Dalam draf yang disusun Baleg DPR juga disebutkan, penyidik KPK berasal dari kepolisian, kejaksaan, dan penyidik pegawai negeri sipil. Ini berbeda dalam usulan KPK bahwa komisi itu berhak mengangkat penyidik independen (sendiri).
Terkait SP3, KPK mengusulkan hanya dikeluarkan ketika tersangka/terdakwa meninggal atau ada penetapan hakim yang menyatakan tersangka/terdakwa tak layak diperiksa di depan pengadilan. Namun, dalam draf yang disusun Baleg DPR hanya disebutkan bahwa SP3 dikeluarkan jika ada alasan dan bukti yang cukup.
Frasa "jika ada alasan dan bukti yang cukup" berpotensi besar menimbulkan multitafsir, sehingga kelak akan dengan mudah dipermainkan oleh pihak berkepentingan dalam kasus, bermain mata dengan KPK agar diterbitkan SP3.
Ketentuan sekarang, yang tidak memberi wewenang kepada KPK menerbitkan SP3, agar KPK sebelum memroses dan menetapkan seseorang sebagai tersangka, bekerja dengan ekstra hati-hati dalam mengusut suatu perkara korupsi. Tidak adanya SP3 ini menutup peluang jual-beli SP3 di KPK.
Lihatlah begitu kentalnya mental manipulatif yang terkandung di dalam draf yang disusun oleh Baleg DPR itu.
Dari situ pula kita bisa melihat dengan jelas maksud tersembunyi di balik penyusunan draf dari Baleg itu, yakni memperlemahkan KPK, melindungi koruptor.
Dalam diskusi publik Menuju Upaya Penguatan KPK yang diselenggarakan MMD Initiative di Jakarta, Selasa kemarin, 16/2, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, mengatakan, karena isi draf yang disusun Baleg DPR tersebut ternyata isinya melemahkan KPK, maka berdasarkan pertimbangan itu, kini KPK berpendapat tak perlu ada revisi UU KPK.
"Setelah berembuk dan melihat draf (revisi UU), kami lihat itu malah melenceng dari gentlemen agreement. Karena melenceng dari hal itu, KPK katakan tidak perlu revisi UU KPK," kata Laode (Koran Kompas, Selasa, 16/2/2016).
Jadi, sekarang, setelah rakyat, KPK sebagai pelaksana dari UU KPK itu pun sudah menyatakan menolak revisi UU KPK dengan alasan tersebut di atas.
Tinggal sekarang, yang kita tunggu adalah bagaimana sikap pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi sendiri terhadap rencana revisi UU KPK hasil inisiatif DPR itu, karena maksud terselubung DPR untuk memperlemahkan KPK itu kini semakin terbuka dan jelas.
Saat DPR “membuang” mantan Juru Bicara KPK, Johan Budi, dari salah satu calon komisioner KPK, Presiden Jokowi malah merekrutnya masuk Istana Negara sebagai Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi.