Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Belang DPR Terkuak, Jokowi akan Mantapkan Penolakan terhadap Revisi UU KPK

17 Februari 2016   20:08 Diperbarui: 18 Februari 2016   06:29 3132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Badan Legislasi (Baleg) DPR akan membawa draf revisi UU KPK yang telah mereka susun ke rapat Paripurna DPR untuk disahkan menjadi RUU inisiatif DPR, Kamis ini (18/2).

Dari isi draf revisi UU KPK yang sudah disusun itulah semakin jelas terlihat macam apa sebenarnya “gerombolan” politikus di DPR itu dalam memanfaatkan jabatan mereka merancang “kejahatan terselubung" untuk melemahkan, atau melumpuhkan KPK melalui revisi UU KPK.

Sebutan “gerombolan” untuk para anggota DPR itu, dan “kejahatan terselubung” untuk perbuatan mereka terkait rancangan pelemahan KPK itu adalah sebutan yang tepat, cocok, tidak berlebihan.

Betapa tidak orang-orang itu namanya saja wakil rakyat, tetapi mereka justru berkomplot melawan aspirasi rakyat. Rakyat menghendaki tidak perlu diadakan revisi UU KPK, karena tahu revisi itu hanya dimanfaatkan mereka untuk memperlemahkan KPK, tetapi mereka tidak mau tahu itu. Mereka terus berkomplot dengan menghalalkan segala cara agar pelemahan terhadap KPK itu segera terwujud demi kepentingan kelompoknya.

Karena rakyat telah menolak revisi UU KPK dengan maksud untuk melemahkan KPK itu, maka seharusnya DPR sudah kehilangan legitimasinya untuk meneruskan pembahasan rancangan revisi tersebut. Tetapi, karena memang DPR tidak bekerja untuk kepentingan rakyat, tetapi demi kepentingan kelompoknya, maka persoalan legitimasi rakyat itu diabaikan mereka.

Itikad tidak baik DPR itu juga terlihat dengan tidak pernah mereka  mengajak KPK untuk bersama-sama membahas rancangan revisi UU KPK, padahal KPK-lah pelaksana Undang-Undang tersebut. 

Cara mereka untuk mencapai maksud tersebut sungguh jauh dari perilaku anggota parlemen, lebih dekat dengan perilaku, maaf, para bandit dalam mengamankan kepentingan-kepentingan komplotannya.

Karena reputasinya dalam memenjarakan banyak koruptor kakap, mulai dari anggota DPR, DPRD, petinggi parpol, bupati, walikota, gubernur, sampai dengan menteri dan pejabat tinggi negara lainnya, KPK menjadi lembaga negara yang paling dipercaya rakyat.

Sebaliknya dengan DPR, yang selalu menjadi langganan salah satu lembaga negara yang paling tidak dipercaya rakyat. Salah satu penyebabnya adalah karena kerap juga anggota-anggotanya menjadi pelanggan pesakitan KPK.

Rakyat mengharapkan KPK semakin kuat, agar bisa semakin efektif dalam membersihkan negara ini dari para koruptor, supaya cita-cita negara makmur, dan rakyat sejahtera lebih cepat dapat terwujud.

Sebaliknya, gerombolan yang secara formal disebut “anggota DPR” di parlemen menghendaki sebaliknya. Hasrat besarnya adalah memperlemahkan, memperlumpuhkan, jika bisa membunuh KPK.

Supaya apa? Apalagi kalau bukan supaya para koruptor bisa kembali leluasa menggarong uang rakyat/negara, tanpa takut lagi bisa ditangkap KPK.

Bukankah ini pantas disebut sebagai suatu “kejahatan tersembunyi”?

Kelakuan para anggota DPR seperti tersebut di atas jelas terlihat dari isi draf revisi UU KPK yang sudah diselesai dikerjakan Baleg DPR, pada Kamis ini (18/2) akan dibawa ke rapat paripurna DPR agar disahkan sebagai RUU KPK hasil revisi.

Ternyata, isi draf rancangan perubahan UU KPK yang dibuat Baleg DPR itu berbeda dengan getleman agrement (kesepakatan tak tertulis) antara komisioner terdahulu KPK dan pemerintah.

**

Pada November 2015, antara komisioner KPK periode lalu dengan Presiden Jokowi (pemerintah) telah bersepakat bahwa revisi UU KPK yang akan dilakukan itu adalah benar-benar harus memperkuatkan KPK, yang terdiri dari empat poin.

Empat poin itu tentang kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan; menerbitkan SP3; pemberian kewenangan untuk mengangkat penyelidik, penyidik, dan penuntut umum; serta pembentukan dewan pengawas KPK.

Berdasarkan pembahasannya, Baleg DPR menyusun draf revisi RUU KPK itu seolah-olah sama dengan empat poin kesepakatan tersebut, tetapi ternyata isinya telah dimanipulasi sedemikian rupa, sehingga menjadi ketentuan-ketentuan yang melemahkan KPK.

Sebagai perbandingan, misalnya terkait dewan pengawas, KPK mengusulkan tugas dewan itu hanya mengawasi etika dan perilaku pimpinan KPK, memeriksa pelanggaran etika dan pedoman perilaku yang dilakukan pimpinan KPK, serta menyampaikan hasil pemeriksaannya kepada presiden dan pimpinan KPK.

Namun, dalam draf yang disusun Baleg DPR, dewan pengawas juga bertugas memberikan izin penyadapan dan penyitaan. Laporan kerja dewan pengawas juga disampaikan kepada DPR.

Terkait penyadapan, dalam usulan KPK disebutkan, cukup berdasarkan surat perintah yang ditandatangani pimpinan KPK dan dapat dilakukan di tahap penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan. Penyadapan juga tak perlu izin dewan pengawas.

Dalam draf yang disusun Baleg DPR juga disebutkan, penyidik KPK berasal dari kepolisian, kejaksaan, dan penyidik pegawai negeri sipil. Ini berbeda dalam usulan KPK bahwa komisi itu berhak mengangkat penyidik independen (sendiri).

Terkait SP3, KPK mengusulkan hanya dikeluarkan ketika tersangka/terdakwa meninggal atau ada penetapan hakim yang menyatakan tersangka/terdakwa tak layak diperiksa di depan pengadilan. Namun, dalam draf yang disusun Baleg DPR hanya disebutkan bahwa SP3 dikeluarkan jika ada alasan dan bukti yang cukup. 

Frasa "jika ada alasan dan bukti yang cukup" berpotensi besar menimbulkan multitafsir, sehingga kelak akan dengan mudah dipermainkan oleh pihak berkepentingan dalam kasus, bermain mata dengan KPK agar diterbitkan SP3.

Ketentuan sekarang, yang tidak memberi wewenang kepada KPK menerbitkan SP3, agar KPK sebelum memroses dan menetapkan seseorang sebagai tersangka, bekerja dengan ekstra hati-hati dalam mengusut suatu perkara korupsi. Tidak adanya SP3 ini menutup peluang jual-beli SP3 di KPK.

Lihatlah begitu kentalnya mental manipulatif yang terkandung di dalam draf yang disusun oleh Baleg DPR itu.

Dari situ pula kita bisa melihat dengan jelas maksud tersembunyi di balik penyusunan draf dari Baleg itu, yakni memperlemahkan KPK, melindungi koruptor.

Dalam diskusi publik Menuju Upaya Penguatan KPK yang diselenggarakan MMD Initiative di Jakarta, Selasa kemarin, 16/2, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, mengatakan, karena isi draf yang disusun Baleg DPR tersebut ternyata isinya melemahkan KPK, maka berdasarkan pertimbangan itu, kini KPK berpendapat tak perlu ada revisi UU KPK.

"Setelah berembuk dan melihat draf (revisi UU), kami lihat itu malah melenceng dari gentlemen agreement. Karena melenceng dari hal itu, KPK katakan tidak perlu revisi UU KPK," kata Laode (Koran Kompas, Selasa, 16/2/2016).

Jadi, sekarang, setelah rakyat, KPK sebagai pelaksana dari UU KPK itu pun sudah menyatakan menolak revisi UU KPK dengan alasan tersebut di atas.

Tinggal sekarang, yang kita tunggu adalah bagaimana sikap pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi sendiri terhadap rencana revisi UU KPK hasil inisiatif DPR itu, karena maksud terselubung DPR untuk memperlemahkan KPK itu kini semakin terbuka dan jelas.

Saat DPR “membuang” mantan Juru Bicara KPK, Johan Budi, dari salah satu calon komisioner KPK, Presiden Jokowi malah merekrutnya masuk Istana Negara sebagai Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi.

Masuknya Johan Budi dalam lingkaran Istana, justru membuka peluang sebesar-besarnya bagi Jokowi untuk meminta masukkan dari Johan Budi terkait rancangan revisi UU KPK itu. Dengan pengalamannya selama belasan tahun di KPK, tentu Johan akan memberi masukan-masukan berharga kepada Jokowi.

Sejak awal, Johan Budi selalu konsisten dengan sikapnya yang selalu menolak berbagai upaya pelemahan KPK melalui revisi UU KPK itu, tidak terkecuali yang sekarang.

Semoga hal ini dapat semakin memperkuat keyakinan Jokowi untuk secara tegas dan berani menyatakan pemerintah menolak pembahasan rancanga revisi UU KPK itu.

Johan Budi menegaskan, sikap dan komitmen Presiden Jokowi tidak pernah berubah, yaitu tidak akan melemahkan KPK. "Dari dulu, sikap Presiden jelas dan tegas, revisi UU KPK hanya untuk menguatkan KPK, bukan untuk melemahkan," ujar Johan, kemarin.  

Terkait isi draf revisi UU KPK yang disebut melemahkan KPK, Johan mengakui belum mengetahui karena itu masih hak inisiatif DPR. "Sidang Paripurna DPR baru Kamis esok (18/2). Setelah diputuskan, DPR akan mengirim materinya kepada pemerintah. Di situ, Presiden baru tahu seperti apa isinya. Jika isinya melemahkan KPK, Presiden akan menolak dan menarik diri dalam pembahasan revisi UU KPK di DPR," kata Johan.

Ya, pada saat itulah, Jokowi akan melihat maksud sebenarnya DPR yang hendak melemahkan KPK melalui  revisi UU KPK itu. Pada saat itulah Jokowi memantapkan prinsipnya: karena sudah jelas dan pasti revisi UU KPK inisiatif DPR itu tidak lain dari upaya pelemahan KPK, maka Jokowi akan mengumumkan: Pemerintah menolak melanjutkan pembahasan terhadap rancangan revisi UU KPK!

Melalui draf revisi UU KPK itu belang DPR pun terkuak, sekaligus akan membuat Jokowi semakin mantap memastikan pemerintah menolak melanjutkan pembahasan terhadap revisi UU KPK itu.

Selasa (16/2), Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mendatangi Gedung KPK dengan membawa dan membunyikan kentongan sebagai simbol penanda bahaya terkait pembahasan revisi UU KPK di DPR. Koalisi Masyarakat Sipil menganggap, dalam revisi tersebut, substansi yang digagas oleh partai politik DPR cenderung membahayakan independensi KPK dan menghambat kerja KPK.

Sebaiknya, Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi itu mendatangi juga Gedung DPR dan membunyikan kentongan-kentongannya di sana, siapa tahu bisa mengusir banyak setan dari sana. ****

 

 

Sumber: Koran "Kompas", Rabu, 17/2/2016

Artikel terkait:

Sampai di Mana Keberanian Jokowi Diuji?

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun