Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kenapa Kita Layak Pesimis terhadap Pimpinan KPK yang Baru?

22 Desember 2015   23:40 Diperbarui: 23 Desember 2015   07:18 3467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya termasuk orang yang pesimis dengan lima pimpinan KPK yang baru (2015-2019), komitmen mereka dalam pemberantasan korupsi masih sangat diragukan. Memang mereka semua belum bekerja, baru saja dilantik Presiden (Senin, 21/12/2015), tetapi dilihat dari latar belakang, rekam jejak, integritas, sikap mereka terhadap masa depan KPK, dan menyetujui revisi UU KPK, maka tidak ada alasan yang bisa membuat kita optimis. Semoga saja kita yang pesimis ini salah.

Tidak mengherankan karena toh mereka adalah produk dari DPR, sedangkan kita tahu bahwa DPR adalah salah satu lembaga paling korup se-Indonesia, yang sudah bertahun-tahun memperjuangkan kepentingan mereka untuk melemahkan, kalau bisa membubarkan KPK.

Sangat mengherankan, suatu lembaga yang kental dengan kepentingan politik, dikenal paling korup, dengan integritasnya dan prestasi kerjanya yang sangat rendah, bersemangat melemahkan KPK, justru yang berwenang memilih dan menentukan pimpinan KPK.

Maka itu, pula DPR malah tidak memilih satu pun dari tiga calon yang berasal dari internal KPK, yaitu Busyro Muqoddas, Johan Budi, dan Sujanarko, yang jelas-jelas sudah sangat berpengalaman selama bertahun-tahun di KPK, termasuk dalam hal menangkap para koruptor kakap, termasuk paling banyak adalah anggota DPR dan para pejabat tinggi negara dari partai politik.

Mungkin karena trauma bisa mengalami nasib yang sama, maka yang DPR pilih justru lima orang baru yang komitmennya dalam pemberantasan korupsi diragukan. DPR memilih pimpinan KPK baru itu yang senafas dengan semangat mereka dalam melakukan revisi UU KPK.

Misalnya, Busyro yang sudah makan asam garam dalam hal penangkapan koruptor kakap, dan Johan Budi yang menolak revisi KPK, langsung disingkirkan. Johan mengatakan, lebih baik dia tidak dipilih, daripada diharuskan untuk setuju revisi UU KPK. Mulai 22 Desember ini pula Johan sudah menyatakan mundur total dari KPK, padahal dia masih berhak menjadi pegawai tinggi KPK dengan gaji Rp 40 juta per bulan.

Dugaan saya Johan memutus mundur karena sudah tahu pasti dia tidak akan merasa nyaman jika masih terus bekerja di KPK di bawah kepimpinan lima pimpinan KPK baru produk DPR tersebut.

Adapun faktor-faktor yang membuat DPR kesengsem dengan lima orang yang sudah mereka pilih sebagai pimpinan KPK yang baru itu adalah karena antara lain:

1. Agus Rahardjo (Ketua KPK):

Agus punya komitmen agar KPK berbagi tugas dengan Polri dan Kejaksaan. Nantinya, untuk kasus korupsi besar, KPK yang tangani, kasus korupsi kecil bagian Polri dan Kejaksaan, sedangkan untuk penuntutan, Agus setuju itu dikembalikan kepada Kejaksaan.

Bagaimana kriteria korupsi besar dan kecil itu? Tidak dirinci oleh Agus. Namun jika kita berpatokan pada Pasal 13 rancangan revisi UU KPK, ada disebutkan bahwa KPK hanya berwenang menangani kasus korupsi bernilai Rp. 50 miliar ke atas, di bawah itu adalah wewenang Polri/Kejaksaan, maka bisa jadi itulah juga kelak menjadi patokan dari Ketua KPK yang baru itu dalam berbagi tugas dengan Polri dan Kejaksaan.

Sedangkan wewenang penuntutan diserahkan kembali ke Kejaksaan diatur di Pasal 53 ayat 1 rancangan revisi UU KPK.

Hal ini sangat kontradiksi dari latar belakang, maksud dan tujuan pembentukan KPK, yang merupakan salah satu dari anak kandung perjuangan reformasi Indonesia, yang disebutkan di bagian menimbang dari Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK:

b. bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi;

c. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

2. Basaria Panjaitan (Wakil Ketua KPK):

Pimpinan KPK titipan Komjen (Polisi) Budi Gunawan (yang sempat dijadikan tersangka oleh KPK pimpinan Abraham Samad)  dan paling dijagokan PDIP itu menghendaki KPK lebih fokus dan menitikberatkan tugasnya pada pencegahan daripada penindakan korupsi, ia bercita-cita membuat KPK menjadi pusat informasi korupsi nasional.

“KPK akan kami jadikan pusat informasi data korupsi di seluruh Indonesia”, katanya kepada Komisi III DPR saat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan.

Ini juga senafas dengan rencana DPR dengan revisi UU KPK-nya itu, yang mengatur bahwa wewenang KPK akan dititikberatkan kepada pencegahan korupsi, sedangkan penindakan korupsi diserahkan kembali kepada Polri dan kejaksaan Agung.

Pasal 4 rancangan revisi UU KPK berbunyi: "Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pencegahan tindak pidana korupsi."

Padahal, dari namanya saja, “Komisi Pemberantasan Korupsi”, justru seharusnya tugas dan wewenang utama KPK adalah bidang penindakan, atau pemberantasan korupsi. Kalau memang revisi UU KPk itu mau membuat KPK lebih fokus pada pencegahan, janganlah tanggung-tanggung, ubah sekalian nama KPK menjadi “Pusat Informasi Korupsi,” supaya antara nama dengan kerjanya itu sesuai.

Bukan berarti pula bahwa selama ini KPK tidak memperhatikan bidang pencegahan, karena, seperti yang beberapakali dijelaskan oleh antara lain Johan Budi, KPK juga selama ini aktif secara smultan di bidang pencegahan, tetapi minim dari liputan media massa.

Menurut Majalah Tempo, Basaria adalah titipan Wakapolri Komjen Budi Gunawan. Seorang anggota DPR membenarkan hal itu, katanya, Budi lewat utusannya terus melobi para anggota Komisi III DPR agar meloloskan Basaria sebagai salah satu pimpinan KPK.

Dalam sejumlah jabatan, Budi beberapakali menjadi atasan Basaria.

Ketika Budi menjadi Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri pada 2010-2012, Basaria menjabat Kepala Pusat Provos. Tatkala Budi menjadi Kepala Lembaga Pendididkian dan Pelatihan Polri, Basaria lagi-lagi mengikuti karier Budi dengan menjadi Widyaiswara Madya Sekolah Pimpinan Polri di Lembang.

Tak heran, ketika ditanya wartawan tentang kasus Budi Gunawan, Basaria mengelak dengan menjawab, “Tanya Pak Johan Budi saja!”

Ruhut Sitompul, misalnya, adalah salah satu anggota Komisi III, yang mengaku pernah didekati Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur Inspektur Jenderal Asafarudin di Tengarong, Kutai Kartanegara, saat kampanye pemilihan kepala daerah pada 25 November lalu. Ruhut menuturkan, saat itu, Safarudin berpesan agar memilih Basaria menjadi pimpinan KPK.

Politikus Senayan lain yang didekati utusan Budi Gunawan adalah Brigadir Jenderal Purnawiraan (Polisi) Wenny Warouw dari Partai Gerindra. Utusan perwira yang mendekati Wenny adalah perwira menangah kepolisian resor wilayah DKI Jakarta. Pesannya sama, agar memilih Basaria sebagai pimpinan KPK.

Wenny dengan senang hati memenuhi permintaan itu, saat uji kelayakan dan kepatutan, dia memuji-muji Basaria, sebagai calon pimpinan KPK yang paling sempurna. “Dari semua calon, Anda yang paling siap,” katanya memuji Basaria.

Ternyata, Wenny pernah menjadi atasan Basaria juga di Kepolisian, tepatnya di Direktorat Tindak Pidana Khusus Markas Besar Kepolisian RI. Wenny menjabat Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus sejak 2006 hingga 2008. Pada tahun terakhir masa jabatan Wenny, Basaria masuk menjadi penyidik utama di direktorat tersebut.

Rupanya karena merupakan rekomendasi dari Budi Gunawan, yang nota bene pernah menjadi calon tunggal Kapolri atas rekomendasi dari Megawati Soekarnoputri/PDIP, maka selama uji kelayakan dan kepatutan, ia benar-benar dikawal oleh anggota Komisi III dari Fraksi PDIP., khususnya Trimedya Panjaitan, agar bisa dipastikan terpilih.

Uji kelayakan dan kepatutan terhadap Basaria merupakan satu-satunya ujian yang dihadiri Trimedya secara penuh. Dia duduk sejak awal uji kelayakan tanpa meninggalkan kursinya sedetik pun. Berbeda dengan uji kelayakan terhadap calon lain, Trimedya tidak menghadirinya.

Maka puja-puji pun diluncurkan dari mulut Trimedya kepada Basaria. Menurutnya Basaria adalah satu-satunya calon yang sempurna, memiliki rekam jejak bersih karena tidak pernah menjadi kepala kepolisian daerah. “Tak ada cacatnya,” katanya.

3. Alexander Marwata (Wakil Ketua kPK)

Rekam jejak Alex yang paling membuat anggota Komisi III sangat suka kepadanya adalah ketika dia menjadi hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dia sering sering memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) terkait penanganan kasus korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Salah satunya, saat Alex menilai mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi, karena itu harus dibebaskan..

"Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan primer dan subsider dan harus dibebaskan," kata Alexander dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (1/9/2014).

Tak heran anggota Komisi III DPR suka dengan rekam jejak Alex ini.

Jika ketika wartawan bertanya kepada Basaria Panjaitan tentang kasus Budi Gunawan, dijawab Basaria dengan, “Tanya Pak Johan saja!” Maka, ketika pertanyaan yang sama diajukan kepada Alexander Marwata, dia juga mengelak dengan menjawab, “Waduh, saya tidak tahu itu”.

4. Saut Situmorang

Pernyataan Saut Situmorang yang mungkin membuat anggota Komisi III DPR, terutama dari Fraksi PDIP dan Fraksi Partai Demokrat senang adalah saat dia mengatakan, jika ia terpilih menjadi pimpinan KPK, maka kasus BLBI dan Bank Century tidak akan ditindaklanjuti.

“Buat apa kalau perkara itu hanya membuat seorang jaksa Urip (Urip Tri Gunawan, penerima suap terkait BLBI) malah korupsi,” ucapnya. Menurutnya, kasus BLBI dan Century harus diabaikan. Alasannya, perkara itu terjadi karena sistem yang keliru.

Tentu saja dengan “janji”-nya itu membuat gembira para pengujinya yang berasal dari PDIP dan Demokrat, pasalnya, jika kasus BLBI yang diperkirakan merugikan negara lebih dari Rp. 600 triliun itu benar-benar diusut kembali secara mendalam, maka pasti Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri akan dipanggil untuk diperiksa, karena kasus itu terjadi ketika dia menjadi Presiden. Entah kemudian dia akan hanya sebagai saksi, ataukah tersangka.

Ketika Abraham Samad masih menjadi Ketua KPK, dia pernah (Januari 2014) mengeluarkan pernyataan bahwa KPK akan segera mengusut tuntas kasus BLBI ini. Menurutnya, kasus BLBI merupakan salah satu kasus yang punya resistensi besar. Karenanya, kasus itu akan menjadi perhatian lembaga antikorupsi tersebut sebelum masa pimpinan KPK periode sekarang berakhir. "Kalau kita sudah berakhir masa jabatan, takutnya mangkrak," kata dia.

Untuk itu, lanjut Abraham, KPK memastikan pula akan memanggil siapa pun pihak yang terkait dalam kasus SKL BLBI itu. Tak terkecuali Megawati Soekarnoputri yang saat kasus itu terjadi menjabat sebagai Presiden RI.

"KPK sudah pernah periksa JK mantan Wapres. Boediono saat masih Wapres kita juga periksa dalam kasus lain (Century). Apalagi Mega, dia kan sudah mantan (presiden)‎," kata Abraham seraya mengatakan tidak takut terhadap Ketua Umum PDIP tersebut.

Sejarah membuktikan, apa yang dikhawatirkan Abraham tentang kelanjutan pengusutan kasus BLBI ini pun terjadilah. Nasibnya pun berakhir tragis di KPK.

Demikian juga dengan kasus Bank Century, jika diusut kembali secara lebih mendalam, maka Ketua Umum Partai Demokrat sekaligus mantan Presiden dua periode, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga pasti diperika KPK, karena diduga kasus yang merugikan negara lebih dari Rp. 6 triliun itu diduga melibatkan SBY dan Partai Demokrat terkait Pilpres 2009.

Saut Situmorang juga mendukung KPK diberi kewenangan mengeluarkan SP3 (penghentian perkara). Alasannya,  selama ini KPK tidak konssisten dengan undang-undang yang ada. Karena itu, dia menyetujui UU KPK direvisi. “SP3 itu perlu. Ada teman saya, Siti Fajriah (tersangka kasus Bank Century) yang menyandang status tersangka sampai stroke dan meninggal dunia,” ujarnya. Seharusnya, katanya, hal semacam itu di-SP3-kan sejak lama untuk menegakkan keadilan.

Sesuai dengan rancangan revisi UU KPK, Pasal 42: Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dalam perkara tindak pidana korupsi setelah diketahui tindak pidana korupsi yang sedang ditanganinya tersebut tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke tahap  penuntutan sebagaimana diatur pada pasal 109 ayat (2) KUHP.

5. Laode Muhammad Syarif

Laode  pada prinsipnya setuju dengan revisi UU KPK yang memberi wewenang kepada KPK menerbitkan SP3, dengan catatan harus dibuat aturan sedemikian rupa agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.

"SP3 saya pikir bisa diberlakukan, tetapi catatan saya, jangan sampai SP3 disalahgunakan sebagai ada abuse of power," katanya di Kompleks Parlemen, Rabu (16/12/2015).

Menurut dia, selama ini SP3 sering dimanfaatkan penyidik untuk menggertak seseorang.

Namun, di sisi lain, SP3 juga diperlukan terutama bagi tersangka yang tak mungkin lagi diproses secara hukum, seperti orang sakit atau meninggal dunia.

"Itu mengapa harus ada dua alat bukti di KPK, supaya hati-hati, menjaga agar tidak terjadi kezaliman," kata.

Masalahnya adalah justru publik curiga, DPR mau memberi KPK wewenang menerbitkan SP3 itu adalah agar ada peluang bagi tersangka koruptor untuk bermain mata dengan KPK, supaya KPK menerbitkan SP3 untuknya.

Jika memang SP3 itu perlu diadakan dengan alasan tersangkanya sakit keras atau meninggal dunia, maka seharusnya secara khusus diatur saja tentang mereka, tidak secara umum, sehingga terbuka kemungkinan main mata koruptor dengan KPK, dengan memanfaatkan kewenangan menerbitkan SP3 itu.

Sedangkan tiadanya kewenangan KPK menerbitkan SP3 itu membuat KPK harus bekerja ekstra keras dan ekstra hati-hati sebelum meningkatkan kasus ke tingkat penyidikan dengan menetapkan seseorang menjadi tersangka. Sebelum yakin 100 persen dengan minimal dua alat bukti yang kuat, KPK tidak akan berani meningkatkan suatu kasus menjadi penyidikan dan menetapkan tersangka. Buktinya, selama ini KPK selalu menang di pengadilan Tipikor, semua koruptor yang ditangkapnya dinyatakan bersalah, dan masuk penjara.

**

Dari hal-hal tersebut di atas, maka patutlah publik, termasuk saya, pesimis KPK akan ganas dengan para koruptor kakap apalagi kelas paus. Maka bisa saja, di bawah kepimpinan lima orang ini, kepanjangan dari KPK lebih pas dengan “Komisi Pelindung Koruptor”.

Semoga pesimistis kita tidak terbukti. KPK di bawah kepimpinan Agus Raharjo itu benar-benar bisa diandalkan.

*****

 

Sumber data pada artikel ini:

  • Majalah Tempo edisi 21-27 Desember 2015
  • Koran Tempo, Selasa, 22/12/2015
  • Koran Jawa Pos, 15/12/2015
  • Beberapa media berita daring

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun