengan semangat anti-Cina yang dideklarasikan, gapura berarsitektur Tionghoa tersebut dibongkar.
Foto di bawah ini adalah pemandangan kegiatan perdagangan di Kembang Jepun sehari-hari. Gedung sebelah kanan warna biru adalah kantor Harian Jawa Pos pertama kalinya, sekarang adalah kantor Harian Memorandum (Grup Jawa Pos) (Sumber foto: travelboogie - WordPress.com):
Bersambungan lurus dengan Jalan Kembang Jepun adalah Jembatan Merah.
Jembatan Merah menjadi bernilai sejarah, karena di sinilah terjadi kontak bersenjata pertama kali antara pasukan sekutu (Inggris) dengan arek-arek Suroboyo, yang bermula dari tewasnya komandan pasukan Inggris Jenderaal Mallaby, yang meletuskan perang besar di kota Surabaya pada 10 November 1945.
Disebut Jembatan Merah, atau dalam bahasa Belanda: "Roode Brug," bukan karena pernah terjadi pertumbahan darah di atas jembatan itu, tetapi karena pagar jembatan itu berwarna merah. Nama "Roode Brug" sudah ada setidaknya pada 1890, terbukti dari sebuah foto kuno yang juga dipamerkan di Musem Surabaya:
Museum Surabaya tidak besar (tidak luas), tetapi benda-benda bersejarah koleksinya sudah cukup menggambarkan kepada pengunjung mengenai sejarah Surabaya tempo dulu, khsusunya menyangkut benda-benda yang pernah digunakan mulai dari era 1800-an sampai dengan 1990-an.
Satu kritik buat Museum Surabaya adalah penggunakan bahasa Indonesia-nya yang terkesan masih belepotan,dan tidak memenuhi kaidah EYD yang baik.
*****
Artikel terkait:
Mudahnya Perpanjangan SIUP Online di Surabaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H