Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Persembahan Medali Emas dan "Persembahan" Hujatan di HUT Proklamasi RI

20 Agustus 2016   22:38 Diperbarui: 20 Agustus 2016   23:20 2148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lewat kemenangan Owi dan Butet, Tuhan memberi pertanda kepada bangsa Indonesia bahwa dengan persatuan dan kesatuan di dalam perbedaan, Indonesia akan menjadi bangsa yang terkuat dan juaea di banyak bidang di dunia ini (Sumkber gambar: Tribunnews.com)

Bukan kebetulan pasangan ganda campuran bulutangkis Indonesia Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir berhasil meraih medali emas Olimpiade Rio 2016 persis di HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-71, Rabu, 17 Agustus 2016. Inilah kado termanis dan paling istimewa yang telah mereka persembahkan kepada negaranya. Republik ini tentu saja menerimanya dengan suka cita.

Owi dan Butet, sapaan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir, di final, menang mudah atas pasangan Malaysia, Chan Peng Soon/Goh Liu Ying dua set langsung, 21-14 dan 21-12 di Riocentro, Rio de Janeiro, Brasil, Rabu (17/8/2016).

Mereka adalah ganda campuran pertama kali dalam sejarah bulutangkis Indonesia yang mempersempahkan emas bagi negaranya di ajang Olimpiade, setelah pada 1992 untuk pertama kalinya pula tunggal putri dan tunggal putra bulutangkis Indonesia: Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma membuat Indonesia tercatat untuk pertama kalinya sebagai negara yang berhasil mendapat emas di ajang Olimpiade.

Medali emas yang dipersembahkan oleh Owi dan Butet itu adalah medali emas satu-satunya yang bisa diraih oleh Indonesia.

Tuhan sengaja memberi kesempatan kepada Owi dan Butet yang berhasil mempersempahkan medali emas itu persis pada HUT Proklamasi Kemerdekaan RI sebagai pertanda dan pengingat kepada bangsa ini bahwa dengan bersatu di dalam perbedaan bangsa ini bisa menjadi terkuat dan juara.

Owi dan Butet merupakan lambang dari kebhinekaan yang tunggal ika yang dimiliki dan yang membuat bangsa ini bisa tetap eksis dan semakin kuat.

Owi adalah seorang “pribumi”, Muslim, kelahiran Banyumas, Jawa Tengah, sedangkan Butet, atau biasa disapa oleh para sahabat sesama pemain pelatnas dengan panggilan “Ci Butet” adalah seorang Tionghoa, Kristen, kelahiran Manado, Sulawesi Utara.

Rabu, 17 Agustus 2016 itu merupakan hari penentuan terakhir bagi Indonesia apakah bisa meraih emas di Olimpiade Rio 2016 itu ataukah tidak sama sekali, karena semua pemain bulutangkis harapan Indonesia lainnya sudah tumbang terlebih dahulu. Sedangkan Indonesia tidak lagi ikut di pertandingan cabang olah raga lainnya.

Di tengah-tengah kondisi bangsa ini yang dicoba diganggu oleh isu-isu politik SARA, persis pada tanggal 17 Agustus 2016, pasangan campuran yang berbeda etnis, agama dan budaya itu bersatu mempersempahkan emas  Olimpiade Rio 2016 satu-satunya buat Indonesia.

Di arena olahraga permasalahan etnis, suku bangsa, agama, budaya, memang sudah lama bukan merupakan masalah. Itu dikarenakan di dalam dunia olah raga sangat dijunjung tinggi nilai-nilai sportifitas, kejujuran, dan prestasi.

Tetapi, tidak demikian dengan di dunia politik di Indonesia, latar belakang etnis, suku bangsa, dan agama bisa jadi masalah besar. Dipolitisir, bahkan sangat sering dijadikan senjata untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya, dan pesaingnya dalam meraih suatu jabatan tinggi, seperti bupati, walikota, gubernur, bahkan presiden.

Hal tersebut dikarenakan oleh beberapa faktor, di antaranya yang terpenting adalah faktor primodialisme yang masih kental, ketidakdewasaan berpikir, wawasan dan nasionalisme sempit, dan pendidikan rakyat yang rata-rata masih banyak yang rendah.

