Supaya apa? Apalagi kalau bukan supaya para koruptor bisa kembali leluasa menggarong uang rakyat/negara, tanpa takut lagi bisa ditangkap KPK.
Bukankah ini pantas disebut sebagai suatu “kejahatan tersembunyi”?
Kelakuan para anggota DPR seperti tersebut di atas jelas terlihat dari isi draf revisi UU KPK yang sudah diselesai dikerjakan Baleg DPR, pada Kamis ini (18/2) akan dibawa ke rapat paripurna DPR agar disahkan sebagai RUU KPK hasil revisi.
Ternyata, isi draf rancangan perubahan UU KPK yang dibuat Baleg DPR itu berbeda dengan getleman agrement (kesepakatan tak tertulis) antara komisioner terdahulu KPK dan pemerintah.
**
Pada November 2015, antara komisioner KPK periode lalu dengan Presiden Jokowi (pemerintah) telah bersepakat bahwa revisi UU KPK yang akan dilakukan itu adalah benar-benar harus memperkuatkan KPK, yang terdiri dari empat poin.
Empat poin itu tentang kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan; menerbitkan SP3; pemberian kewenangan untuk mengangkat penyelidik, penyidik, dan penuntut umum; serta pembentukan dewan pengawas KPK.
Berdasarkan pembahasannya, Baleg DPR menyusun draf revisi RUU KPK itu seolah-olah sama dengan empat poin kesepakatan tersebut, tetapi ternyata isinya telah dimanipulasi sedemikian rupa, sehingga menjadi ketentuan-ketentuan yang melemahkan KPK.
Sebagai perbandingan, misalnya terkait dewan pengawas, KPK mengusulkan tugas dewan itu hanya mengawasi etika dan perilaku pimpinan KPK, memeriksa pelanggaran etika dan pedoman perilaku yang dilakukan pimpinan KPK, serta menyampaikan hasil pemeriksaannya kepada presiden dan pimpinan KPK.
Namun, dalam draf yang disusun Baleg DPR, dewan pengawas juga bertugas memberikan izin penyadapan dan penyitaan. Laporan kerja dewan pengawas juga disampaikan kepada DPR.
Terkait penyadapan, dalam usulan KPK disebutkan, cukup berdasarkan surat perintah yang ditandatangani pimpinan KPK dan dapat dilakukan di tahap penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan. Penyadapan juga tak perlu izin dewan pengawas.