Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Tjipta Lesmana Merasa Lebih Tahu daripada Ahok dan Megawati

17 Maret 2016   15:14 Diperbarui: 4 April 2017   17:52 9371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="."][/caption]Di Mata Najwa, Metro TV, Rabu malam kemarin (16/3), saat ditanya Najwa Shihab, bagaimana hubungannya dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, setelah ia memutuskan maju di pilkada DKI 2017 lewat jalur independen, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, menjawab bahwa hubungan dia dengan Megawati tetap baik-baik saja.

"Saya bilang ke Ibu Mega, saya sudah putuskan, ikut Teman Ahok, dengan segala risiko. Ibu katakan, gak gampang, lho. Ya, sudah, Bu, kalau ternyata, saya tidak bisa ikut, PDIP gak mau dukung saya, ya, sudah, kalau butuh saya kampanye untuk Pak Djarot yang maju, saya akan kampanyekan buat Pak Djarot. Saya gak jadi gubernur gak masalah.”

“Bu Mega bilang apa?” tanya Najwa

“Diam, diam aja beliau,” jawab Ahok.

“Diam aja?”

Ahok berkata, “Tapi, (Bu Mega) suruh makan bakso terus, saya. ...” disambut suara tertawa para hadirin dan Najwa.

“Saya sama Bu Mega, kalau beliau masih (mau) makan (bersama) berarti beliau masih oke,” jelas Ahok.

Najwa Shihab kemudian memutar kilas balik saat Ahok bersama Megawati hadir di salah satu acara Mata Najwa, yang menunjukkan betapa mesranya hubungan Megawati dengaN Ahok. Ketika itu, di Mata Najwa, Ahok mengambil posisi sebagai pembawa acara, yang mewawancarai Megawati.

Sepenggal kisah pertemuannya dengan Megawati yang diceritakan Ahok itu adalah pertemuan dia dengan Megawati di kediaman Megawati, di Jalan Teuku Umur, Menteng, Jakarta Pusat, pada Selasa malam (8/3) lalu, setelah dua hari sebelumnya (Minggu), dia bertemu dengan Teman Ahok di kediaman pribadinya di Pantai Mutiara, Pluit, Jakarta Utara, yang berujung pada diumumkannya keputusannya untuk ikut jalur independen bersama Heru Budi Hartono itu.

Karena respek dan merasa sungkan dengan Megawati, Ahok meminta bertemu dengannya  untuk menyampaikan secara langsung keputusannya itu, sekaligus menjelaskan kenapa dia memutuskan demikian.

Dengan tangan terbuka Megawati pun menerima kedatangan Ahok ke rumahnya itu, lalu terjadilah pertemuan tersebut. Bagaimana suasana dalam pertemuan itulah yang diceritakan sedikit oleh Ahok di Mata Najwa, Rabu malam kemarin.

Logikanya, kalau benar Megawati marah besar kepada Ahok, mana mungkin dia mau menerima Ahok di kediamannya itu, apalagi dijamu makan segala, meskipun menu utamanya hanyalah bakso. Jangankan Ahok, SBY yang nota bene Presiden, yang dimusuhi Megawati sejak 2004 saja, tidak pernah mau ditemui Megawati sampai detik ini. Beberapa kali SBY meminta bertemu denga Megawati, selalu ditolak.

Tjipta Lesmana: Ahok Membuat Megawati Sangat Marah, dan Ahok Ingin Menjauh dari Megawati

Siapa yang mengatakan bahwa setelah Ahok mengumumkan keputusannya bahwa dia ikut Teman Ahok lewat jalur perorangan, atau independen, Megawati langsung marah besar kepada Ahok? Katanya,  hubungan Ahok dengan Megawati yang semula sangat bagus, langsung memburuk, Ahok dianggapnya kurang ajar,  "anak durhaka", "Malin kUndang", dan seterusnya?

Orang yang mengatakan demikian itu adalah yang namanya Tjipta Lesmana, yang katanya adalah pakar komunikasi, tetapi cara dia sendiri berkomunikasi tidak lebih baik daripada cara dia menilai Ahok, yang selalu negatif. Menghakimi perilaku Ahok, tetapi tidak berdasarkan fakta, melainkan hanya berdasarkan prasangka-prasangka negatifnya saja.

Tjipta Lesmana mengutarakan pernyataannya tentang hubungan Ahok dengan Megawati itu, di acara Indonesia Lawyers Club (ILC), Selasa malam, 8 Maret lalu, berarti waktu yang sama, ketika Ahok sedang bersulaturahim dengan Megawati di rumah Ketua Umum PDIP itu.

Pada kesempatan di acara ILC  itu, Tjipta Lesmana menambah penghakimannya terhadap Ahok, setelah Ratna Sarumpaet melakukan hal yang sama.  

Tjipta Lesmana mengingatkan kepada Karni Ilyas bahwa ia adalah pakar komunikasi, seolah-olah dia mau bilang, karena itu penilaiannya pasti benar.

Agak aneh juga cara memposisikan duduknya Tjipta di acara ILC itu, karena sebagai seorang pengamat, seharusnya kan posisinya netral, meskipun ia bisa saja menilai negatif siapa saja secara obyektif. Tetapi, malam itu, posisi duduk Tjipta adalah berada di “kubu lawan Ahok”, dia ditempatkan duduk persis di sebelah Haji Lulung, “musuh bebuyutan” Ahok.

Menurut Tjipta, setelah Ahok mengumumkan ia ikut Teman Ahok melalui jalur independen itu, hubungan pribadi Ahok dengan Megawati yang semula sangat bagus, langsung memburuk. Ahok  dinilai sangat kurang ajar terhadap Megawati, tidak tahu balas budi, durhaka, “si Malin Kundang, dan sebagainya. Ahok juga dinilai langsung mengambil jarak dengan Megawati, seolah-olah tidak mau lagi duduk dekat-dekat dengan Megawati.

Tjipta mengatakan, sebagai pakar komunikasi,  dia mengamati cara duduk Ahok saat berdampingan dengan Megawati di suatu acara, -- entah acara yang mana. Kata dia, cara Ahok duduk sudah tidak wajar, Ahok mencondong tubuhnya ke samping, menjauhi Megawati, sedangkan Megawati diam saja.

Berikut adalah bagian transkip penilaian Tjipta Lesmana terhadap Ahok, di acara ILC itu:

“Saya khusus menyoroti kenapa PDIP meninggalkan Ahok. Ibu Mega ini marah sekali, Bung Karni, karena Djarot itu salah satu kader kesayangan Ibu Megawati. Saya tahu persis. Djarot itu, dilepas sama Ahok, marah Bu Mega, apalagi, investasi yang ditanamkan sudah banyak sekali, 2013. Yes, Ahok ini dianggap (oleh Bu Mega), maaf, kurang ajar, tidak tahu balas budi.”

“Jadi, ini masalah komunikasi juga.”

“Ahok kan sebetulnya sudah lobi-lobi. Hubungan pribadi Pak Ahok dengan Bu Mega sangat bagus sekali, hubungan pribadi. Nah, saat-saat terakhir, saya kan orang komunikasi, Pak Karni, saya perhatikan, posisi duduk Ahok, Ahok sudah begini, Bung Karni (sambil memperagakan cara Ahok yang duduk di samping Megawati dengan posisi memiringkan tubuh ke samping menjauhi Megawati).”

“Bu Mega masih diam saja, memang tipikal Bu Mega itu, diam, diam, diam. Seorang pemimpin, apalagi seorang negarawan, pada saat tertentu, dia harusspeak-up, harus, tetap Bu Mega lebih suka menggunakan bahasa tubuh, tidakspeak, tidakngomongbegitu,lho, Ahok rupanya sudahnggaksabar. Nah, saya ini,nggak taukenapa, Ahok ini seperti dikejar-dikejar. Saya khawatir, Ahok itu dikejar-kejar, ditekan oleh rombongan dari teman kita itu. Yang Teman Ahok itu, mereka jugapressure, Pak Karni.”

“ ‘Ee, kami sudah kerja keras, nih, kapan deklarasi, kapan deklarasi?!” Jadi kemungkinan adapressurejuga, nah, di tengah-tengah itulah, lalu dideklarasikan, ditinggalkan PDIP. ...”

[caption caption="."]

[/caption]Selanjutnya, Tjipta juga menilai Heru Budi Hartono, yang dipilih Ahok untuk mendampinginya di PIlkada DKI 2017. Tjipta bilang, ia sama sekali tidak tahu siapa itu Heru, oleh karena itu Ahok sangat keliru memilih Heru, Heru merupakan pasangan Ahok yang sangat lemah, katanya. Padahal, justru pengetahuannyalah yang lemah tentang Heru. Seenak saja menilai enteng orang lain, sembari meninggikan dirinya sendiri sebagai seorang pakar komunikasi yang hebat.  

Heru Budi Hartono yang saat ini menjabat sebagai Kepala Badan Pengelola Keuangan Aset dan Daerah (BPKAD) Pemprov DKI Jakarta itu sudah sejak 2013 merupakan salah orang pilihan dan andalan Jokowi bersama Ahok.

Ketika masih sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi-lah yang menarik Heru, yang ketika itu adalah Kepala Bagian Prasarana dan Sarana Perkotaan Kota Jakarta Utara untuk bergabung dengan tim kerjanya di Balai Kota, dengan kedudukan sebagai Kepala Biro Daerah dan Kerja Sama Luar Negeri, lalu diangkat menjadi Wali Kota Jakarta Utara, setelah itu dipercaya Ahok sebagai Kepala Badan Pengelola Keuangan Aset dan Daerah Pemprov DKI, yang mengelola APBD DKI sejumlahlebih dari Rp. 70 triliun

Tjipta juga membandingkan Ahok dengan Yusril Ihza Mahendra, sembari memuji-muji kehebatan Yusril di bidang hukum, dengan prestasinya memenangkan kasus-kasus hukum besar. Seolah-olah mengurus kasus hukum itu bisa dibandingkan dengan mengurus sebuah provinsi, apalagi sekelas Ibu Kota dengan sekitar 70.000 PNS, dan rakyatnya sebanyak 12 jutaan jiwa, dengan berbagai persoalan nan pelik mulai dari masalah birokrasi, sosial, politik, ekonomi, maupun hukum.

Tjipta lupa bagaimana gagal totalnya Yusril untuk hanya mengurus sebuah partai politik sekecil Partai Bulan Bintang (PBB) itu, sehingga untuk mendapatkan cuma satu kursi di parlemen pun tidak mampu.

Tjipta juga menyatakan dirinya yakin seyakin-yakinnya Yusril akan dengan mudah mengalahkan Ahok dengan menggunakan senjata kasus hukum yang sedang menjerat Ahok, yaitu kasus pembelian Rumah Sakit Sumber Waras. Yusril akan menohok telak Ahok dengan kasus hukum itu, dan, "Saya yakin seyakin-yakinnya Ahok akan langsung keplek, keplek," katanya, yang disambut tertawa riang para lawan Ahok yang menguasai arena LCI itu.

Padahal sampai dengan kemarin (16/3), KPK sudah dua kali mengatakan belum ditemukan indikasi adanya tindak pidana korupsi di pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras itu. Saya yang yakin, hanya tinggal tunggu waktunya saja, keluar pernyataan final KPK, KPK memutuskan menghentikan penyelidikan kasus Sumber Waras, karena tidak ditemukan  bukti kasus korupsinya.

Pada saat itulah, Tjipta Lesmana dan kawan-kawannya itu yang akan keplek-keplek. 

Itulah yang terjadi, jika yang mengaku sebagai pakar komunikasi mau menjadi pakar politik juga.

Pengamat politik dari LIPI, Ikrar Nusa Bhakti, di acara Mata Najwa itu, berkata, ada dua mantan menteri yang berencana menantang Ahok di pilkada DKI 2017 itu (Yusril Ihza Mahendra dan Adhyaksa Dault), tetapi menurutnya menjadi menteri tidak sama dengan menjadi gubernur (DKI Jakarta). Menjadi menteri itu lebih gampang daripada menjadi gubernur (DKI Jakarta).

“Kalau menjadi menteri, kan yang diurusi itu bagaimana sekjen-nya, bagaimana birokratnya, sedangkan menjadi gubernur bukan birokrat lokal saja, tetapi ada pemerintah pusat di situ, ada DPRD, belum lagi DPRD yang mau cawi-cawi ikut dalam politik Jakarta. Jadi, menjadi gubernur DKI Jakarta itu jauh lebih sulit daripada menjadi menteri, menurut saya. Karena rakyat Jakarta juga menjadi bagian yang diperhitungkan untuk akuntabilitas politik dia.”

Tjipta Lesmana Merasa Lebih Tahu tentang Ahok-Mega daripada Ahok-Mega Sendiri

Kembali mengenai hubungan antara Ahok dengan Megawati, setelah Ahok mengumumkan dia ikut Teman Ahok di jalur independen itu.

Tjipta Lesmana yang  merasa seolah-olah dirinya lebih tahu daripada Ahok dan Megawati sendiri tentang hubungan mereka berdua itu, sudah dengan jelas-jelas mengatakan hubungan keduanya menjadi sangat buruk, gara-gara Ahok "si anak durhaka." Megawati marah besar kepada Ahok, karena menilai Ahok kurang ajar, tidak tahu balas budi, dan sebagainya. Sedangkan Ahok, kata dia, mulai menjaga jarak dengan Megawati. Saat duduk berdampingan saja, Ahok mencondongkan dirinya ke samping menjauh dari Megawati.

Pernyataan orang yang mengaku sebagai pakar komunikasi itu juga seolah-olah dia lebih tahu sikap PDIP terhadap Ahok, daripada PDIP sendiri.

Faktanya, kedua orang itu sendiri tidak merasakan seperti penghakiman Tjipta Lesmana itu.

Seperti yang saya sebutkan di atas, jika benar Megawati sangat marah kepada Ahok, menganggapnya sangat kurang ajar, durhaka, dan sebagainya itu, gara-gara Ahok memilih jalur independen, maka tidak mungkin dia mau bertemu dengan Ahok, apalagi sampai dua kali, dan berbincang-bincang dengannya, pakai acara makan bakso segala.

Sebelum pertemuan di rumah Megawati itu, Ahok juga sudah bertemu dengan Megawati, saat keduanya menghadiri acara Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Konferensi Islam (KTT OKI), Senin, 7 Maret 2016. Pada kesempatan itu pula, Ahok menjelaskan posisinya yang serba dilematis itu kepada Megawati: Harus segera memnentukan pilihan ikut Teman Ahok, atau menunggu kepastian usungan PDIP kepadanya.

Ahok menceritakan pertemuannya itu dengan Megawati kepada sejumlah wartawan di Balai Kota. Menurut Ahok, pada prinsipnya Megawati bisa memaklumi posisinya. Mega juga tak mau Teman Ahok sebagai representasi suara anak-anak muda Jakarta dikeceewakan.

Ahok berkata kepada Megawati, dia dan Teman Ahok berharap, Mega mau merelakan Djarot maju sebagai calon wakilnya Ahok, dengan harapan PDIP juga mau memutuskan, apakah mau mengusung atau mendukung Ahok. Tetapi, Megawati menjawab bahwa semua itu memerlukan waktu dan ada mekanisme partai yang harus ditaati.

Ahok memang berada di posisi yang dilematis, sebagaimana dia sudah jelaskan berkali-kali. Sebenarnya, tanpa dijelaskan pun kita seharusnya mengerti.

Batas waktu pendaftaran calon independen itu adalah Juli 2016, sedangkan Teman Ahok masih memerlukan perjuangan keras untuk terus mengumpulkan KTP dukungan terhadap Ahok, agar terpenuhi syarat target minimal 1 juta untuk memastikan amannya posisi Ahok nantinya. Pendafatarn calon independen itu juga masih harus melalui proses verifikasi semua KTP itu satu per satu oleh KPU DKI.

Sedangkan jika Ahok belum juga mengambil keputusannya, dan masih menunggu kepastian usungan dari  dari parpol, terutama PDIP, sampai batas waktu yang tidak memungkinkan lagi bagi Teman Ahok melakukan pendaftaran dengan berbagai persyaratan berat, di antaranya proses verisikasi KTP itu, bagaimana jika ternyata PDIP berubah pikiran, dan batal mengusung Ahok?

Jika itu yang terjadi, maka Ahok pasti kalah sebelum bertarung. Karena ia tak mungkin lagi bisa maju di Pilkada DKI 2017, karena peluang di jalur independen sudah tertutup, dan ternyata, PDIP batal mengsungnya. “Mengharapkan hujan di langit, air di tempayan dicurahkan.” Mengharapkan partai (PDIP) mendukungnya, kesempatan maju di jalur independen di lepas, ternyata parpol tak jadi mengusungnya.

Itulah alasan sebenarnya Teman Ahok mendesak Ahok agar sesegera mungkin ambil keputusannya tentang jadi ikut mereka, ataukah ikut parpol (PDIP). Sedangkan PDI sebagai sebuah parpol mempunyai proses dan mekanisme yang relatif lama.