Hal tersebut dipersubur dengan budaya politik yang masih menghalalkan segala cara dalam mencapai maksud dan tujuan pribadi, maupun kelompok.

Dengan latar belakang demikian tidaklah heran jika kalau di dunia olah raga persis di hari peringatan HUT Proklamasi RI yang ke-71 ini sepasang atlet yang berbeda etnis dan agama bersatu kuat dan juara mempersembahkan medali emas Olimpiade bagi negaranya, maka di dunia politik hal sebaliknya yang justru “dipersembahkan” oleh para pecundang politik penghalal segala cara demi mencapai cita-cita dan ambisi politik mereka.

Persis di hari peringatan HUT Proklamasi RI mereka justru “mempersembahkan” hujatan, pelecehan, kebencian dan fitnah kepada para pimpinan negara ini.

Peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI bukan diisi dengan pernyataan-pernyataan semangat persatuan dan kesatuan, malah diisi dengan pernyataan-pernyataan politik yang penuh dengan kebencian dan hujatan.

Doa untuk Menghujat Presiden Jokowi

Di saat diberi kesempatan untuk memimpin doa bersama di sidang paripurna tahunan DPR-RI yang membahas Rancangan Undang-Undang RAPBN 2017, Selasa, 16 Agustus 2016, anggota DPR dari Fraksi Gerindra, Muhammad Syafi'i justru memanfaatkannya untuk menyerang Presiden Jokowi dengan doanya itu.

Tiada rasa sungkan dan tiada rasa hormat sedikitpun dia kepada Presiden Jokowi dan Wakil presiden Jusuf Kalla yang saat itu hadir juga di situ.

Meskipun tidak menyebutkan nama secara langsung, siapapun tahu siapa yang dimaksud yang disebut-sebut Muhammad Syafi’i di dalam doa politiknya itu.

Doa yang seharusnya suci dan menyejukkan, memohon Tuhan memberi berkah kepada pimpinan dan bangsa ini malah diisi dengan pernyataan-pernyataan politik yang menyerang dan mengutuk pemerintahan Jokowi-JK, yang kemudian ditutup dengan harapan agar jika bisa pemerintahan tersebut diganti.

Doa yang kemudian diunggah di YouTube itu pun langsung mendapat reaksi netizen, yang sebagian besar mengecamnya.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf Amin pun mengritik doa itu. Menurutnya, seharusnya dalam memanjatkan doa tidak boleh berisi kritikan atau sindiran pada siapapun. Sebab, esensi doa adalah memanjatkan keinginan dan harapan yang berisi hal-hal yang baik saja.

Tindakan anak buah Prabowo Subianto itu sesungguhnya telah mempermalukan partainya sendiri, tetapi tampaknya mereka justru merasa bangga. Buktinya mereka sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalahnya, sebaliknya justru menyangkal doaitu dimaksud untuk menyerang Jokowi.

Seharusnya Muhammad Syafi’i itu dalam doanya itu meminta kepada Tuhan agar kader-kader Gerindra terbebas dari perilaku korupsi, janganlah mengikuti jejak salah satu kader kebanggaan mereka di DPRD DKI, Muhammad Sanusi, yang kini berada di dalam tahanan KPK.

Keterlaluan juga, di sebuahlembaga terhormat seperti DPR hal tersebut bisa terjadi begitu saja dengan lancar.

Di media sosial, termasuk di Kompasiana ini saja ada batasan kebebasan berekspresi, ada etikanya, yang jika dilanggar maka pesan atau artikel yang melanggar itu pasti dihapus.

Isi dari doa atau lebih tepat disebut pernyataan dan serangan politik kepada Presiden Jokowi itu mengingatkan kita pada masa kampanye Pilpres 2014.

Di kala itu, saat berkampanye, dalam beberapakali orasinya Prabowo juga menyindir Jokowi sebagai capres pembohong, capres pengkhianat, capres boneka, dan capres antek asing.

Selain isu dan fitnah SARA terhadap Jokowi, di Pilpres 2014 itu juga disebarkan kampanye yang menyebutkan mereka yang tidak memilih Prabowo Subianto adalah antek asing.

Antek Asing

Kebiasaan tersebut belum juga berubah sampai sekarang, dan rupanya sudah menjadi semacam “trade mark” kubu Prabowo Subianto dan Gerindra.

Pada hari dengan doa politik menyerang Presiden Jokowi itu (Selasa, 16 Agustus 2016) beredar pula di media sosial orasi Prabowo Subianto di hadapan kader Partai Gerindra yang menyebutkan bahwa siapa yang tidak mendukung Sandiaga Uno (dipilgub DKI) adalah antek asing.

Video itu berasal mula dari video yang diunggah oleh Sandiaga Uno sendiri di akun Face Book-nya.

Di dalam video lain di Facebook Sandiaga itu, juga terlihat Sandiaga bersama Prabowo dan Ahmad Dhani sedang menyanyi di rumah joglo yang sama.

"Jadi, saya harap, kalau kau hormat sama Prabowo, kalau kau cinta sama Prabowo, kalau kau setia sama Prabowo, bantulah Sandiaga Uno,"demikian Prabowo Subianto di dalam video itu, yang disambut dengan sorak-sorai oleh hadirin.

Kemudian Prabowo melanjutkan: "Yang tidak dukung Sandiaga Uno, antek asing, Saudara-saudara!"

Jadi, tiga parpol pendukung Ahok: Nasdem, Hanura, Golkar, dan sebentar lagi hampir pasti: PDIP, dan semua warga DKI yang tidak mau memilih Sandiaga Uno itu semua adalah antek asing, menurut Prabowo?

Saya jadi bertanya-tanya, dengan kalimat yang digunakan Prabowo itu: “Kalau kau hormat sama Prabowo ..., kalau kau cinta sama Prabowo ..., kalau kau setia sama Prabowo ...”

Kok, hormat, cinta, dan setia, semuanya kepada Prabowo? Bukan kepada warga DKI Jakarta? Bukankah pemilihan gubernur itu demi kepentingan dan kebaikan warga Jakarta, bukan Prabowo Subianto?

Terkesan kuat adanya semangat primodialisme yang masih mengental di sini, yang menghendaki pusat dari kekuasaan itu berada pada seorang Prabowo Subianto.

Sandiaga Uno pun sangat setuju dan senang sengan pernyataan Prabowo itu, oleh karena itulah ia mengunggahnya di akun Face Book-nya itu, disertai dengan ucapan terima kasihnya kepada Prabowo.

Di bawah video unggahannya itu Sandiaga menulis:

"Saya siap berjuang demi kemajuan Ibu Kota dan saya akan selalu siap memperjuangkan nasib rakyat kecil. Jakarta untuk semua golongan! #TuntasIkhlas #MenujuDKI1 #DemokrasiSejuk."

Bagaimana demokrasi bisa sejuk, jika Anda terus-menerus memprovokasi pengikut Anda dengan berbagai informasi tak benar menjurus pada fitnah seperti itu, demikian juga dengan pihak Anda yang kerap menyerang lawan-lawan politik kalian dengan berbagai ujar-ujar kebencian SARA?

Setelah video itu menuai banyak kecaman di dunia maya, Sandiaga buru-buru membuat klarifikasi membela Prabowo, kata dia, pernyataan Prabowo: “Yang tidak pilih Sandiaga Uno adalah antek asing” itu ditujukan hanya kepada internal partai saja, bukan untuk umum (warga DKI Jakarta).

Ini penjelasan yang tidak jelas khas politikus hipokrit.

Jadi, maksudnya bagaimana? Kalau kader Gerindra tapi tidak pilih Sandiaga Uno itu berarti dia antek asing, tetapi bagi warga DKI Jakarta yang berhak memilih di pilgub nanti, kalau dia tidak memilih Sandiaga Uno bukan berarti dia antek asing? Alur berpikir dan logikanya itu bagiamana?

Kenapa tidak berterus terang saja, kalau maksud Prabowo itu memang ingin memanfaat nasionalisme sempit warga Jakarta dengan isu antek asingnya itu.

Semoga juga Sandiaga Uno masih ingat dengan janjinya bahwa jika ia sudah terpilih sebagai calon gubernur DKI, maka ia akan menjelaskan kepada publik mengenai 8 perusahaan off-shore-nya di dokumen Panama Papers. Kenapa diam-diam ia mendirikan sampai 8 perusahaan off-shore-nya itu, dan bagaimana dengan pembayaran pajaknya kepada negara.

Kapan Sandiaga Uno menjelaskan tentang 8 perusahaan off-shore-nya di Panama Papers ini? (sumber:https://offshoreleaks.icij.org/)
Kapan Sandiaga Uno menjelaskan tentang 8 perusahaan off-shore-nya di Panama Papers ini? (sumber:https://offshoreleaks.icij.org/)
Berbanding terbalik dengan penjelasan Sandiaga Uno yang tidak jelas itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon, justru membenarkan bahwa pernyataan Prabowo tentang antek asing itu berlaku untuk siapa saja yang tidak memilih Sandiaga.

Padahal Fadli Zon sendiri yang justru pernah mempertontonkan kepada publik bahwa dirinya itu adalah “antek asing.”

Pada Oktober 2015, bersama dengan Setya Novanto, saat melakukan kunjungan ke Amerika Serikat dalam kapasitas mereka sebagai anggota DPR-RI, Fadli dan Setya justru mempermalukan bangsa Indonesia, dengan merendahkan dirinya kepada bakal calon presiden Amerika Serikat Donald Trump, mereka mencatut nama rakyat Indonesia dengan mengatakan rakyat Indonesia kagum dan mendukung Trump sebagai presiden AS.

Aksi mereka Fadli Zon dan Setya Novanto itu pun dilengkapi dengan berbagai foto selfie sambil cengengesandengan Donald Trump, dan beberapa simpatisan perempuan Trump.

Siapa yang Antek Asing?

Prabowo, Sandiaga, dan Fadli juga lupa bahwa adalah adik Prabowo sendiri, Hashim Djojohadikusomo pernah pada Juli 2013  dengan tegas mengatakan bahwa Prabowo Subianto dan juga dia (Hashim) adalah dua orang yang sangat kagum dan sangat pro-Amerika Serikat. Pernyataan itu disampaikan Hashim di hadapan orang-orang Amerika Serikat di acara USINDO Washington Special Forum Luncheon yang berlangsung di Washinton DC,

USINDO adalah kependekan dari The United States – Indonesia Society, forum lobi kalangan pengusaha, yayasan, dan individu dalam mengembangkan hubungan Indonesia-Amerika Serikat. Usindo berkantor pusat di Washington DC, Amerika Serikat.

Penjelasan Hashim tentang Prabowo (juga dia) yang sangat pro-Amerika itu dijelaskan (dalam bahasa Inggris) sebagai berikut:

“Jadi, Prabowo adalah seseorang yang sangat pro-Amerika, dia sekolah SMA di Amerika, sekolah sebelum SMA juga Amerika. Dia mengambil sekolah komando pasukan khusus di Fort Benning, Fort Bragg. Saya juga pro-Amerika. Sampai beberapa saat yang lalu, saya seorang investor di California, investor besar, bisnis minyak.

Jadi, ya, Amerika Serikat akan menjadi partner yang mendapat perlakuan khusus di dalam pemerintahan yang dipimpin oleh Partai Gerindra." (sumber).

Sebuah meme yang beredar di media sosial sebagai respon pernyataan Prabowo tentang yang tidak pilih Sandiaga adalah antek asing (Twitter)
Sebuah meme yang beredar di media sosial sebagai respon pernyataan Prabowo tentang yang tidak pilih Sandiaga adalah antek asing (Twitter)
Pernyataan Hashim tentang Prabowo (dan dia) yang sangat pro-Amerika itu dimaksud untuk melunakkan hati pemerintah AS yang telah memasukkan nama Prabowo Subianto ke daftar hitam orang-orang yang dilarang masuk ke negara tersebut, karena dianggap sebagai salah satu tokoh utama pelanggaran HAM di Indonesia, termasuk bertanggung jawab dalam peristiwa Tragedi Mei 1998.

Hashim , dan tentu saja Prabowo sangat mengharapkan dengan demikian pemerintah Amerika Serikat berkenan menghapus nama Prabowo dari black list tersebut, dan agar Amerika bersedia mendukung Prabowo di Pilpres 2014. Demi untuk itu mereka berjanji, jika Prabowo menjadi Presiden, Amerika akan mendapat perlakuan khusus.

Upaya itu gagal total.

Bagaimana Kepalanya, Begitu Pula dengan Ekornya.

Salah satu ekor itu bernama Ahmad Dhani, musisi frustrasi yang tak pernah bercermin untuk mengukur kepantasannya atas ambisinya menjadi gubernur DKI Jakarta.

Dia sangat membenci Jokowi dan Ahok. Karena Jokowi telah mengalahkan Prabowo pujaan hatinya di Pilpres 2014, sedangkan Ahok adalah dwi-tunggal dari Jokowi.

Kebenciannya dan rasa dengkinya terhadap Ahok semakin memuncak ketika Ahok naik menjadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan Jokowi yang menjadi Presiden, berprestasi, dan memperoleh semakin banyak dukungan dari berbagai kalangan.

Ketika pemilihan gubernur DKI 2017 semakin dekat, dan Ahok berpeluang terpilih kembali, Ahmad Dhani pun semakin uring-uringan, dengan menghalalkan berbagai cara pun ia lakukan untuk mencegah Ahok terpilih kembali. Seperti babi hutan yang terluka, siapapun yang dianggap mendukung Ahok akan diserang habis-habisan, tak perduli siapapun dia.

Salah satu caranya yang paling sering digunakan adalah menyerang Ahok dengan menyebarkan kebencian etnis dan agama yang dianut Ahok. Padahal dia sendiri mencari nafkah dari boss-nya yang beretnis dan beragama yang sama dengan Ahok (Hary Tanoesoedibjo, boss Net TV).

Sama dengan para kepalanya di atas, di hari HUT Proklamasi Kemerdekaan RI yang ke-71, tepat pada tanggal 17 Agustus 2016, Ahmad Dhani juga justru memanfaatkan momen tersebut untuk melecehkan dan  mengekspresikan sekaligus memprovokasi warga dengan ujar-ujar kebenciannya terhadap kepada Presiden Jokowi, kepada beberapa menteri Jokowi, kepada Ahok, kepada parpol-parpol pendukung Ahok, juga kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Hal tersebut disampaikan saat ia menjadi pembina upacara 17 Agustus kawasan Pasar Ikan di Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu, 17 Agustus 2016.

Dia mengatakan, upacara kemerdekaan yang diadakan di Pasar Ikan itu lebih khidmat dibanding yang digelar di Istana Negara, apalagi di Balai Kota (tempat Ahok sebagai inspektur upacara), yang disebutnya penuh dengan retorika palsu.

Jokowi disebutnya sebagai presiden yang tidak punya sejarah, hanya tukang mebel yang gagal mengurus ratusan karyawannya.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan yang juga petinggi Partai Hanura, Wiranto; demikian juga dengan Golkar dan Nasdem yang mengusung Ahok disebutnya sebagai para pengkhianat (bangsa).

“... Biarkan (para) pengkhianat bersatu biar jelas tahun 2017 siapa pengkhianat, siapa yang mendukung rakyat. Biarkan Wiranto menulis sejarah dia, apakah prajurit atau pengkhianat. Kalau saya ketemu jenderal itu, saya akan bilang Wiranto pengkhianat!"

Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan juga disebut seorang pengkhianat, karena ketika menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, dia melindungi kebijakan Ahok dalam mengizinkan reklamasi di Teluk Jakarta.

"Luhut pengkhianat. Saya mengatakan ini dan saya tidak takut mati," katanya.

Melihat gelagat PDIP juga akan mengusung Ahok, Ahmad Dhani pun berkata untuk Megawati: "Biarkan Megawati menulis sejarahnya sendiri, apakah dia sejajar dengan Soekarno  atau berbanding terbalik.”

Ahmad Dhani sedang menulis sejarahnya, dan kita tahu seperti apa orang ini.

Dia sudah bernazar, akan pindah dari Jakarta, pindah ke Depok atau Bekasi, jika Ahok terpilih lagi sebagai Gubernur DKI Jakarta. Namun, kita sudah tahu, seperti apa jika yang bernazar itu orang seperti Ahmad Dhani. Lagi pula, dia belum bertanya, apakah orang Depok dan Bekasi bersedia menerima “buangan” dari Jakarta ini. *****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun