Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf Amin pun mengritik doa itu. Menurutnya, seharusnya dalam memanjatkan doa tidak boleh berisi kritikan atau sindiran pada siapapun. Sebab, esensi doa adalah memanjatkan keinginan dan harapan yang berisi hal-hal yang baik saja.
Tindakan anak buah Prabowo Subianto itu sesungguhnya telah mempermalukan partainya sendiri, tetapi tampaknya mereka justru merasa bangga. Buktinya mereka sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalahnya, sebaliknya justru menyangkal doaitu dimaksud untuk menyerang Jokowi.
Seharusnya Muhammad Syafi’i itu dalam doanya itu meminta kepada Tuhan agar kader-kader Gerindra terbebas dari perilaku korupsi, janganlah mengikuti jejak salah satu kader kebanggaan mereka di DPRD DKI, Muhammad Sanusi, yang kini berada di dalam tahanan KPK.
Keterlaluan juga, di sebuahlembaga terhormat seperti DPR hal tersebut bisa terjadi begitu saja dengan lancar.
Di media sosial, termasuk di Kompasiana ini saja ada batasan kebebasan berekspresi, ada etikanya, yang jika dilanggar maka pesan atau artikel yang melanggar itu pasti dihapus.
Isi dari doa atau lebih tepat disebut pernyataan dan serangan politik kepada Presiden Jokowi itu mengingatkan kita pada masa kampanye Pilpres 2014.
Di kala itu, saat berkampanye, dalam beberapakali orasinya Prabowo juga menyindir Jokowi sebagai capres pembohong, capres pengkhianat, capres boneka, dan capres antek asing.
Selain isu dan fitnah SARA terhadap Jokowi, di Pilpres 2014 itu juga disebarkan kampanye yang menyebutkan mereka yang tidak memilih Prabowo Subianto adalah antek asing.
Antek Asing
Kebiasaan tersebut belum juga berubah sampai sekarang, dan rupanya sudah menjadi semacam “trade mark” kubu Prabowo Subianto dan Gerindra.
Pada hari dengan doa politik menyerang Presiden Jokowi itu (Selasa, 16 Agustus 2016) beredar pula di media sosial orasi Prabowo Subianto di hadapan kader Partai Gerindra yang menyebutkan bahwa siapa yang tidak mendukung Sandiaga Uno (dipilgub DKI) adalah antek asing.