Ahok akhirnya memutuskan ikut Teman Ahok, karena ia tidak ingin Teman Ahok pada khususnya, warga DKI Jakarta, dan rakyat pada umumnya kehilangan kepercayaan kepadanya.

"Saya lebih baik tidak jadi gubernur, tetapi dipercaya, daripada jadi gubernur, tetapi tidak lagi dipercaya!"  Ahok menyebut prinsipnya itu di di acara Mata Najwa itu.

PDIP Masih membuka Peluang Mendukung Ahok

Wakil Sekjen DPP PDIP, Erico Sotarduga mempertegas kebenaran bahwa  setelah Ahok memutuskan memilih jalur independen di Pilkada DKI 2017, hubungan Ahok dengan Megawati tetap tidak berubah. Tetap sangat harmonis, bahkan kata dia, hubungan kedua tokoh itu, seperti hubungan ibu dengan anaknya saja.

"Hubungan itu lebih ke kekeluargaan. Hubungannya masih sangat baik. Kami rasa tidak ada apa-apa dengan pilihan Ahok melalui jalur independen," ujar Erico di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (12/3) (sumber).

Lebih jauh lagi, bukan tak mungkin pada saat-saat terakhir, PDIP akan mengumumkan mereka mendukung Ahok maju di Pilkada DKI 2017, mengikuti jejaknya Partai NasDem dan Hanura.

Indikasinya ada.

Setelah pernyataan Sekretaris DPD PDIP DKI Prasetyo Edi Marsudi yang juga Ketua DPRD DKI yang mengatakan Ahok telah melakukan deparpolisasi dengan putusannya ikut jalur independen itu membuat heboh dunia politik Indonesia, PDIP DKI pun buruh-buruh mengklarifikasi ucapan Praseyo itu.

Ketua DPD PDI Perjuangan DKI Boy Sadikin meminta maaf atas ucapan  Prasetio Edi Marsudi itu.  Menurut dia, pernyataan Prasetio kurang tepat dan tidak mewakili partai.

"Saya minta maaf kalau ada kader kami begitu. Kenapa sih menjadi seperti seram sekali soal calon independen? Itu kan biasa-biasa saja. Kenapa seperti kebakaran jenggot," ujar Boy di kediamannya, Jumat (11/3/2016) (sumber).

Tak lama kemudian keluar surat edaran dari DPP PDIP, yang menyatakan PDIP tetap mendukung Ahok dan Djarot sampai dengan masa bakti mereka berakhir pada Oktober 2017. Juga diserukan kepada semua kader PDIP agar jangan membuat kegaduhan politik sepanjang menjelang Pilkada DKI Jakarta itu.

Dapat diduga diterbitkan surat edaran itu, sebagai pertanda PDIP masih memberi peluang untuk ikut mendukung Ahok di saat-saat akhir menjelang.

Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno mengatakan, instruksi dalam surat tersebut harus dibaca dalam rangka menegaskan posisi partainya kepada Ahok. "Tujuan surat untuk meluruskan komitmen PDIP," kata Hendrawan Supratikno ketika dihubungi merdeka.com di Jakarta, Minggu (12/3).

Hendrawan mengatakan, instruksi tersebut bukan untuk menarik dukungan kepada Ahok. Malah, kata dia, terdapat kesamaan antara idealisme Ahok, kerja TemanAhok dengan partai pimpinan Megawati Soekarnoputri ini.

"Yang jelas dalam banyak hal, kerja-kerja Ahok merupakan kalibrasi ideologis PDIP. Basis ideologis dan sosiologis Teman Ahok memiliki kesamaan dengan basis ideologis-sosiologis PDIP," jelas dia.

Pernyataan PDIP ini sungguh berbanding terbalik 180 derajat dengan pengamat sok tahu yang bernama Tjipta Lesmana sebagaiman sudah diuraikan di atas.

 

Jika hubungan Ahok dengan Megawati sampai sedemikian buruknya, sebagaimana dinyatakan Tjipta Lesmana tersebut di atas, kisah hubungan dan komunikasi Megawati dengan Ahok yang bak ibu dengan anak, dan masih terbukanya peluang pDIP mendukung Ahok itu, mustahil terjadi. *****

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun